Header Ads


  • Breaking News

    Hak Ulayat

    Oleh: Nur Hidayat, S.H.,MH. Dt. Marajo Bosau

    Berbagai kalangan sekarang ini, baik akademisi, praktisi, atau lembaga negara mengetahui istilah Hak Ulayat hanya melalui teks UU Agraria dan melalui buku-buku yang kebanyakan hanya mengandalkan studi pustaka, akan tetapi dari mana dan apa esensi sebenarnya Hak Ulayat tersebut, berbagai pihak tersebut terkesan tidak perduli, yang paling ironis memiriskan hati pernyataan oknum ada beranggapan Hak Ulayat dan adat itu berasal dari negeri kolonial Belanda, karena keberadaan Hak Ulayat dan hukum adat baru diketahui dari tulisan ilmiah penulis-penulis Belanda antara lain Cornelius van Vollenhoven, yang mana dia menulis De Indonesier en zijn grond dengan istilah hot hoogste recht ten aanzein van grond (hak yang paling dasar atas tanah dan paling tinggi derajadnya). Sedangkan istilah Hak Ulayat dikenalkan pula dengan istilah beschiking recht.
     

    Berlakunya UU No 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), dianggaplah Hak Ulayat diakui secara hukum oleh Negara Indonesia yang merdeka, yang mana menurut Prof. Arie S. Hutagalung dalam Seputar Masalah Hukum Tanah, bahwa dalam pelaksanaan UUPA terkesan tidak menjadi jelas dan justru menimbulkan masalah bagi masyarakat hukum adat di negara yang telah merdeka. Seharusnya, berlakunya UUPA bisa lebih menjamin kemerdekaan masyarakat Indonesia seutuhnya, akan tetapi malah diri sendiri merampas dirinya. Benar-benar yang seharusnya suatu keseriusan, kok malah menjadi sebuah anekdot? Bukankah kebahagiaan masyarakat akan menjadi kebahagian negara? Kebahagian anak diramah tangga bukankah menjadi kebahagian orang tua? Hal ini perlu diperbaiki kedepannya. Ibarat dalam ungkapan Adat: bila kusut diselesaikan, keruh harus dijernihkan, kusut diujung kembali ke pangkal. 

    Ada dua hal yang pundamental yang membuat masyarakat adat menjadi hilang kemerdekaannya setelah berlakunya UUPA. Pertama, unsur setengah hati negara dalam memberikan pengakuan keberadaan Hak Ulayat atau hak-hak serupa. Dalam hal ini jelas sekali dimuculkan pada pasal 3 UUPA dengan penggalan kalimat “....sepanjang menurut kenyataannya masih ada...” jika dilihat dari pengakuan Kolonial Belanda hak atas tanah adat akan kontradiksi sekali, yang mana Belanda dan Kesultanan Siak sebagai negara merdeka ketika itu mengakui dengan jelas keberadaan Hak Ulayat di Kampar, Riau setelah ditandatangani Kontrak Siak, Senin, I Februari 1858 sebagai cikalbakal lahirnya bab Alqawa’id (UU Kesultanan Siak) yang mengakui bahwa batas-batas Kesultanan Siak adalah dengan Ulayat Lima Koto Kampar (pasal 8). Kala itu tanah-tanah Ulayat Lima Koto yang terolah atau diusahakan oleh Kesultanan Siak akan mendapat Pancuong Ale (Bunga Hak Ulayat/Uang tanda Hak Punt) dari Sultan Siak ke Negeri Lima Kota (Kampar). 


    Kedua, unsur kepentingan nasional yang dikaitkan dengan Hak Menguasai Negara yang terdapat dalam pasal 2 ayat 3, telah mengkebirikan hak mengusai adat yang seyogyanya menjadi jati diri Hak Ulayat atas masyarakat adat tersebut. Seharusnya pada UUPA tidak harus serta merta hak menguasai adat itu dihilangkan oleh hak menguasai negara. Dalam hal ini harus berlaku asas dalam adat yakni: Mengambil rambut didalam tepung, rambut tidak putus tepung tidak terserak. Hendaknya dalam hal ini negara jangan bersikap: segenggam diambil, secubit ditinggalkan, artinya: hampir semua esiensi yang terkandung dalam Hak Ulayat dalam arti sebenarnya telah dimuat kedalam UUPA, akan tetapi negara masih melupakan esensi dasar Hak Ulayat tersebut. Seharusnya, kendati negara sebagai legitimasi akhir tentang permasalahan agraria akan tetapi hendaknya apa yang menjadi hak legitimasi masyarakat adat diberikan juga demi kepentingan bersama. Pasal ini lah yang paling mujarab dijadikan oknum untuk melancarkan sikap-sikap kapitalisnya yang dapat merugikan anak-anak pertiwi.


    Berdasarkan dua unsur permasalahan yang krusial di atas, kesempatan ini akan dicoba mengupas sekilas asal usul Hak Ulayat berdasarkan sistem norma hukum adat yang sebenarnya, agar negara lebih bisa memberikan kemerdekaan kepada masyarakat adat diseluruh Indonesia yang nota bene adalah anak-anak ibu pertiwi. 


    Berdasarkan Aturan Dasar Hontak Soko Pisoko bahwa Hak Ulayat merupakan bahagian dari ketentuan Soko dari masyarakat adat. Karena ketentuan inilah hak ulayat disebut hak bersama (komunal). Karena Hak Ulayat berdasarkan Aturan Dasar Adat maka hak ulayat disebut Hak yang paling dasar dimana C. Van Vollenhoven menyebutnya dengan istilah “Grond.” Setiap hak soko telah melebur pada dirinya kekuatan sumpah yang tidak boleh siapapun melanggar dan bila melanggar akan terkena penyakit sumpah yang disebut tula atau bisa kauwi. Dalam ketentuan soko ada empat unsur yang harus dipenuhi untuk menghidupkan ruh hukum Hak Ulayat tersebut yakni harus ada hubungan lansung, memiliki hak menutup sebelum ada adat, berhak memutus dan ciri-ciri sebuah kesalahan bila memaksa menghilangkan adat. 

    Arti berhubung langsung adalah hak ulayat harus ada hubungan lansung dengan masyarakat adatnya baik bagi pengelolaan oleh kaumnya sendiri atau dari luaran, karena hak ulayat adalah wilayah kedaulatan kaum yang menguasai hak ulayat yang sudah ada semenjak mereka menghuni nusantara ini (jauh sebelum Indonesia dijajah dan Indonesia merdeka). Arti memiliki hak menutup adalah masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atau dipersamakan berhak melarang siapapun memiliki, mengolah, memakai ulayat tersebut sebelum ada kesepakatan adat diisi, lembaga dituang artinya: hitam putih/perjanjian tentang mengolah tanah harus ada maka masyarakat adat adat akan memberikan sejumlah tanahnya sesuai dengan hak dengan yang diinginkan. 


    Dalam prasa aturan dasar ini berlaku aturan pelengkap ulayat: kehutan berbunga kayu, kegurun berbunga emping, kelaut sungai berbunga batu dan karang. Inilah yang disebut pancuong ale atau adat yang diisi. Dalam hal ini juga berlaku aturan pelaksana adat yakni satompoksaome, sakucuik longan baju, sapotiong tali bajak, sasentak tali jalo, sagantang silang aliong artinya: hak ulayat adalah hak memiliki harta yang berempunya, dimana hak memiliki dan hak mengusahakan adalah orang yang mengolah ulayat tersebut setelah duduk berguru tegak bertanya (ada persetujuan legitimasi) kepada yang empunya harta Ulayat. Sehingga dalam penerapannya harus selaras dalam konteks kesepakatan saling menguntungkan yang diwakili lansung dari adat oleh pemangku adat untuk menerima bunga kayu dari pengolah ulayat tidak penuh keatas, maka penuh kebawah wajib hukumnya dibayar sebagai tanda punt.


    Selanjutnya adalah hak memutus dari masyarakt adat yakni hak memberikan legalitas terhadap kaum atau orang luaran yang ingin menggunakan , memiliki, mengusahakan hak ulayat. Dalam hak memutus ini, yang memiliki harta hak ulayat juga berhak mencabut kembali bila tidak sesuai ketentuan yang mana esiensinya bisa dilihat di UUPA karena kandungan UUPA hampir seluruhnya mengadopsi ketentuan Hak Ulayat.


    Sedangkan ciri-ciri kesalahan bila memaksa menguasai hak ulayat adalah ciri melekatnya sumpah serapah nenek moyang penguasa hak ulayat tersebut. Dalam Aturan Dasar Adat Hontak Soko Pisoko ciri-ciri ini disebut dengan tidak bermato maeko menjadi artinya: tidak ada hak mutlak sesuai sumpah adat dan tidak sesuai aturan sebenarnya adat maka siapapun yang mengusahakan akan bersalahan atau akan datang pertentangan dan kekisruhan oelh pemaksaan tersebut. Dan bila tidak ada niat baik sama sekali dari yang ingin menguasai secara tidak baik-baik maka akan datang bencana dan mala petaka. Dalam kontek prasa keempat dari  Aturan Adat Soko ini terbukti selama 70 tahun lebih UUPA berlaku maka selama itu pula ada korban hak dan bahkan nyawa yang ditimbulkan UUPA. Hal ini tidak dipungkiri bahwa telah ada ribuan sengketa pertanahan dan bahkan milyaran sengketa pertanahan semenjak UUPA ada. Tentu batin dan fikiran kita bertanya, kenapa bisa terjadi?


    Saran yang perlu dipertimbangkan kedepan oleh semua pihak diseluruh nusantara ibu pertiwi ini, mari dimunculkan hakikat hak ulayat sebenarnya tersebut dalam UUPA agar kemerdekaan anak-anak ibu pertiwi benar-benar terjamin. Kerinduan akan hal ini seperti kerinduan seorang anak menunggu sang ibu pulang dari pasar, menunggu seorang ayah dari merantau. Hendaknya jangan sampai lagi ibarat memakan semangkok cendol tapi jauh dari luar, yakni makan  begitu enak terasa akan tetapi hanya melihat dari luar saja dan dilengkapi dengan tegukan hampa.


    Penulis adalah pengacara dan pemuka adat

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad