Header Ads


  • Breaking News

    Ketika Tanah Garuda Disesaki Pekerja Negeri Naga

    Jakarta (Mimbar Indonesia) - Suasana dialog dengan calon Gubernur Kalimantan Selatan yang digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalimantan Selatan di Hotel Mercure, Banjarmasin pada 8 Oktober 2015 yang lalu sejenak berubah hening ketika salah seorang peserta dialog mengajukan pertanyaan mengejutkan. Bagaimana tanggapan bapak cagup terhadap kenyataan bahwa pabrik semen Tanjung dipenuhi para pekerja asal China dan kurang memberikan kesempatan kepada kami putra daerah untuk ikut ambil bagian? Kira-kira demikian pertanyaan peserta dialog. Kontan, ketiga calon Gubernur yang hadir kaget dan menjawab seadanya dan senormatif mungkin pertanyaan tersebut.

    Kehadiran ribuan pekerja yang didatangkan langsung dari negeri China oleh PT. Conch Ltd, perusahaan semen plat merah (BUMN) China yang membangun pabrik semen di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan telah lama menjadi pertanyaan warga Kalimantan Selatan. Desa Saradang di Kabupaten Tabalong yang berjarak lima jam perjalanan darat dari Kota Banjarmasin saat ini menerima kehadiran ribuan pekerja asing asal China yang ditempatkan dalam areal tertutup di kawasan pabrik semen yang sekarang sedang dibangun. Warga masyarakat setempat tentu saja bertanya-tanya, mengapa investasi besar yang datang ke daerah mereka harus disertai pekerja impor? Padahal seyogyanya, investasi baru bisa menjadi peluang kerja bagi warga setempat yang kini tengah dilanda tekanan ekonomi akibat merosotnya penambangan batubara, turunnya harga sawit dan kayu.

    PT. Conch Indonesia merupakan perusahaan pertama yang didirikan oleh Conch Cement Co, Ltd di Indonesia. Merupakan program expansi negara dan hubungan bilateral antara Indonesia dan China, berupa kerjasama dalam proyek semen dan perdagangan, sebagai pondasi investasi di Indonesia. Pada tanggal 30 Juni 2011, dihadiri kementrian perindustrian Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi Anhui, Conch Group, dan Prosperity Group melakukan penandatanganan 'Memorandum kerjasama Proyek Semen', sehingga pada bulan november 2011 memulai realisasi proyek tersebut, dengan mendirikan PT. Conch Cement Indonesia yang beroperasi di bidang semen, batubara, besi baja, nikel, ekspor kayu dan bidang lainnya. 

    Mengacu pada memorandum, Conch melakukan investasi di Indonesia lewat proyek kalimantan (PT. Conch South Kalimantan Cement) dengan kapasitas lini produksi 1,55 juta ton semen klinker pertahun, yang pembangunannya dimulai pada akhir tahun 2012 mulai produksi pada September 2014. Selain di Kalimantan, PT. Conch juga berinvestasi di Papua Barat dengan kapasitas produksi lebih dari 10 juta ton pertahun. PT. Conch Cement Indonesia dan PT. Conch Internasional Trade Indonesia merupakan importir, perusahaan perdagangan dan menjadi perwakilan tunggal semen dan klinker merk “CONHC” di Indonesia.

    Kehadiran pekerja impor, khususnya asal China di Indonesia bukan saja terjadi di Tabalong, melainkan di berbagai daerah di Indonesia. Pembangunan pelabuhan di Teluk Lamong, perbatasan Gresik dan Lamongan, Jawa Timur yang dibiayai investasi asal China juga disertai pasokan kuli asal negeri Tiongkok berjumlah seribu pekerja. Para pekerja impor pada proyek lanjutan Pelabuhan Teluk Lamong yang telah diresmikan Presiden Jokowi pada 22 Mei 2015 yang lalu ini dibangunkan apartemen sebagai tempat tinggal tidak jauh dari lokasi proyek. Kehadiran pekerja kasar non pribumi pada proyek dengan investasi senilai 4,5 trilyun yang telah dimulai sejak tahun 2010 tersebut memang baru terlihat setahun terakhir ini.

    Kedatangan pekerja asal China juga menjadi sorotan pada pembangunan pabrik semen di Kecamatan Bayah, Lebak, Banten milik PT. Cemindo Gemilang. Pabrik seluas 80 hektare yang menempati total area 500 hektare tersebut memproduksi Semen Merah Putih. Sekitar 700 pekerja China didatangkan ke Indonesia melalui sebuah perusahaan kontraktor milik China bernama PT Sinoma, sebuah Badan Usaha Nasional di China yang memiliki spesialisasi di bidang pembangunan pabrik semen dan berpengalaman membangun lebih dari 100 pabrik semen di sedikitnya 50 negara. Di Indonesia, PT Sinoma memiliki kontrak Engineering, Procurement, dan Construction (EPC) dengan PT Cemindo Gemilang, sehingga seluruh proses pembangunan dan persiapan operasional pabrik berada di bawah tanggung jawab PT Sinoma Bekasi. Padahal, awalnya hanya 50 orang pekerja saja yang didatangkan, namun belakangan bertambah drastis menjadi 700 pekerja.

    Cerita miris lainnya terjadi saat peresmian PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali pada 11 Agustus 2015. Acara peresmian pembangkit yang akan memenuhi 40% kebutuhan listrik Pulau Dewata tersebut sama sekali tidak melibatkan pekerja asal Indonesia. Keseluruhan merupakan Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok. Bahkan, petugas pemeriksa para tamu undangan merupakan pekerja asal Tiongkok. Nuansa Tiongkok sangat terasa selama pelaksanaan acara tersebut. Sejumlah petinggi investor China Huadian Engineering Co Ltd (CHEC) ketika menyampaikan sambutan menggunakan bahasa Mandarin. Praktis hanya Assisten Ekonomi Pembangunan Provinsi Bali, Ketut Widja, yang mewakili Gubernur Bali, dan Asisten II Setda Buleleng, Ida Bagus Geriastika, mewakili Bupati Buleleng yang menggunakan Bahasa Indonesia ketika sambutan. Mega proyek PLTU Celukan Bawang hingga kini menyisakan berbagai masalah dengan warga setempat.

    Investor dari China yang mendirikan industri otomotif di kawasan Delta Mas Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, juga melakukan mobilisasi pekerja asal negara mereka. Pabrik otomotif yang sedang dibangun di Kawasan Industri Terpadu Indonesia-China (KITIC) seluas 250 Ha ini nampaknya juga tidak memprioritaskan pekerja lokal Bekasi. Peresmian Pabrik mobil PT. SGMW Motors Indonesia dengan merek Wuling yang menelan investasi lebih dari 9 trilyun rupiah dan akan mempekerjakan 10 ribu orang itu bahkan dihadiri langsung Gubernur Guanhxi Zhuang di Sakura Park Hotel, Delta Mas pada 8 Mei 2015. Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja di Bekasi, dianaktirikannya pekerja lokal tentu merupakan pukulan telak bagi warga Bekasi.
    DR. Syahganda Nainggolan
    Aktivis buruh, Syahganda Nainggolan menyebut, sebagai negara yang memerlukan investasi, kehadiran perusahaan-perusahaan asing di Indonesia sebenarnya merupakan sesuatu yang menggembirakan, tidak terkecuali investor dari China. Namun Syahganda heran, sejak Orde Lama hingga era reformasi, baru pada zaman pemerintahan Jokowi-JK lah investasi disertai mobilisasi pekerja dalam jumlah fantastis. Jika investasi Jepang, Amerika, Eropa dan lainnya hanya membawa tenaga insinyur, pendekatan investasi China di masa Jokowi juga disertai eksodus pekerja dari insinyur hingga pekerja kasar. “Kondisi ini sangat menghawatirkan, karena pemerintah lah yang membuka ruang dengan merevisi Peraturan Menteri Tenagakerja (Permenaker) yang memperbolehkan pekerja asing makin bebas masuk Indonesia,” tandas pendiri Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) ‘98 ini. 

    Anggota Komisi IX DPR, M. Sarmuji juga menilai masuknya puluhan ribu tenaga kerja asing asal China ke Indonesia kian mengkhawatirkan. Keberadaannya dinilai akan sangat merugikan tenaga kerja dalam negeri.‎ Politisi Fraksi Partai Golkar ini menyebut, mestinya pemerintah bersikap bijak dengan tidak membuka semua lowongan kerja untuk tenaga asing meskipun dengan iming-iming investasi. Seharusnya investasi yang masuk ke Indonesia justru menjadi kesempatan untuk membuka lapangan pekerjaan, bukannya malah menutup kesempatan bekerja. “Sebaiknya proyek-proyek investasi asing jika masih bisa dikerjakan oleh tenaga kerja dalam negeri, tenaga kerja asing harus dilarang," tegas Sarmuji.
    M Sarmuji
    Sarmuji hawatir, Indonesia akan mengikuti jejak Angola, dimana eksodus pekerja asal China mendominasi proyek-proyek infrastruktur. Para pekerja lokal termarjinalkan dengan alasan efisiensi kerja. Laporan BBC memang menyebut puluhan ribu pekerja China datang ke Angola untuk bekerja dalam proyek-proyek pembangunan setelah perang saudara yang sempat melanda negara Afrika tersebut selama beberapa tahun. Ibu kota Angola, Luanda yang terus berbenah, mengundang para investor dari China dengan konsekuensi para pekerja yang dibawa juga harus dari negeri tirai bambu. Para pekerja yang dibawa kontraktor-kontraktor China membangun jalan, bangunan, rel kereta dan sekolah tanpa melibatkan pekerja lokal di pabrik-pabrik di Angola, kecuali petugas keamanan dan wanita yang bertugas mencuci sayuran. 

    China masuk ke Angola dengan barter minyak, dimana pemerintah Angola menjual minyak, sebagai gantinya China membangun sejumlah infrastruktur di sana. Namun kini, kelompok LSM HAM di Angola menyoroti masalah eksodus ini. Mereka mengakui banyak generasi muda Angola yang belum mengenyam pendidikan tinggi, namun tidak berarti harus mengimpor tenaga kerja dari China. Akibatnya, hal ini menimbulkan kecemburuan sosial di Angola, bahkan sempat terjadi sejumlah kasus penyerangan warga lokal terhadap para pekerja China yang menimbulkan korban.
    Rizal Sukma
    Peneliti CSIS, Rizal Sukma mengingatkan Indonesia untuk tidak condong ke China. Menurut Rizal, sebagai negara poros, dengan prinsip bebas-aktif, Indonesia harus membangun hubungan berimbang dengan semua kekuatan besar, karena Indonesia juga kekuatan besar di antara dua samudera, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. "Dua samudera itu akan menjadi arena rivalitas antar negara besar di abad ke-21 ini. Kerjasama dengan China harus jelas terms of agreement nya. Jangan sampai investasi China di sini tidak membawa implikasi apa pun bagi perluasan lapangan kerja di Indonesia. Apalagi China suka membawa sendiri pekerjanya untuk mengerjakan proyek-proyek mereka, termasuk tenaga kerja kasar. Kita harus berani bilang ke China bahwa kita bukan Angola, Zimbabwe atau Sri Lanka," tegasnya.

    Sepertinya, mitos pewayangan yang menuturkan bahwa burung Garuda merupakan predator alami dari ular naga telah kehilangan relevansinya ketika eksodus ribuan pekerja impor asal negeri ular naga semakin mencengkeram di tanah garuda. Dominasi pekerja asal China yang menyertai proyek-proyek investasi dari negeri Tirai Bambu justru makin menegaskan, semburan sang ular naga lah yang makin meminggirkan nasib para pekerja lokal, para penduduk pribumi di tanah airnya sendiri, Indonesia. (Big T, dari berbagai sumber)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad