Menjawab Tantangan Masa Depan
Jika jarum jam bisa kembali diputar, barangkali semua elit Partai Golkar akan memilih jalan berbeda, sehingga bisa terhindar dari dualisme kepengurusan. Namun apa hendak dikata, ibarat pepatah, nasi telah jadi bubur. Perpecahan yang kini melanda Partai Golkar merupakan sebuah realitas yang tidak bisa dinafikan, bahkan dualisme kepengurusan kini telah beranjak hingga pengurus Kabupaten/Kota. Percepatan terbentuknya kepengurusan ganda di daerah-daerah, tiada lain karena kepentingan pendaftaran kandidat dalam Pilkada langsung serentak pada akhir Juli 2015 lalu.
Guna pendaftaran Pilkada, kubu yang merasa struktur daerah tertentu tidak memihak kepengurusan versinya, bergegas membentuk pengurus karateker dan menggelar Musyawarah Daerah. Apalagi kesepakatan islah internal dan kompromi dengan penyelenggara pilkada (KPU) diantaranya menyebut pendaftaran calon Pilkada oleh partai yang masih berkonflik dilakukan secara bersamaan oleh kedua kubu dengan kandidat yang sama, yang direkomendasi pengurus pusat kedua kubu. Kesepakatan ini dibuat untuk mengakomodasi keikutsertaan Partai Golkar dan PPP dalam Pilkada langsung serentak 2015.
Peneliti senior Lembaga Survey Indonesia (LSI), Adjie Alfaraby mengatakan bahwa konflik internal yang saat ini melanda Partai Golkar, ibarat pisau bermata dua. Menurut Adjie, jika konflik tersebut berakhir dengan rekonsiliasi politik, bagaimanapun teknisnya, akan menjadi energi positif bagi lompatan Partai Golkar di masa depan, termasuk pada Pemilu 2019. Namun jika konflik berakhir dengan menyempalnya salah satu kubu, maka pasang surut yang saat ini dialami Partai Golkar akan terbawa hingga Pemilu mendatang, dan diyakini akan menggerus perolehan suara partai.
“Golkar bukan lah partai yang bersandar pada figur, melainkan pada mesin politik partai, kondisi perpecahan tentu akan merusak efektifitas mesin partai. Sehingga jalan terbaik bagi masa depan Golkar adalah melalui rekonsiliasi politik, entah dengan Munas bersama, atau proses akomodasi politik pasca ketetapan hukum final, sebuah win win solution. Rasanya Golkar jago dalam kompromi politik, dengan komponen politik lain saja bisa berkompromi, seharusnya antar faksi di internal, upaya kompromi lebih mudah dilakukan,” ujar Adji pada Mimbar Indonesia.
Pembelahan hingga daerah, menurut peneliti LSI ini sudah sangat merugikan Golkar. Beberapa riset LSI membuktikan, mesin politik Golkar belum bergerak maksimal dalam pemenangan pilkada akhir 2015 ini. “Terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan, kandidat yang diusung Golkar tidak didukung penuh oleh perangkat partai terkait perpecahan internal di daerah. Hal ini belum termasuk, kegagalan beberapa tokoh Golkar daerah mencalonkan diri dalam pilkada akibat kegagalan meraih rekomendasi kedua kubu. Situasi ini dalam jangka panjang tentu merugikan Golkar,” terangnya.
Adji juga mengingatkan, tantangan Golkar bukan saja dari internal, namun juga dari eksternal partai. Menurutnya, konflik yang saat ini terjadi di tubuh golkar, membuat partai-partai nasionalis yang memiliki kemiripan platform, seperti Partai Demokrat, Nasdem, dan Gerindra akan diuntungkan, karena kepercayaan dirinya bangkit, menjadi lebih optimis. “Hal ini wajib diwaspadai, jika Golkar tidak ingin menjadi partai medioker pada Pemilu 2019. Golkar mesti berpacu dengan waktu, dan memerankan tokoh-tokoh sepuh partai dalam penyelesaian konflik internal,” tandas lulusan Universitas Indonesia ini.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh pengamat politik Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad. Menurut Herdi, penyelesaian konflik internal merupakan aspek kunci bagi masa depan Golkar. Jika penyelesaiannya yang dilakukan membuat semua pihak merasa nyaman dan happy, maka akan menjadi modal kuat Golkar melangkah ke depan. “Saya melihat kemungkinan tersebut terbuka lebar, mengingat Golkar merupakan partai modern, sehingga penyelesaian konflik lebih mudah dilakukan. Apalagi setahun perseteruan ini terbukti telah membuat Golkar merugi,” paparnya.
Meski demikian, Herdi juga mengungkapkan para pengambil keputusan di Golkar tidak hanya membangun penyelesaian secara instan. Hal ini dimaksudkan agar di masa depan tidak terjadi perulangan konflik. “Dualisme di Golkar ini seharusnya menjadi yang pertama dan terakhir, karenanya akar persoalannya harus dikupas dan dijadikan pelajaran semua komponen Golkar. Jika hal ini tidak dilakukan, maka sejatinya hanya akan menciptakan bom waktu. Perulangan dualisme kepemimpinan di masa depan, pastinya akan membuat Golkar kehilangan taji, bahkan terjerembab dalam,” ujar Herdi mengingatkan.
Lebih jauh mantan aktivis era Orde Baru ini mengingatkan, bahwa kelahiran Golkar sejatinya sebagai antitesa dari kebisingan politik multipartai masa Orde Lama. Sehingga Golongan Karya dipersiapkan untuk membuat panggung politik menjadi lebih produktif dan mampu bekerja nyata untuk rakyat. Menurut dia, itulah sebabnya Golkar menggunakan spirit kekaryaan dan menggunakan jargon ‘pembangunan’. “Kehebohan akibat konflik internal di tubuh Golkar, sebenarnya menjauhkan Golkar dari spirit kelahirannya. Hemat saya, menjadi sebuah keniscayaan, membangun kembali Golkar pasca konflik harus lewat upaya yang merefleksikan raison d’etre partai ini,” pungkas Herdi.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Mimbar Indonesia mengungkapkan tantangan Partai Golkar ke depan. Menurut Yunarto, tanpa masalah internal saja, sesungguhnya Golkar sudah memiliki masalah serius. Penelitian pasca pemilu 2004 hingga 2014 menunjukkan, captive market Golkar semakin menua. “Pada pemilu 2014, captive market Partai Golkar berada pada rentang usia 50 tahun ke atas yang merasakan hidup di zaman Orde Baru. Jika berdasarkan latar belakang dan pekerjaan adalah mereka yang berprofesi sebagai nelayan, petani, dan birokrat. Jika hal ini terus dipertahankan, suara Golkar diprediksi akan terus tergerus tiap pemilu,” ungkapnya.
Yunarto mengakui, Golkar memiliki beragam alasan untuk tetap menjadi partai politik papan atas, seperti punya manajemen modern, infrastruktur yang kuat, kaderisasi yang berjalan baik, serta kekuatan kapital yang merata di kalangan elitnya, dari pusat hingga daerah. Namun demikian, Golkar perlu segera menyesuaikan diri dengan irama zaman, seperti mengoptimalkan media sosial yang sedang digandrungi kalangan muda. Menurut Yunarto, menurunkan rentang usia pada captive market partai, merupakan tantangan utama Golkar ke depan.
Situasi pasca konflik merupakan momentum untuk melakukan peremajaan partai, dan Golkar tidak kekurangan kader muda untuk ditonjolkan menjadi figur baru. “Menciptakan figur muda sebagai komunikator partai kan tidak mesti selalu sejalan dengan posisi struktural. Partai-partai lain bahkan memposisikan figur muda berkualitas sebagai sosok baru tanpa harus ditempatkan pada posisi-posisi kunci di struktur partainya. Mereka cukup di beri ruang untuk menjadi representasi suara partai, sembari belajar dan dipersiapkan untuk mengelola partai di masa depan,” jelas Yunarto.
Meski masih dihadapkan pada situasi konflik, optimisme untuk masa depan Golkar sebenarnya tetap menyala di akar rumput. Menurut Aprizon, SP, Plt. Ketua DPD II Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, kondisi konflik memang sempat menghadirkan kebingungan di kalangan pengurus daerah, namun di grass root, kader-kader Golkar menganggap konflik merupakan hal biasa di tengah Golkar. “Kesadaran akan dinamisnya partai sebenarnya sudah disadari oleh kader-kader di daerah, sehingga bagi mereka urusan konflik kepengurusan merupakan urusan elit. Karenanya, saya berharap konflik di pusat bisa segera selesai dengan baik, dan yang paling penting jangan ditarik sampai ke daerah. Kasihan kader-kader Golkar di kecamatan dan desa, kecintaan mereka pada Golkar harus dijaga jangan sampai luntur,” ujar Aprizon.
Menurut Aprizon, masa depan Golkar terkait langsung dengan kemampuan partai menjaga ruh perjuangan Partai Golkar. Ruh perjuangan itu menurutnya, bersumber pada spirit kemandirian, keterbukaan, demokratis, moderat, solid, mengakar, responsif, majemuk, egaliter, serta berorientasi kepada karya dan kekaryaan. “Spirit ini jangan sampai luntur di kalangan kader-kader Golkar, karena tanpa spirit tersebut, Golkar kehilangan pembeda dengan partai-partai lain. Apalagi spirit karya dan kekaryaan bagi Golkar bukan lah jargon semata, melainkan sudah mendarah daging dan dipraktikkan selama puluhan tahun,” tandas tokoh muda Golkar Riau ini.
Selain ruh perjuangan, Aprizon juga mencatat beberapa hal yang harus dibangun, seperti sistem perkaderan dan regenerasi, konsolidasi internal, dan agenda membangun kekuatan sosial baru sebagai penyangga partai. “Ibarat beringin, rindangnya harus meneduhkan dalam wujud karya nyata kader untuk masyarakat dan bangsa, pohonnya harus kokoh dalam arti tidak terpecah dan solid, serta akarnya harus kuat dalam wujud Golkar yang mengakar di tengah masyarakat. Jika hal ini kita pelihara, saya yakin eksistensi beringin tidak akan tercerabut meski ditengah tantangan eksternal dalam rupa kompetisi dengan parpol lain yang semakin ketat,” tutupnya. (pin)
Guna pendaftaran Pilkada, kubu yang merasa struktur daerah tertentu tidak memihak kepengurusan versinya, bergegas membentuk pengurus karateker dan menggelar Musyawarah Daerah. Apalagi kesepakatan islah internal dan kompromi dengan penyelenggara pilkada (KPU) diantaranya menyebut pendaftaran calon Pilkada oleh partai yang masih berkonflik dilakukan secara bersamaan oleh kedua kubu dengan kandidat yang sama, yang direkomendasi pengurus pusat kedua kubu. Kesepakatan ini dibuat untuk mengakomodasi keikutsertaan Partai Golkar dan PPP dalam Pilkada langsung serentak 2015.
Adjie Alfaraby, Peneliti Senior LSI |
“Golkar bukan lah partai yang bersandar pada figur, melainkan pada mesin politik partai, kondisi perpecahan tentu akan merusak efektifitas mesin partai. Sehingga jalan terbaik bagi masa depan Golkar adalah melalui rekonsiliasi politik, entah dengan Munas bersama, atau proses akomodasi politik pasca ketetapan hukum final, sebuah win win solution. Rasanya Golkar jago dalam kompromi politik, dengan komponen politik lain saja bisa berkompromi, seharusnya antar faksi di internal, upaya kompromi lebih mudah dilakukan,” ujar Adji pada Mimbar Indonesia.
Pembelahan hingga daerah, menurut peneliti LSI ini sudah sangat merugikan Golkar. Beberapa riset LSI membuktikan, mesin politik Golkar belum bergerak maksimal dalam pemenangan pilkada akhir 2015 ini. “Terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan, kandidat yang diusung Golkar tidak didukung penuh oleh perangkat partai terkait perpecahan internal di daerah. Hal ini belum termasuk, kegagalan beberapa tokoh Golkar daerah mencalonkan diri dalam pilkada akibat kegagalan meraih rekomendasi kedua kubu. Situasi ini dalam jangka panjang tentu merugikan Golkar,” terangnya.
Adji juga mengingatkan, tantangan Golkar bukan saja dari internal, namun juga dari eksternal partai. Menurutnya, konflik yang saat ini terjadi di tubuh golkar, membuat partai-partai nasionalis yang memiliki kemiripan platform, seperti Partai Demokrat, Nasdem, dan Gerindra akan diuntungkan, karena kepercayaan dirinya bangkit, menjadi lebih optimis. “Hal ini wajib diwaspadai, jika Golkar tidak ingin menjadi partai medioker pada Pemilu 2019. Golkar mesti berpacu dengan waktu, dan memerankan tokoh-tokoh sepuh partai dalam penyelesaian konflik internal,” tandas lulusan Universitas Indonesia ini.
Herdi Sahrasad, Pengamat Politik Universitas Paramadina |
Meski demikian, Herdi juga mengungkapkan para pengambil keputusan di Golkar tidak hanya membangun penyelesaian secara instan. Hal ini dimaksudkan agar di masa depan tidak terjadi perulangan konflik. “Dualisme di Golkar ini seharusnya menjadi yang pertama dan terakhir, karenanya akar persoalannya harus dikupas dan dijadikan pelajaran semua komponen Golkar. Jika hal ini tidak dilakukan, maka sejatinya hanya akan menciptakan bom waktu. Perulangan dualisme kepemimpinan di masa depan, pastinya akan membuat Golkar kehilangan taji, bahkan terjerembab dalam,” ujar Herdi mengingatkan.
Lebih jauh mantan aktivis era Orde Baru ini mengingatkan, bahwa kelahiran Golkar sejatinya sebagai antitesa dari kebisingan politik multipartai masa Orde Lama. Sehingga Golongan Karya dipersiapkan untuk membuat panggung politik menjadi lebih produktif dan mampu bekerja nyata untuk rakyat. Menurut dia, itulah sebabnya Golkar menggunakan spirit kekaryaan dan menggunakan jargon ‘pembangunan’. “Kehebohan akibat konflik internal di tubuh Golkar, sebenarnya menjauhkan Golkar dari spirit kelahirannya. Hemat saya, menjadi sebuah keniscayaan, membangun kembali Golkar pasca konflik harus lewat upaya yang merefleksikan raison d’etre partai ini,” pungkas Herdi.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Mimbar Indonesia mengungkapkan tantangan Partai Golkar ke depan. Menurut Yunarto, tanpa masalah internal saja, sesungguhnya Golkar sudah memiliki masalah serius. Penelitian pasca pemilu 2004 hingga 2014 menunjukkan, captive market Golkar semakin menua. “Pada pemilu 2014, captive market Partai Golkar berada pada rentang usia 50 tahun ke atas yang merasakan hidup di zaman Orde Baru. Jika berdasarkan latar belakang dan pekerjaan adalah mereka yang berprofesi sebagai nelayan, petani, dan birokrat. Jika hal ini terus dipertahankan, suara Golkar diprediksi akan terus tergerus tiap pemilu,” ungkapnya.
Yunarto mengakui, Golkar memiliki beragam alasan untuk tetap menjadi partai politik papan atas, seperti punya manajemen modern, infrastruktur yang kuat, kaderisasi yang berjalan baik, serta kekuatan kapital yang merata di kalangan elitnya, dari pusat hingga daerah. Namun demikian, Golkar perlu segera menyesuaikan diri dengan irama zaman, seperti mengoptimalkan media sosial yang sedang digandrungi kalangan muda. Menurut Yunarto, menurunkan rentang usia pada captive market partai, merupakan tantangan utama Golkar ke depan.
Situasi pasca konflik merupakan momentum untuk melakukan peremajaan partai, dan Golkar tidak kekurangan kader muda untuk ditonjolkan menjadi figur baru. “Menciptakan figur muda sebagai komunikator partai kan tidak mesti selalu sejalan dengan posisi struktural. Partai-partai lain bahkan memposisikan figur muda berkualitas sebagai sosok baru tanpa harus ditempatkan pada posisi-posisi kunci di struktur partainya. Mereka cukup di beri ruang untuk menjadi representasi suara partai, sembari belajar dan dipersiapkan untuk mengelola partai di masa depan,” jelas Yunarto.
Meski masih dihadapkan pada situasi konflik, optimisme untuk masa depan Golkar sebenarnya tetap menyala di akar rumput. Menurut Aprizon, SP, Plt. Ketua DPD II Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, kondisi konflik memang sempat menghadirkan kebingungan di kalangan pengurus daerah, namun di grass root, kader-kader Golkar menganggap konflik merupakan hal biasa di tengah Golkar. “Kesadaran akan dinamisnya partai sebenarnya sudah disadari oleh kader-kader di daerah, sehingga bagi mereka urusan konflik kepengurusan merupakan urusan elit. Karenanya, saya berharap konflik di pusat bisa segera selesai dengan baik, dan yang paling penting jangan ditarik sampai ke daerah. Kasihan kader-kader Golkar di kecamatan dan desa, kecintaan mereka pada Golkar harus dijaga jangan sampai luntur,” ujar Aprizon.
Aprizon, Plt Ketua DPD II Partai Golkar Inhil, Riau |
Selain ruh perjuangan, Aprizon juga mencatat beberapa hal yang harus dibangun, seperti sistem perkaderan dan regenerasi, konsolidasi internal, dan agenda membangun kekuatan sosial baru sebagai penyangga partai. “Ibarat beringin, rindangnya harus meneduhkan dalam wujud karya nyata kader untuk masyarakat dan bangsa, pohonnya harus kokoh dalam arti tidak terpecah dan solid, serta akarnya harus kuat dalam wujud Golkar yang mengakar di tengah masyarakat. Jika hal ini kita pelihara, saya yakin eksistensi beringin tidak akan tercerabut meski ditengah tantangan eksternal dalam rupa kompetisi dengan parpol lain yang semakin ketat,” tutupnya. (pin)
No comments