Header Ads


  • Breaking News

    Karpet Merah untuk Pekerja Tiongkok, Investasi atau Invasi?


    Jakarta (Mimbar Indonesia) - "Ada suatu pepatah Indonesia berbunyi, jauh di mata dekat di hati. Tiongkok dan Indonesia terpisah oleh samudera, namun gelombang laut tak bisa menghalangi pertukaran kita sejak pelayaran Laksamana Cheng Ho hingga konferensi Asia Afrika," kata Presiden Xi Jinping dalam sambutannya pada pertemuan menyambut kedatangan Presiden Jokowi di Great Hall of People di Beijing, 9 November 2014, tak lama setelah Jokowi resmi dilantik menjadi Presiden RI ke-7. Bak gayung bersambut, Jokowi pun menyatakan bahwa hubungan Indonesia dan Tiongkok yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun merupakan modal untuk mempererat hubungan di masa mendatang sebagai mitra strategis. Menurut Jokowi, hubungan dengan Cina yang sudah dibina lama tersebut dapat lebih konkret pada masa pemerintahannya. "Kita ingin hubungan ini lebih dikonkretkan lagi sehingga nanti kedua negara mendapatkan keuntungan, juga rakyat Indonesia dan Tiongkok," ujarnya dalam pertemuan tersebut.

    Begitu lah babak baru hubungan Indonesia-Tiongkok, yang pernah putus selama 20 tahun akibat pemberontakan komunis di Indonesia, kini diyakini berbagai kalangan sebagai hubungan tererat sepanjang sejarah kedua negara. Tiongkok yang sedang massif memperkuat posisi ekonomi politiknya di dunia internasional, telah menemukan karib paling strategis di kawasan pasifik. Sejak pertemuan itu, berbagai pembicaraan investasi dan kemitraan yang telah digalang sejak era Abdurrahman Wahid, Megawati dan SBY langsung dikebut realisasinya, dan pengusaha-pengusaha asal Tiongkok, termasuk BUMN-nya, seperti berlomba-lomba memasuki pasar dan menanam investasinya di Indonesia.

    Presiden Jokowi dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping
    Pada akhir Maret 2015, Jokowi kembali kunjungi Tiongkok, bertepatan dengan peringatan 65 tahun hubungan RI-Tiongkok. Kunjungan bilateral ini dibingkai dengan kerjasama maritim yang sejak masa kampanye Pilpres menjadi ikon Jokowi, termasuk pembicaraan untuk membangun infrastruktur tol laut yang digadang-gadang rezim baru ini. Hasilnya, kerjasama membangun pelabuhan, bandara, kereta api, jalan tol, pembangkit listrik, industri, perbankan, komunikasi, perdagangan hingga pertukaran masyarakat. Kesepakatan kongkrit pertemuan bilateral tersebut antara lain komitmen pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan rel kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt.

    Sepulang ke Indonesia, Presiden Jokowi langsung menyerukan penghapusan hambatan bagi penanaman investasi dan perdagangan. Menurutnya, Indonesia membutuhkan deregulasi besar-besaran, seperti perijinan bisnis, investasi, pengadaan barang dan jasa, dan ketenagakerjaan. Secara keseluruhan, Jokowi menyebut setidaknya 154 aturan harus direvisi, mulai dari Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden hingga Peraturan Pemerintah. Pendek kata, semua bermuara pada percepatan masuknya investasi ke dalam negeri.

    Seturut dengan tekanan ekonomi dalam negeri, pemerintah kemudian mengumumkan paket deregulasi kebijakan investasi, kebijakan fiskal dan keuangan, kebijakan energi dan kebijakan pangan yang diumumkan dalam beberapa gelombang. Meskipun terlihat populer lewat penurunan harga BBM, gas, listrik dan perluasan pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat (KUR), beberapa paket baru kebijakan ekonomi ini kemudian mengundang polemik, seperti diperbolehkannya kepemilikan asing dalam properti dan penyederhanaan izin pertanahan.

    Lebih berbahaya lagi, pemerintah kemudian menghapus persyaratan wajib berbahasa Indonesia bagi para Tenaga Kerja Asing (TKA) pada Agustus 2015. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Tenagakerja (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA yang menggantikan Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Permenaker baru ini pula yang kemudian menjadi landasan hukum bagi eksodus besar-besaran pekerja Tiongkok yang dibawa serta dalam pengerjaan proyek-proyek yang mereka biayai di Indonesia.

    Perubahan Permenaker tentang Tata Cara Penggunaan TKA ini sejatinya sudah didahului penggunaan KTA asal Tiongkok dalam proyek-proyek investasi yang dikerjakan di beberapa daerah di Indonesia. Hampir seluruh pekerja asing asal Tiongkok yang bekerja di proyek infrastruktur dan pembangunan pabrik industri di Indonesia tidak memenuhi persyaratan wajib berbahasa Indonesia, jauh sebelum revisi Permenaker tetang TKA dilakukan. Masih terekam jelas protes warga Banten atas perilaku pekerja asal Tiongkok yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan buang air sembarangan pada proyek pembangunan pabrik Semen Merah Putih di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten sejak awal tahun 2015.

    Perubahan Permenaker ini dihawatirkan akan semakin menekan kesempatan kerja bagi angkatan kerja di Indonesia. Kebiasaan Tiongkok yang membawa serta unskill labour seperti pekerja bangunan dan buruh dari negara mereka dalam pengerjaan berbagai proyek dan industri di banyak negara kian mempertegas anggapan tersebut. Di beberapa negara Afrika, seperti Angola, Zambia, Sudan, Gabon, Afrika Selatan dan Nigeria, dominasi pekerja asal Tiongkok pada pengerjaan proyek dan tambang mineral di negara-negara tersebut telah mengalahkan pekerja lokal di sana. Bahkan, suatu ketika, Kepala Kamar Dagang Zambia, Wilfred Collins Wonani menyebut ekspansi ekonomi Tiongkok di negaranya sebagai sebuah kolonialisasi.

    Pernyataan Wilfred jelas bukannya tidak berdasar, karena sebagai negara industri, Tiongkok membutuhkan makin banyak pasokan energi dan mineral yang bisa mereka dapatkan dari tambang minyak dan mineral di Zambia. Pada saat yang sama, mereka juga membutuhkan pasar bagi hasil industri yang dilakukan besar-besaran. Meskipun Tiongkok juga membuka industri di Zambia, namun dilakukan hanya untuk memproduksi bahan baku dan barang setengah jadi yang kemudian diimpor kembali ke negara mereka sebagai barang jadi. Pada salah satu pabrik tekstil di Zambia, bendera RRT bahkan dikibarkan berdampingan dengan bendera salah satu negara miskin di Afrika tersebut.

    Di Indonesia, fenomena eksodus pekerja Tiongkok mulai mengemuka sejak awal tahun 2015. Pekerja pabrik semen di Banten, Manokwari, Kalimantan Selatan, pekerja pembangunan PLTU di Bali, Papua, dan buruh industri otomotif di Bekasi barangkali hanya lah awalan dari serbuan pekerja impor asal Tiongkok. Menyusul kian banyaknya realisasi proyek infrastruktur, energi, dan pembangunan industri Tiongkok di Indonesia, serbuan pekerja Tiongkok dipastikan akan semakin berlipat ganda. Hingga kini saja, puluhan ribu pekerja Tiongkok sudah masuk ke berbagai daerah, umumnya hanya menggunakan visa kunjungan tanpa kelengkapan perijinan ketenagakerjaan.

    Terkait pertukaran masyarakat, dalam kunjungannya ke Indonesia pada akhir Mei 2015, Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu Yandong mengatakan demi mempererat hubungan bilateral, China dan Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam berbagai bidang pada 2020. Menurut Liu, hal tersebut termasuk dalam mekanisme kerja sama yang hendak dibentuk oleh kedua pemimpin negara‎. Agenda pertukaran masyarakat kedua negara ini kemudian memantik kecurigaan banyak orang, mengingat padatnya penduduk Tiongkok, bisa jadi berubah menjadi agenda terselubung. Meskipun selama ini relasi China dengan negara lain mengesampingkan agenda politik, berbeda dengan negara-negara barat yang selalu membawa isu demokrasi dan HAM, kehawatiran agenda ideologi tentu tidak mudah dikesampingkan.

    Pengamat Hubungan Internasional UPN Jakarta, Syahrul Salam mengatakan hangatnya hubungan Indonesia-Tiongkok, berbanding terbalik dengan politik luar negeri pemerintahan Jokowi dengan mitra lainnya di Eropa, yang nampaknya mulai diabaikan. Padahal, dalam konstelasi  politik luar negeri, diibaratkan seperti sebuah kaki meja. Apabila salah satu kakinya lemah, maka kita akan tergantung pada kaki meja lain. Kita mungkin dapat diselamatkan namun kita juga akan mudah didikte oleh negara tersebut. Padahal Indonesia merupakan kekuatan besar ekonomi di dunia, sehingga sewajarnya hubungan luar negeri Indonesia merefleksikan kemandirian dan menjaga keseimbangan.

    Menurut Syahrul, Presiden Joko Widodo perlu mengingat kembali bahwa keseimbangan di antara kekuatan dunia yang multipolar perlu dijaga karena akan lebih menguntungkan pertumbuhan ekonomi kita daripada hanya tergantung di satu negara atau satu kawasan. “Menjaga keseimbangan bukan berarti tunduk tetapi bekerja keras melalui negosiasi dan diplomasi mencari celah politik internasional yang menguntungkan kedudukan kita,” ujarnya.

    Cerita investasi yang disertai kedatangan pekerja Tiongkok di Indonesia sebenarnya bukan lah cerita baru. Sejak lama, semua investasi atau proyek-proyek Tiongkok di Indonesia bersifat turnkey project, artinya satu paket dengan tenaga kerjanya. Pada zaman orde baru, saat Sinar Mas (Indah Kiat) membangun pabrik pulp and paper serta pembangkit tenaga listrik sendiri di Purwakarta, semua pekerja dari manajemen hingga tenaga kasar didatangkan dari Tiongkok. Namun saat itu DPR tidak diam, dan BJ. Habibie sebagai menristek memprotes keras sehingga jumlah tenaga kerja dari Tiongkok dikurangi.

    Kini, Indonesia tidak hanya menjadi tujuan bagi investasi dan serbuan barang murah produksi Tiongkok, namun juga menjadi destinasi eksodus para pekerja dari negeri tirai bambu itu. Meski investasi adalah sarana bagi pembangunan ekonomi, namun sebagai bangsa yang berdaulat, agenda investasi yang secara nyata berpotensi meminggirkan pekerja di negeri sendiri, jelas perlu dipertimbangkan kembali untuk diteruskan. (big T)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad