Header Ads


  • Breaking News

    Menanti Terang, Selepas Badai

    Jakarta (Mimbar Indonesia) - Hampir setahun sudah, perpecahan melanda partai berlambang pohon beringin. Dualisme kepengurusan tersebut terjadi setelah gelaran Musyawarah Nasional (Munas) IX di Bali, pada tanggal 30 November-4 Desember 2014, yang diikuti pelaksanaan Munas tandingan di Jakarta yang digelar di Ancol pada tanggal 6-8 Desember 2014. Munas Bali menetapkan terpilihnya kembali Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, sedangkan Munas Ancol memilih Agung Laksono selaku ketua umum. Sepanjang sejarah Golkar, ini lah konflik paling terbuka dan terpanjang karena hadirnya kepengurusan ganda yang belum berakhir hingga kini.

    Sebelum Munas IX, Rapimnas Partai Golkar tahun 2014 di Yogyakarta pada tanggal 17-19 November 2014 merupakan babak awal dari konflik terbuka yang melanda partai berlambang pohon beringin. Pada Rapimnas Yogyakarta, isu ARB akan maju lagi atas desakan mayoritas DPD I dengan pelaksanaan Munas pada akhir bulan itu juga menjadi kenyataan. Dalam forum Rapimnas, mayoritas DPD I meminta Munas dilaksanakan secepatnya dan bersepakat bulat mengusung kembali ARB sebagai ketua umum Partai Golkar. Situasi yang membuat Agung Laksono bersama Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang, Agun Gunanjar, Airlangga Hartarto, Zainudin Amali, Yoris Raweyai dan sejumlah tokoh partai lainnya gerah dan menyiapkan langkah perlawanan, hingga akhirnya berwujud Munas ganda.

    Akbar Tanjung
    Sebenarnya, pada Munas IX yang digelar di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali masih diupayakan ruang rekonsiliasi guna menghindari perpecahan. Upaya Akbar Tanjung dan sejumlah pinisepuh partai yang meminta semua kandidat ketua umum untuk bertarung di Bali adalah bentuk upaya penyatuan. Apalagi di Munas Bali, hampir seluruh pengurus provinsi (DPD I) dan kabupaten/kota (DPD II) hadir, serta perwakilan ormas pendiri dan didirikan turut hadir, namun upaya Akbar tersebut kandas.

    Babak kedua konflik internal Golkar kemudian berada di Kementerian Hukum dan HAM yang berwenang mengesahkan kepengurusan partai politik. Baik kubu Munas Bali maupun Munas Ancol sama-sama mengajukan pengesahan SK kepada Kemenkumham. Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly kemudian memutuskan pengesahan kubu Agung Laksono dengan dasar keputusan Mahkamah Partai Golkar. Keputusan ini mengundang kontroversi, karena empat orang anggota mahkamah partai yang diketua Muladi sebenarnya tidak menghasilkan keputusan bulat.

    Konflik Golkar kemudian memasuki arena hukum, setelah kubu Aburizal Bakrie menggugat SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono. Kubu ARB menggugat SK Menkumham ke PTUN dan menggugat pelaksanaan Munas Ancol ke Pengadilan Negeri. Kedua gugatan tersebut dimenangkan kubu ARB pada sidang tingkat pertama, PTUN Jakarta Barat dan PN Jakarta Utara, namun putusan banding PTTUN Jakarta berbalik memenangkan kubu Agung dan memandang SK Menkumham tidak menyalahi hukum. Hingga kini, putusan final di tingkat kasasi TUN belum diumumkan, sedangkan gugatan di jalur PN yang dibanding kubu Agung ke Pengadilan Tinggi Jakarta juga belum diputuskan.

    Ditengah penyelesaian hukum, muncul persoalan politik terkait keikutsertaan Golkar dalam Pilkada langsung serentak pada akhir tahun 2015. Pilkada serentak yang menyertakan 269 Pilgub, Pilbup dan Pilwako tersebut, mengharuskan kedua kubu melakukan islah terbatas. Islah terbatas ini, serta kompromi dengan penyelenggara Pilkada (KPU), akhirnya bisa menyelamatkan keikutsertaan kader-kader Golkar dalam Pilkada. Namun, di sebagian daerah rekomendasi Golkar untuk pencalonan kandidat ditolak oleh KPUD setempat karena ketidaksamaan rekomendasi yang diberikan oleh kedua kubu.

    Tanda tanya arah penyelesaian permanen konflik Golkar kemudian mengapung, apakah berakhir dengan kompromi politik, atau melalui penyelesaian hukum. Meski sebagian besar publik mengharapkan opsi pertama, namun kombinasi opsi kompromi dan penyelesaian hukum nampaknya merupakan jalan terbaik bagi masa depan Partai Golkar. Hal ini diungkapkan oleh Ton Abdillah Has, Ketua Umum Angkatan Muda MDI. Bekas caleg DPR RI daerah pemilihan Riau II pada pemilu 2014 ini berpendapat, selain aspek legalitas, kepentingan konsolidasi ulang pasca konflik merupakan faktor krusial. Menurut dia, kubu manapun yang akhirnya mendapatkan legalitas kepengurusan final menurut hukum, patut merangkul kubu berseberangan demi kepentingan Golkar ke depan.

    “Penyelesaian hukum atas konflik kepengurusan hanya lah awal bagi upaya mengakhiri badai di internal Partai Golkar. Upaya terpentingnya justru bagaimana komponen Golkar memastikan konflik ini berakhir khusnul khotimah, sehingga energi konflik berkepanjangan ini bisa dibalik menjadi energi untuk memenangkan Golkar dalam pemilu mendatang. Kita semua tentu tidak ingin, justru Golkarnya yang berakhir dengan su’ul khotimah, karena bagaimana pun Golkar adalah pilar penting bangsa ini,” ungkap mantan aktivis mahasiswa ini.

    Tanda-tanda mulai terurainya konflik internal Golkar sebenarnya sudah terlihat akhir-akhir ini. Keberhasilan islah sementara untuk keikutsertaan dalam pilkada merupakan indikasi awal yang menggembirakan. Hal ini dikemukakan Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin kepada Mimbar Indonesia. Menurut Mahyudin, meskipun bersebelahan kubu, pada umumnya politisi Golkar tetap membangun komunikasi dengan baik, termasuk di kalangan elitnya. “Cairnya komunikasi antar elit ini, tentu merupakan modal bagus untuk menemukan solusi permanen bagi konflik internal,” harap Ketua OKK DPP Partai Golkar hasil Munas Pekanbaru ini.

    Mahyudin juga optimis, perpecahan tidak akan berlarut-larut. Menurutnya, semua pihak yang berbeda pandangan pasti akan mementingkan kepentingan partai dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. “Saya ini kader yang merintis karir politik dari bawah, sejak Ketua Pengurus Kecamatan (PK) hingga pengurus pusat (DPP), sehingga saya yakin betul bahwa darah Golkar di nadi kader-kader Golkar itu adalah darah untuk kebersamaan, bukan perpecahan,” tegas mantan Bupati Kutai Timur, Kaltim ini.

    Senada dengan Mahyudin, Ketua Umum Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) yang baru, Roem Kono juga meyakini akan ditemukan solusi permanen bagi konflik Golkar. Apalagi saat ini, bara konflik sudah semakin menurun dan mencair seiring waktu. Untuk itu Roem akan berupaya mempertemukan pimpinan 2 kubu Golkar yakni Agung Laksono dan Aburizal Bakrie yang masih berpolemik soal dualisme kepemimpinan.

    "Saya selaku Ketum Ormas MKGR akan mengadakan konsolidasi rekonsiliasi. Saya yakin tahun ini akan selesai, saya akan ketemu ARB dan AL untuk membicarakan persoalan internal partai. Kita mempunyai kepentingan dan kewajiban yang sama terhadap Golkar," kata Ketua BURT DPR ini di Gedung DPR, Senayan.

    Roem Kono juga menyatakan, rekonsiliasi dualisme kepemimpinan Partai Golkar sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat bahwa Golkar terus memperjuangkan kepentingan rakyat dan menyelesaikan permasalahan bangsa. "Sebagai partai politik, Golkar berkewajiban menjalankan dharmabaktinya dan kembali hadir di tengah masyarakat," ujar Roem Kono.

    Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung juga menegaskan, seluruh jajaran partai berlambang pohon beringin harus bisa menyelesaikan masalah internal secara bersama dengan sungguh-sungguh, seperti halnya Golkar mampu menyelesaikan persoalan di masa sulit tahun 1998. Meski sedih dengan kondisi Partai Golkar, Akbar optimis persoalan Partai Golkar saat ini bisa diselesaikan dengan baik. Karena menurut Akbar, bentuk penyelesaian konflik ini menjadi sangat penting bagi perjalanan Golkar ke depan.

    Akbar merasa beban Golkar hari ini tidak lebih berat dibandingkan saat dia menjabat Ketua Umum Golkar, kala menghadapi betapa beratnya cobaan di awal reformasi. Kata Akbar, saat itu kantor-kantor Golkar dibakar, bahkan dia dan istrinya dikejar-kejar adalah moment tak terlupakan. “Partai Golkar harus bisa menghadapi tantangan ini, karena di awal reformasi Partai Golkar juga menghadapi tantangan yang tak kalah berat, namun partai bisa melewatinya,” ucap Akbar Tanjung.

    Seperti ungkapan para pelaut, “kelak semua badai pasti akan berlalu”, begitu pula harapan atas konflik internal Golkar. Jika mengalami oleng dan terombang ambing di lanunan ombak, hanyalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan dalam sebuah pelayaran. Namun, setelah terang menyapa, mari kembali kembangkan layar dan melanjutkan perjalanan. Air yang memenuhi buritan mari ditimba bersama, jika ada layar yang robek, segera lah dirajut kembali. Bahkan, andai ada yang rusak, awak kapal perlu bergegas memperbaiki.

    Setelah 51 tahun berlayar, kapal besar berlambang pohon beringin jelas bukan lah sembarang kapal yang mudah karam. Nakhoda dan juru kemudinya yang berpengalaman, serta awaknya yang terampil adalah modal terbesar untuk kembali berlayar ke tujuan, untuk membangun dan menyejahterakan bangsa. (hadi)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad