Syekh Yusuf Al-Makasari, Tonggak Islam Afrika Selatan
“Saya melangkah masuk dan tertegun melihat makam berpagar besi ukir, bertutup kain hijau. Di sini berkubur pada usia 73, seorang ilmuwan, sufi, pengarang, dan komandan pertempuran abad ke-17, sesudah 16 tahun menjalani pembuangan. Kampung halamannya terletak di seberang dua samudra, berjarak 12 ribu kilometer jauhnya. Saya tertunduk dan menggumamkan Al Fatihah untuk pejuang besar ini. Beliaulah Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani”
Syekh Yusuf yang bernama lengkap Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Dia digelari Tuanta Salamaka ri Gowa (Tuan guru penyelamat kita dari Gowa) oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf diberi gelar pahlawan nasional Indonesia, sekaligus dianugerahi penghargaan Oliver Thambo pada tahun 2005, sebuah penghargaan Pahlawan Nasional Afrika Selatan yang diserahkan langsung Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki, kepada ahli warisnya. Penyerahan penghargaan sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan itu disaksikan langsung oleh Wapres M. Jusuf Kalla di Union Building, Pretoria, Afrika Selatan.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf, nama tersebut diberikan oleh Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, ketika kesultanan Gowa dikalahkan Belanda, Syekh Yusuf pergi ke Banten. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah. Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.
Syekh Yusuf juga sempat menimba ilmu di Mekah, lalu mengunjungi Yaman dan berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Pendidikan agama di Yaman membuatnya dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi. Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali. Dari gurunya ini, Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Al-Baalawiyah. Setelah musim haji tiba, Yusuf kemudian ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Petualangan ilmunya berlajut di Madinah, berguru pada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani untuk mendapatkan ilmu tarekat Syattariyah. Belum puas, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi dan menimba pengetahuan tarekat Khalwatiyah. Melihat pencarian ilmu agamanya, dapat disimpulkan Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).
Metode sufi yang ditekankan Syekh Yusuf dalam pengajaran adalah mensucikan batin dari segala perbuatan maksiat dan mengalahkan hawa nafsu sebagai sumber dorongan perbuatan maksiat. Pada tahap awal, seorang murid harus mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi. Ajaran Syekh Yusuf ini menempuh cara-cara moderat, karena menurut dia kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali, melainkan harus dimanfaatkan menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.
Di usia 38 tahun, Syekh Yusuf akhirnya kembali ke Gowa setelah menjadi seorang guru besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah karena syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela. Karena gagal meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten pada tahun 1664. Sesampai di Banten, sahabatnya telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Sebagai sufi, Syekh Yusuf dikenal memiliki kepribadian menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan dan memberi pengajian agama bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.
Kesultanan Banten berubah ketika Pangeran Gusti, putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat diri menjadi Sultan Haji, tiba dari Makkah. Belanda berhasil menghasut Pangeran Gusti untuk berontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus, dimana Sultan Ageng, Pangeran Purabaya dan Syekh Yusuf bahu membahu melawan kompeni. Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purabaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syekh Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia, namun pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka pada September 1684. Di tempat baru itu, Syekh Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Syekh Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar tentang Indonesia ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji yang singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syekh Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran. Guna menjauhkan pengaruh Syekh Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan pada Juli 1693 bersama 49 pengikutnya. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.
Berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Syekh Yusuf untuk berdakwah. Terlebih, waktu itu Islam di Afrika Selatan (Afsel) tengah berkembang. Adalah Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru yang lahir di Tidore pelopor penyebaran Islam di negara itu. Dalam waktu singkat, Syekh Yusuf pun telah mengumpulkan banyak pengikut. Awalnya, ia memantapkan pengajaran agama bagi pengikutnya. Kemudian, syiar Islam diserukannya kepada orang-orang buangan yang diasingkan ke Kaap. Mereka kemudian bersatu membentuk komunitas Muslim. Hingga kini, di Cape Town terdapat 600 ribu warga yang memeluk agama Islam.
Makam Syekh Yusuf di Afrika Selatan |
Pengaruhnya yang begitu besar, membuat masyarakat di wilayah yang pernah disinggahi Syekh Yusuf meyakini ulama besar itu dimakamkan di tempat mereka. Selain di Makassar, pemakaman Syekh Yusuf juga dapat diyakini berada di Banten; Pelambang, Sumatera Selatan; Srilanka dan di Talango, Madura. Makam-makam itu, hingga kini masih tetap didatangi para peziarah. Meski telah berpulang empat abad lalu, kemasyhuran dan keluhuran akhlak serta ilmu Syekh Yusuf hingga masih tetap dikenang.
Syekh Yusuf adalah seorang ulama syariat, sufi, khalifah tarikat dan musuh besar Belanda. Dia dianggap sebagai 'duri dalam daging' pemerintah Hindia Timur. Pengasingan Syekh Yusuf ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan adalah bentuk tindakan Belanda untuk memadamkan pengaruh besarnya kepada rakyat. Syekh Yusuf meninggal di pengasingan pada 23 Mei 1699 di Cape Town, Afrika Selatan. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten, Sulawesi Selatan, Srilanka, dan Afrika Selatan dimana dia selalu berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit. (hd, dari berbagai sumber)
No comments