Tahun Baru Islam, Momentum Hijrah Rakyat Indonesia
Oleh: Rahmat Kartolo Simanjuntak
Tidak seperti hari-hari biasanya, seminggu menjelang tahun baru 1437 Hijriah pada tahun ini banyak umat Islam sudah bersiap menyambut tahun baru Hijriah yang biasa disebut tahun baru Islam. Pada sepekan ini, spanduk dan banner berisi undangan Tabligh untuk menyambut tahun baru Hijriyah berjajar di banyak tempat dan jalan strategis di Jabodetabek, bahkan mungkin di seluruh Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. Memang sangat berbeda penyambutannya dengan tahun baru Masehi yang penuh dengan acara-acara mubazir dan penuh hiruk-pikuk, sementara tahun baru Hijriyah tidak demikian karena tidak ada terompet, panggung-panggung hiburan seperti yang dilakukan umumnya warga yang tidak bermanfaat itu, acara hiburan di alun-alun atau di balai kota seperti yang dilakukan Gubernur Jakarta.
Menyambut tahun baru Hijriyah, umat islam berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan salat Asar berjamaah dan bersama-sama membaca doa akhir tahun, dengan tujuan memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah Swt dan amal-amalnya diterima olehnya. Kemudian, biasanya selepas shalat berjamaah juga bersama-sama membaca doa awal tahun untuk memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Seyogyanya, sebagai rakyat Indonesia sekaligus penganut Agama Islam memang seharusnya kita lebih memaknai euporia menyambut Tahun baru 1437 H ini dengan berhijrah dalam arti meninggalkan, menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak baik dan melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik di hari yang akan kita lalui ke depan, apalagi di zaman era modernisasi dan globalisasi ini, banyak sekali perubahan-perubahan di dalam kehidupan kita, seperti sikap dan perilaku yang individualis, hedonis dan mau menang sendiri ini sangat memprihatinkan sekali sehingga kita sebagai rakyat Indonesia seakan tidak memiliki nilai akibat tergerus kemajuan zaman. Untuk itu, ayo berhijrah dengan kesungguhan niat dari lubuk hati yang paling dalam.
Begitu pun ketika kita menyimak kondisi kebangsaan dewasa ini, dimana seluruh warisan keburukan masa lalu masih dipertahankan, seperti perilaku koruptif, kesewenangan kekuasaan, ketidakadilan, serta mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa. Akibatnya, hingga kini rakyat Indonesia belum juga bisa beranjak dari problem kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Momentum tahun baru Hijriah, perlu disikapi secara kolektif untuk melakukan perbaikan agar cita-cita kebangsaan bisa diwujudkan dalam bentuk tindakan korektif secara kolektif. Perbaikan sikap para penyelenggara negara, politisi, pebisnis, insan pendidikan, dan agamawan, merupakan pra-syarat agar bangsa ini bisa keluar dari sejumlah persoalan mendasar yang menyelimuti hingga kini.
Bangsa Indonesia sesungguhnya punya modalitas luar biasa untuk keluar dari segala persoalan tersebut. Sebagai bangsa yang berketuhanan, serta mayoritas penduduknya beragama Islam, amat disayangkan ketika agama hanya menjadi pajangan namun gagal terinternalisasi dalam perilaku individu. Kegagalan ini pada akhirnya, secara kolektif telah menjerumuskan bangsa Indonesia dalam beragam persoalan yang sepertinya tidak pernah selesai meskipun rezim terus berganti, dan kepemimpinan politik nasional terus berubah. Tindakan koruptif dan ketidakadilan terus menerus mengalami perulangan, sejak Orde Lama hingga masa reformasi.
Artinya, bangsa Indonesia memerlukan transformasi sikap mental individual, dimana agama harus berperan serta dalam proses trasnformasi tersebut. Proses pelembagaan demokrasi dengan segenap perubahan pada bentuk formal pelembagaan politik, pada akhirnya tetap berpulang pada mentalitas individu yang berada dalam lembaga-lembaga kekuasaan tersebut. Begitu pun pada rakyatnya, bukan kah ada diktum politik yang menyebut bahwa kepemimpinan politik merupakan refleksi dari masyarakat politiknya. Sehingga bisa dipastikan, kepemimpinan politik yang korup adalah imbas dari perilaku koruptif masyarakat pemilihnya yang menanggalkan idealisme dalam memilih pemimpin. Kondisi ini terlihat jelas dalam ajang Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah yang menempatkan modal uang sebagai syarat utama keterpilihan.
Perubahan sistem dan perbaikan struktur politik dan sosial, meniscayakan transformasi masyarakatnya secara keseluruhan, dari elit hingga lapisan terbawahnya, rakyat jelata. Perubahan struktural, baik dalam bentuk perangkat maupun aturan main berupa perundangan dan peraturan, hanya akan menjadi cek kosong jika tidak disertai perubahan attitude dan perilaku keseluruhan orang yang bernaung dalam sistem tersebut. Momentum tahun baru hijriah, yang kita sepakati sebagai moment refleksi dan kontemplasi, bukannya hura-hura dan pesta mewah, adalah momentum terbaik bagi kita untuk melakukan hijrah, dimulai dari individu-individunya, kemudian secara kolektif akan menghasilkan perbaikan secara luas.
Bagaimana caranya? Ada tiga makna utama dari momentrum hijrah Rasulullah SAW yang dapat diterapkan dalam kehidupan kita sekarang ini. Pertama, memaknai hijrah Rasulullah sebagai Hijrah Insaniyyah. Maksudnya perlunya transformasi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan kita. Simak lah perubahan paradigma masyarakat Arab setelah kedatangan Islam dan pola pikir mereka yang menunjukkan betapa sisi-sisi kemanusiaan dijadikan materi utama dakwah Rasulullah SAW. Pesan dakwah Islam secara tegas menyatakan bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, hanya Allah SWT satu-satunya Zat yang memiliki perbedaan dengan manusia. Kalau ini terbentuk dalam pola pikir dan perilaku rakyat Indonesia nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab akan tercipta di negeri ini.
Kedua, kita harus memaknai momentum hijrah ini sebagai Hijrah Tsaqafiyyah, yaitu hijrah kebudayaan. Hijrah dari kebudayaan jahiliyyah menuju kebudayaan madaniyah. Kebudayaan yang sarat dengan makna dan kemuliaan sebagaimana diperlihatkan oleh Rasulullah dalam tata krama keseharian. Dalam pergaulannya, beliau menghargai dan menggauli semua orang dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan. Bahkan lebih dari itu, beliau selalu bertindak sopan dan ramah kepada semua orang tidak pernah pandang bulu. Sebagaimana Rosulullah Saw bersabda “Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakh”
Inilah sejatinya fondasi kebudayaan dalam kacamata Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan. Termasuk di dalamnya adalah kebersamaan, gotong royong dan kesetiakawanan. Inilah nilai-nilai yang kini mulai lenyap dari kehidupan kita digantikan dengan individualisme dan kapitalisme. Nilai kesetiakawanan dan kegotongroyongan ini juga merupakan warisan luar biasa dalam akar sejarah dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Derasnya perubahan akibat kemajuan ekonomi, teknologi dan globalisasi jangan sampai membuat fondasi kebudayaan tersebut bergeser dari sosiologi masyarakat Indonesia.
Yang ketiga adalah memaknai hijrah sebagai Hijrah Islamiyyah, yaitu peralihan kepasrahan kepada Allah secara total. Momentum hijrah ini harus kita maknai sebagai upaya peralihan diri menuju kepasrahan total kepada Allah SWT, Yang Maha Kuasa. Artinya setelah modernisme menggiring kita kepada rasionalisme yang tinggi, hingga menyandarkan kehidupan kepada kemajuan teknologi dan mengandalkan struktur pada system kehidupan yang serba maju dan modern, maka kini saatnya kita berbalik kepada Allah Yang Maha Pencipta. Sadar lah, bahwasannya berbagai pertunjukan modernisme semata merupakan hasil kreatifitas manusia belaka.
Coba kalau kita renungkan musibah dan cobaan yang menimpa negeri ini, kemarau dan panas yang berkepanjangan membuat kekeringan, potensi kelaparan, kebakaran yang menciptakan masalah baru yaitu asap yang juga menimbulkan banyak korban. Ini pertanda apa, apakah negeri ini sudah kebanyakan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang zolim dan korup atau memang kita jauh dari Allah SWT sehingga dia murka kepada kita rakyat Indonesia. Marilah kita berhijrah dan mendekat kepada Allah SWT. Oleh karenanya, mari lah di awal tahun baru ini kita memulai hidup baru dengan paradigma yang baru sesuai dengan makna hijrah yang sesungguhnya.
Penulis adalah Ketua DPW MDI Sumatera Utara
Tidak seperti hari-hari biasanya, seminggu menjelang tahun baru 1437 Hijriah pada tahun ini banyak umat Islam sudah bersiap menyambut tahun baru Hijriah yang biasa disebut tahun baru Islam. Pada sepekan ini, spanduk dan banner berisi undangan Tabligh untuk menyambut tahun baru Hijriyah berjajar di banyak tempat dan jalan strategis di Jabodetabek, bahkan mungkin di seluruh Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. Memang sangat berbeda penyambutannya dengan tahun baru Masehi yang penuh dengan acara-acara mubazir dan penuh hiruk-pikuk, sementara tahun baru Hijriyah tidak demikian karena tidak ada terompet, panggung-panggung hiburan seperti yang dilakukan umumnya warga yang tidak bermanfaat itu, acara hiburan di alun-alun atau di balai kota seperti yang dilakukan Gubernur Jakarta.
Menyambut tahun baru Hijriyah, umat islam berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan salat Asar berjamaah dan bersama-sama membaca doa akhir tahun, dengan tujuan memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah Swt dan amal-amalnya diterima olehnya. Kemudian, biasanya selepas shalat berjamaah juga bersama-sama membaca doa awal tahun untuk memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Seyogyanya, sebagai rakyat Indonesia sekaligus penganut Agama Islam memang seharusnya kita lebih memaknai euporia menyambut Tahun baru 1437 H ini dengan berhijrah dalam arti meninggalkan, menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak baik dan melakukan perubahan untuk menjadi lebih baik di hari yang akan kita lalui ke depan, apalagi di zaman era modernisasi dan globalisasi ini, banyak sekali perubahan-perubahan di dalam kehidupan kita, seperti sikap dan perilaku yang individualis, hedonis dan mau menang sendiri ini sangat memprihatinkan sekali sehingga kita sebagai rakyat Indonesia seakan tidak memiliki nilai akibat tergerus kemajuan zaman. Untuk itu, ayo berhijrah dengan kesungguhan niat dari lubuk hati yang paling dalam.
Begitu pun ketika kita menyimak kondisi kebangsaan dewasa ini, dimana seluruh warisan keburukan masa lalu masih dipertahankan, seperti perilaku koruptif, kesewenangan kekuasaan, ketidakadilan, serta mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa. Akibatnya, hingga kini rakyat Indonesia belum juga bisa beranjak dari problem kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Momentum tahun baru Hijriah, perlu disikapi secara kolektif untuk melakukan perbaikan agar cita-cita kebangsaan bisa diwujudkan dalam bentuk tindakan korektif secara kolektif. Perbaikan sikap para penyelenggara negara, politisi, pebisnis, insan pendidikan, dan agamawan, merupakan pra-syarat agar bangsa ini bisa keluar dari sejumlah persoalan mendasar yang menyelimuti hingga kini.
Bangsa Indonesia sesungguhnya punya modalitas luar biasa untuk keluar dari segala persoalan tersebut. Sebagai bangsa yang berketuhanan, serta mayoritas penduduknya beragama Islam, amat disayangkan ketika agama hanya menjadi pajangan namun gagal terinternalisasi dalam perilaku individu. Kegagalan ini pada akhirnya, secara kolektif telah menjerumuskan bangsa Indonesia dalam beragam persoalan yang sepertinya tidak pernah selesai meskipun rezim terus berganti, dan kepemimpinan politik nasional terus berubah. Tindakan koruptif dan ketidakadilan terus menerus mengalami perulangan, sejak Orde Lama hingga masa reformasi.
Artinya, bangsa Indonesia memerlukan transformasi sikap mental individual, dimana agama harus berperan serta dalam proses trasnformasi tersebut. Proses pelembagaan demokrasi dengan segenap perubahan pada bentuk formal pelembagaan politik, pada akhirnya tetap berpulang pada mentalitas individu yang berada dalam lembaga-lembaga kekuasaan tersebut. Begitu pun pada rakyatnya, bukan kah ada diktum politik yang menyebut bahwa kepemimpinan politik merupakan refleksi dari masyarakat politiknya. Sehingga bisa dipastikan, kepemimpinan politik yang korup adalah imbas dari perilaku koruptif masyarakat pemilihnya yang menanggalkan idealisme dalam memilih pemimpin. Kondisi ini terlihat jelas dalam ajang Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Kepala Daerah yang menempatkan modal uang sebagai syarat utama keterpilihan.
Perubahan sistem dan perbaikan struktur politik dan sosial, meniscayakan transformasi masyarakatnya secara keseluruhan, dari elit hingga lapisan terbawahnya, rakyat jelata. Perubahan struktural, baik dalam bentuk perangkat maupun aturan main berupa perundangan dan peraturan, hanya akan menjadi cek kosong jika tidak disertai perubahan attitude dan perilaku keseluruhan orang yang bernaung dalam sistem tersebut. Momentum tahun baru hijriah, yang kita sepakati sebagai moment refleksi dan kontemplasi, bukannya hura-hura dan pesta mewah, adalah momentum terbaik bagi kita untuk melakukan hijrah, dimulai dari individu-individunya, kemudian secara kolektif akan menghasilkan perbaikan secara luas.
Bagaimana caranya? Ada tiga makna utama dari momentrum hijrah Rasulullah SAW yang dapat diterapkan dalam kehidupan kita sekarang ini. Pertama, memaknai hijrah Rasulullah sebagai Hijrah Insaniyyah. Maksudnya perlunya transformasi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan kita. Simak lah perubahan paradigma masyarakat Arab setelah kedatangan Islam dan pola pikir mereka yang menunjukkan betapa sisi-sisi kemanusiaan dijadikan materi utama dakwah Rasulullah SAW. Pesan dakwah Islam secara tegas menyatakan bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, hanya Allah SWT satu-satunya Zat yang memiliki perbedaan dengan manusia. Kalau ini terbentuk dalam pola pikir dan perilaku rakyat Indonesia nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab akan tercipta di negeri ini.
Kedua, kita harus memaknai momentum hijrah ini sebagai Hijrah Tsaqafiyyah, yaitu hijrah kebudayaan. Hijrah dari kebudayaan jahiliyyah menuju kebudayaan madaniyah. Kebudayaan yang sarat dengan makna dan kemuliaan sebagaimana diperlihatkan oleh Rasulullah dalam tata krama keseharian. Dalam pergaulannya, beliau menghargai dan menggauli semua orang dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan. Bahkan lebih dari itu, beliau selalu bertindak sopan dan ramah kepada semua orang tidak pernah pandang bulu. Sebagaimana Rosulullah Saw bersabda “Bahwasannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakh”
Inilah sejatinya fondasi kebudayaan dalam kacamata Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan. Termasuk di dalamnya adalah kebersamaan, gotong royong dan kesetiakawanan. Inilah nilai-nilai yang kini mulai lenyap dari kehidupan kita digantikan dengan individualisme dan kapitalisme. Nilai kesetiakawanan dan kegotongroyongan ini juga merupakan warisan luar biasa dalam akar sejarah dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Derasnya perubahan akibat kemajuan ekonomi, teknologi dan globalisasi jangan sampai membuat fondasi kebudayaan tersebut bergeser dari sosiologi masyarakat Indonesia.
Yang ketiga adalah memaknai hijrah sebagai Hijrah Islamiyyah, yaitu peralihan kepasrahan kepada Allah secara total. Momentum hijrah ini harus kita maknai sebagai upaya peralihan diri menuju kepasrahan total kepada Allah SWT, Yang Maha Kuasa. Artinya setelah modernisme menggiring kita kepada rasionalisme yang tinggi, hingga menyandarkan kehidupan kepada kemajuan teknologi dan mengandalkan struktur pada system kehidupan yang serba maju dan modern, maka kini saatnya kita berbalik kepada Allah Yang Maha Pencipta. Sadar lah, bahwasannya berbagai pertunjukan modernisme semata merupakan hasil kreatifitas manusia belaka.
Coba kalau kita renungkan musibah dan cobaan yang menimpa negeri ini, kemarau dan panas yang berkepanjangan membuat kekeringan, potensi kelaparan, kebakaran yang menciptakan masalah baru yaitu asap yang juga menimbulkan banyak korban. Ini pertanda apa, apakah negeri ini sudah kebanyakan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang zolim dan korup atau memang kita jauh dari Allah SWT sehingga dia murka kepada kita rakyat Indonesia. Marilah kita berhijrah dan mendekat kepada Allah SWT. Oleh karenanya, mari lah di awal tahun baru ini kita memulai hidup baru dengan paradigma yang baru sesuai dengan makna hijrah yang sesungguhnya.
Penulis adalah Ketua DPW MDI Sumatera Utara
No comments