Header Ads


  • Breaking News

    Sumpah Pemoeda, Kepeloporan dan Kesederhanaan

    Pagi 28 Oktober 1928, semua penghuni Indonesische Clubgebouw tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka serius memikirkan rumusan akhir dari aspirasi para pemuda yang telah berpidato sejak hari pertama Kongres Pemuda Indonesia II. Soegondo, A.K Gani, M. Hatta, Jusupandi Danuhadiningrat, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin dan tokoh-tokoh pemuda lainnya berupaya keras menemukan resolusi yang dapat menjadi agitasi bagi persatuan Indonesia.
     

    Muhammad Yamin, sekretaris panitia kongres, malam sebelumnya telah berpidato panjang lebar tentang "Persatuan dan Kebangsaan Indonesia", termasuk tentang perlunya bahasa persatuan untuk menyatukan seluruh kelompok dan suku di Indonesia. Pidato Yamin di depan 750-an peserta rapat umum gedung Katholieke Jongelingen Bond, Waterloopplein, Lapangan Banteng, Jakarta itu dinilai telah menggiring organisasi pemuda perwakilan daerah yang ikut kongres untuk berikrar bersama. Ia mengajak organisasi-organisasi pemuda ramai-ramai menanggalkan watak kedaerahan mereka dan melebur menjadi satu organisasi: Indonesia Muda.
     

    Rumusan Sumpah Pemuda kemudian ditulis Yamin pada sebuah kertas ketika Sunario, utusan kepanduan, tengah berpidato pada sesi terakhir Kongres. Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri Soegondo, ketua panitia, menyodorkan secarik kertas, "Saya punya rumusan resolusi yang elegan." Soegondo membaca rumusan resolusi itu, lalu memandang Yamin yang membalas pandangan itu dengan senyuman. Spontan Soegondo membubuhkan paraf "Setuju". Selanjutnya, Soegondo meneruskan usul rumusan itu kepada Amir Sjarifuddin yang memandang Soegondo dengan mata bertanya-tanya. Soegondo mengangguk-angguk. Amir pun memberikan paraf "Setuju". Begitu seterusnya, sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.
     

    Sumpah itu berbunyi: Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
     

    Sebelum kongres ditutup, ikrar tersebut ditetapkan sebagai keputusan kongres dan dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Pada penutupan pula diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Para peserta Kongres Pemuda II berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll.
     

    Tahun ini, kita mengenang ulang salah satu peristiwa akbar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia itu. Peristiwa yang kemudian menginspirasi kemerdekaan Indonesia itu merupakan monumen terpenting bagi tumbuhnya semangat mendirikan Negara kebangsaan yang lama tertimbun berabad-abad kolonialisme Belanda. Memberikan jutaan rakyat terjajah di Hindia Belanda, begitu kolonial menyebut Indonesia, kepercayaan diri akan perjuangan memerdekakan diri dan menentukan nasib sendiri melalui Negara kebangsaan yang lama diimpikan. Kongres Pemuda Indonesia II berhasil meletakkan dasar kebangsaan yang sejak lama dihalang-halangi oleh kolonial Belanda.
     

    Hendrikus Colijn, Menteri Urusan Daerah Jajahan, yang kemudian menjadi Perdana Menteri Belanda, tahun 1927 – 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut Kesatuan Indonesia sebagai sebuah konsep kosong. Katanya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah yang kemudian dibantah M. Yamin dkk dengan ikrar dan tekad persatuan. Tokoh-tokoh muda ini pula yang pada akhirnya benar-benar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Yamin, Amir Sjarifudin menjadi pemimpin Indonesia merdeka, dengan segala idealisme dan kesederhanaan.
     

    Semangat muda yang direfleksikan generasi awal republik tersebut adalah cerminan dari kepeloporan dan kesederhanaan. Betapa tidak, ditengah minimnya pendidikan yang mampu dienyam mayoritas rakyat Indonesia, segelintir pemuda yang beruntung mendapatkan pendidikan justru mengambil peran guna memperjuangkan nasib rakyatnya. Perjuangan politik penuh resiko yang mereka tempuh, pada awalnya nyaris dipandang sebelah mata akan berhasil membuka hati dan pikiran rakyat Indonesia yang lama terjajah. Meski berasal dari keluarga terpandang, dimana politik balas budi yang diterapkan pemerintah Belanda di bidang pendidikan memang hanya diperuntukkan bagi kalangan atas pribumi, mereka justru memperlihatkan empati atas nasib jutaan rakyatnya yang tidak beruntung.
     

    Kini, setelah 88 tahun berlalu, heroisme muda tersebut nyaris lenyap ditelan waktu. Jamak terlihat saat ini, mimpi generasi muda yang sungguh berbeda dengan era Yamin dkk. Tokoh-tokoh muda bangsa yang dulu penuh tekad dan kesederhanaan, sekarang berubah menjadi penuh skandal korupsi dan moralitas. Pemimpin muda yang dulu penuh cita dan idealisme, kini berganti penuh keserakahan dan mudah terbeli. Tidak semua memang, namun suguhan opera sabun sejumlah kasus korupsi anak muda di panggung politik dan birokrasi belakangan ini seperti fenomena gunung es, mewakili dominannya kecenderungan kiprah kaum muda. Meski kita tetap meyakini, masih banyak kaum muda terdidik yang tetap berpegang teguh pada prinsip idealisme, kejujuran dan kesederhanaan.
     

    Barangkali, tidak sulit bagi kaum muda menjelaskan seabrek persoalan yang kini mereka lihat di tengah bangsanya. Problem korupsi, kemiskinan, hebatnya hegemoni asing di lapangan ekonomi dan politik, ancaman disintegrasi bangsa, dst, niscaya dipahami dengan mudah, apalagi secara pendidikan jauh melampaui generasi Yamin. Namun pertanyaannya, mampu kah kaum muda era kini mengkonseptualisasikan pengetahuan atas keadaan tersebut menjadi agenda dedikatif ala generasi Yamin? Lebih jauh lagi, mampukah kaum muda bangsa ini merumuskan posisioningnya memandang politik dan kebangsaan? Sehingga dapat lepas dari perulangan kenyataan “menjadi pelengkap kekuasaan generasi tua”? Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut gagal kita jawab, maka peringatan Sumpah Pemuda hanya akan menjadi seremoni historikal semata.

    Ton Abdillah Has
    Ketua Umum Angkatan Muda MDI

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad