Header Ads


  • Breaking News

    Kontroversi Reklamasi Teluk Jakarta

    Rencana reklamasi pantai utara Jakarta menjadi kontroversi publik setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memberikan izin kepada beberapa perusahaan properti untuk proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta. Izin dikeluarkan melalui Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014. Rencananya, pembangunan kawasan baru untuk hunian, pusat perbelanjaan, rekreasi dan perkantoran tersebut dilanjutkan dengan pembangunan Giant Sea Wall yang dibiayai APBD DKI dan APBN. Giant Sea Wall merupakan tanggul raksasa yang dibangun dengan pengurukan laut guna merevitalisasi garis pantai utara Jakarta.

    Denah Giant Sea Wall Jakarta
    Gubernur Basuki mengatakan, proyek Giant Sea Wall merupakan upaya pemerintah DKI Jakarta untuk mencegah banjir rob yang beberapa tahun belakangan ini makin mengancam pesisir utara Jakarta dan menjadi wadah menampung air untuk bahan baku air minum. Menurut Ahok, proyek reklamasi di pantai utara merupakan bagian dari upaya tersebut. Izin reklamasi pantai di kawasan Jakarta Utara diberikan kepada beberapa perusahaan swasta, diantaranya kepada PT. Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT. Agung Podomoro Land Tbk (APLN) milik Trihatma Haliman dan PT. Intiland Development Tbk milik Hendro S. Gondokusumo. Selain pengembang nasional, konsorsium reklamasi juga akan melibatkan perusahaan asing asal China.


    Basuki Tjahaya Purnama

    Selain PT. Muara Wisesa Samudra, pengembang lainnya yang mendapat konsesi pengembangan lahan baru seluas 5.153 hektar di 17 pulau buatan ini adalah PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Group) sebanyak 5 pulau, PT. Pembangunan Jaya Ancol 4 pulau, PT. Jakarta Propertindo 2 pulau, PT. Pelindo yang menggarap 1 pulau, PT. Manggala Krida Yudha 1 pulau, PT. Jaladri Kartika Ekapaksi 1 pulau, sedangkan 2 pulau lainnya belum dilirik investor. Sedangkan gerbang selamat datang bagi kawasan baru ini diserahkan pada PT. Intiland, sebagai lanjutan dari proyek prestisius mereka di Pantai Mutiara.
     

    Berdasarkan masterplan yang diserahkan Menteri Belanda, Melanie Schultz van Haegen kepada Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, total investasinya diperkirakan USD 24,7 miliar atau sekitar Rp 300 triliun. Mega proyek tersebut akan terdiri dari tiga tahapan besar, yaitu tahap awal berupa reklamasi 17 pulau serta peninggian tanggul di Sunda Kelapa. Tahap kedua berupa pembangunan awal konstruksi tanggul. Kemudian tahap ketiga yaitu pembangunan Giant Sea Wall yang melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum. Proyek ini sempat digagas pada masa Gubernur Fauzi Bowo untuk memperluas wilayah Jakarta. Sedangkan keterlibatan pihak swasta diberi konsesi berupa hak mengembangkan kawasan terpadu yang terdiri dari perumahan, perkantoran, serta pusat perbelanjaan di wilayah yang direklamasi.
     

    Mega proyek yang diberi nama percepatan pembangunan terpadu pesisir ibu kota atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), membentang sepanjang 32 kilometer dengan lebar rata-rata 2 kilometer dan kedalaman 8 meter. Proyek raksasa tersebut diperkirakan memerlukan material sebanyak 330 juta meter kubik pasir yang diambil dari laut di sekitar Jakarta, guna menghasilkan lahan baru seluas 2.700 hektar. Revitalisasi juga akan dilakukan pada area pantai lama seluas 2.500 hektar.
     

    Rencana ambisius Basuki mendapat tentangan tajam dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta. Direktur Walhi Jakarta, Puput TD. Putra menilai Proyek Pluit City yang mulai dibangun tahun 2015 ini hanya akan memperparah banjir Jakarta. Rencana Ahok melakukan pengerukan tanah Pluit City di wilayah reklamasi bisa mengakibatkan air laut naik sehingga aliran air sungai terhambat akibat pengendapan lumpur. Sebelumnya, lokasi Pluit City pun sudah sering tergenang banjir. Sungai juga mengalami pengendapan lumpur yang mendangkalkan. “Rencana reklamasi teluk Jakarta sangat membahayakan lingkungan dan akan merusak ekosistem. Pasir sejumlah ratusan juta meter kubik yang diambil dari perairan Jakarta, dipastikan akan mengganggu keseimbangan alam, bahkan hingga ke kepulauan seribu,” tandas Puput.
     

