Menyoal RUU Pertembakauan
Perkebunan tembakau di NTB |
"Dalam membuat RUU ini kami akan mendengarkan berbagai masukan, seperti yang lakukan sekarang dengan mendengarkan masukan dari asosiasi terkait," ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan asosiasi industri tembakau, Gaprindo dan Gappri.
Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) yang hadir dalam RDP tersebut sepakat dengan Firman agar petani tembakau di Indonesia menjadi fokus utama untuk dilindungi. Moefti juga menyampaikan masukannya terkait beberapa pasal dalam RUU Pertembakauan,”Kami setuju bahwa salah satu tujuan dari RUU ini adalah melindungi petani tembakau dan hal ini wajib didukung oleh Pemerintah karena selama periode 2004-2014, mereka tidak mendapat pendampingan dan bantuan pertanian," katanya.
Moefti melanjutkan, salah satu poin penting RUU ini adalah mendorong program kemitraan antara petani tembakau dengan pelaku industri rokok atau pemasok tembakau agar petani tidak terjerat oleh para tengkulak atau ijon. Melalui program kemitraan, petani tembakau akan mendapatkan bantuan modal, pendampingan teknis, serta jaminan pasar. "Program ini akhirnya juga akan mendorong peningkatan produktivitas dan kualitas tembakau yang dihasilkan oleh petani dalam negeri sehingga nantinya akan semakin dapat mencukupi kebutuhan pabrikan nasional," lanjutnya.
Menurut data dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, hasil panen dalam negeri berada di kisaran 18-19 ribu ton setiap tahunnya. Sementara data Kementerian Perindustrian, estimasi penggunaan tembakau pada tahun 2015 mencapai lebih 330.000 ton. Artinya, penggunaan tembakau impor belum bisa dihindari. Saat ini, hampir semua pabrikan rokok di Indonesia menggunakan tembakau impor sebagai campuran demi memenuhi permintaan pasar.
Terkait hal ini, Gaprindo juga menyampaikan masukan kepada DPR agar bijaksana dalam menyikapi hal ini. Menurut asosiasi pabrik rokok ini, jika dilakukan pembatasan-pembatasan impor tanpa melihat realitas lapangan dan tidak dilakukan upaya jangka panjang untuk peningkatan produktivitas dan mutu pertanian tembakau, maka akhirnya pabrikan tidak dapat memenuhi permintaan pasar dan pabrik akan merugi.
Beberapa pasal dalam RUU Pertembakauan mengatur ketentuan penggunaan tembakau impor maksimum sebesar 20 persen serta pengenaan harga dan cukai tiga kali lipat bagi produk yang mengandung tembakau impor. Jika ketentuan tersebut diterapkan tanpa melalui tahapan peningkatan daun tembakau dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan, pabrikan akan kolaps dan seluruh kelangsungan mata rantai industri akan dikorbankan, termasuk para petani tembakau dan pekerja pabrikan.
Pro Kontra
RUU Pertembakauan segera mengundang reaksi sejumlah kalangan. Dukungan diantaranya dikemukakan Gubernur Provinsi NTB TGH Zainul Majdi. Gubernur NTB meminta agar RUU Pertembakauan benar-benar bisa melindungi petani dari berbagai persoalan yang ada. Begitu juga dengan masalah kesehatan agar tidak dijadikan alasan dalam memperjuangkan nasib petani, karena menurut dia tembakau bukan hanya masalah kesehatan.
Pria yang juga menjabat Rektor Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor ini pun dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Pertembakauan apabila akan merugikan petani, karena Provinsi NTB yang dipimpinnya merupakan salah satu daerah penghasil tembakau terbaik di dunia. “Saya setuju dengan RUU Pertembakauan apabila tujuannya untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan petani” tegas pria hafiz Qur’an ini.
Sedangkan suara penolakan disampaikan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Hal ini diungkapkan Tulus Abadi dari Komnas Pengendalian Tembakau. Menurutnya, RUU Pertembakauan lebih mengarah pada kepentingan industri rokok ketimbang kepentingan petani tembakau. Tulus melihat, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah UU yang melindungi kepentingan masyarakat terhadap bahaya rokok, bukan melindungi industri rokok. Bahkan Komnas Pengendalian tembakau menuding, RUU Pertembakauan menyelonong masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2015.
Data yang dihimpun Komnas Pengendalian Tembakau menunjukkan data perokok di Indonesia untuk usia perokok pemula 10-14 tahun yaitu 16.0% pada 2007 dan pada 2010 mengalami peningkatan menjadi 17.5%. Hal ini menunjukkan konsumen penghisap rokok pemula adalah kalangan muda, yang disebabkan belum adanya regulasi yang komperehensif mengendalikan peredaran tembakau. “Indonesia lebih membutuhkan regulasi pengendalian tembakau ketimbang regulasi untuk industri tembakau,” pungkasnya. (hasyim)
No comments