    Walhi Jakarta juga mewanti-wanti kemungkinan pelanggan HAM jika proyek reklamasi dilanjutkan. Menurut Puput, warga di pantai utara Jakarta dan Kepulauan Seribu terancam kehilangan mata pencarian dan kehilangan tatanan sosial budaya. "Kami meminta Pemprov DKI Jakarta menghentikan izin reklamasi tersebut. Lebih baik pemprov menormalisasi Teluk Jakarta dan merevitalisasi 13 aliran sungai," imbuhnya.
     

    Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi juga meminta Gubernur membatalkan izin reklamasi Teluk Jakarta karena izin yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta tersebut telah melanggar Undang-undang. Prasetyo menilai Teluk Jakarta merupakan kawasan strategis yang diatur pemerintah pusat melalui Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). “Kawasan strategis harus dikelola dengan payung hukum nasional, bukan Pergub. Gubernur Ahok harus patuh dengan pemerintah yang lebih tinggi," cetus Prasetyo.

    Dalam menerbitkan izin, diduga sejumlah regulasi dilanggar Ahok, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang diundangkan pada 15 Januari 2014. Kemudian Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang diundangkan pada 6 Desember 2012; Permen KP Nomor 28/Permen-KP/2014 tentang Perubahan Atas Permen-KP Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang diundangkan 19 Agustus 2014, serta regulasi lain seperti Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura yang sedang dalam tahap revisi.

    Kementerian Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mempersoalkan izin yang diberikan Gubernur Ahok. Kementerian KKP menganggap izin reklamasi bukan merupakan kewenangan kepala daerah, melainkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menteri yang dikenal galak ini bahkan memprediksi reklamasi 17 pulau akan membuat Jakarta akan semakin banjir.  "Kalau Jakarta banjir ya tidak aneh. Kenapa aneh? Apa pun kita ambil wilayah air, kalau tidak ada pengganti wilayah air lagi akan banjir. Kalau ada reklamasi 10 hektar, harus ada wilayah genangan 10 hektar, kalau tidak airnya mau ke mana?" ujar Susi.


    Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik mendesak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk menghentikan reklamasi teluk Jakarta. Riza merasa tidak ada alasan yang kuat bagi Ahok untuk meneruskan program tersebut, justru reklamasi besar-besaran teluk Jakarta akan merusak ekosistem laut di sekitar Jakarta. Menurut Riza, kerusakan ekosistem laut akan merugikan masyarakat, khususnya nelayan Jakarta yang menggantungkan hidupnya dari laut. "Kami minta Gubernur menghentikan program reklamasi itu karena merugikan masyarakat nelayan di sana," ujar Riza.


    Hutan Mangrove Angke yang terancam punah
    Selain penolakan, ide reklamasi juga mendapat dukungan. Direktur Eksekutif  Indonesia Properti Watch (IPW), Ali Tranghanda mengatakan reklamasi merupakan solusi alternatif untuk mengatasi lahan yang terbatas. Apalagi saat ini, DKI Jakarta mengalami masalah kelangkaan tanah yang disebabkan banyaknya lahan yang sudah terpakai untuk pembangunan. "Reklamasi bermanfaat karena tanah mulai langka. Karena lahan langka, pengembangan jadi susah. Untuk reklamasi hanya perlu Rp 7 juta-Rp 8 juta per meter persegi untuk membuat tanah. Ini jauh lebih murah daripada beli tanah," ujar Ali. 

    Namun Ali mengingatkan, karena jauh lebih murah, sebaiknya para pengembang yang terlibat dalam proyek reklamasi tidak hanya membangun properti komersial. Para pengembang ini harus dibebani kewajiban membangun hunian yang terjangkau bagi masyarakat yang regulasinya diatur oleh pemerintah.  "Pemerintah harus masuk minta jatah tiga sampai lima persen lahan reklamasi untuk kepentingan publik. Pengembang perlu menyiapkan zona khusus rusunami untuk kelas pekerja, karyawan menengah. Jadi, meski berada di tanah hasil reklamasi, pemerintah provinsi tetap harus mengatur tata ruangnya. Jangan sampai, karena digunakan oleh pengembang, tanah menjadi tidak tertata seperti kondisi Jakarta saat ini," kata Ali. (biG T)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad