Dalang Asap yang Tak Pernah Terungkap
Jakarta (Mimbar Indonesia) - Kasus kebakaran lahan dan hutan di Indonesia bukanlah kasus yang baru sekali terjadi, melainkan telah terjadi berulangkali. Sejak terjadi kebakaran besar hutan di Kalimantan pada tahun 1982, terus terjadi rentetan kebakaran hutan pada tahun-tahun berikutnya hingga kini. Kasus kebakaran lahan di Indonesia terjadi seiring massifnya pengembangan perkebunan dalam skala besar, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebelum kebakaran tahun 2015, tercatat terjadi kebakaran besar lahan dan hutan pada tahun 2003, 2006, 2009, 2013 dan 2014. Pembakaran lahan memang menjadi solusi murah penyiapan lahan pertanian, namun telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dan negara. Sebagai perbandingan, per hektar lahan yang dibakar biayanya hanya $10-20, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 per hektar.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), DPR RI, tahun 2014, tercatat ada beberapa faktor penyebab kebakaran hutan di Indonesia, di antaranya: (1) konversi lahan, yang disebabkan oleh kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, perkebunan dan penambangan; (2) pembakaran vegetasi, yaitu kegiatan pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali, misalnya pembukaan hutan tanaman industri (HTI); (3) pemanfaatan sumber daya alam, yang disebabkan oleh aktivitas seperti pembakaran semak belukar dan aktivitas para penebang liar; (4) pemanfaatan lahan gambut, yang disebabkan oleh aktivitas pembuatan kanal atau saluran tanpa dilengkapi pintu kontrol air yang memadai sehingga gambut menjadi kering dan mudah terbakar; (5) sengketa lahan, yang disebabkan oleh upaya masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak mereka atas lahan atau aktivitas penjarahan lahan yang sering diwarnai dengan aksi pembakaran.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dan telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka menangani masalah kebakaran hutan ini. Beberapa peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan dan mengatur sanksi berat bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan, yaitu Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Atau Lahan; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan; dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
Namun kebakaran lahan yang terus berulang di Indonesia tentu menyisakan pertanyaan, mengapa bisa terus terjadi? Siapa aktor dan bekingnya? Mengapa negara nampak demikian lemah dan tidak sigap? Serta mengapa penegakan hukum karlahut tidak juga menghasilkan efek jera?
Kebakaran berulang ini diulas Sawit Watch dan beberapa lembaga peduli lingkungan seperti Walhi Riau, Save Our Borneo, Sarekat Hijau Sumsel dan Jikalahari melalui buku berjudul “Kebakaran Hutan dan Lahan, Siapa yang Melanggengkan?” Buku yang telah direlease pada Juli 2015 lalu mencoba memotret kenapa kebakaran lahan dan hutan terjadi berulang hampir setiap tahun tanpa ada penyelesaian. Penulisan buku ini dimulai pertengahan 2013 lewat focus group discussion yang membahas kebakaran hutan dan lahan serta penelitian lapangan hingga pertengahan 2014 di wilayah Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Salah satu yang diungkap dalam buku ini tumpang tindih kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Gambut bertolak-belakang dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14 tahun 2009 yang mengizinkan perkebunan sawit meng eksploitasi lahan gambut. Riset beberapa lembaga peduli lingkungan tersebut juga menunjukkan titik-titik api pada kebakaran lahan dan hutan terjadi berulang di wilayah konsesi yang sama. Kelompok pencinta lingkungan menyebut pembakaran sengaja ini sebagai smart fire karena dibuat seolah tidak melampaui batas-batas tertentu.
Buku ini juga mengulas lemahnya penegakan hukum dalam kasus pembakaran lahan sehingga tidak menimbulkan efek jera, seperti PT. Adei Plantation (AD) yang telah berkali-kali terkena hukuman. Pada 2001, AD divonis bersalah Mahkamah Agung delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta karena sengaja membakar lahan 3.000 hektar. Tahun 2006, terjadi gugatan perdata US$1,1 juta dalam kasus kebakaran lahan di Bengkalis, Riau. Lalu pada 2013, perusahaan ini didakwa membakar lahan di Desa Batang Nilo Kecil, Pelalawan, Riau seluas 305 ha. Terakhir, kasus IUP ilegal tahun 2014 dengan tiga terdakwa yaitu Danesuvaran KR Singam, Tan Kei Yoong dan Goh Tee Meng (warga negara Malaysia). Namun ketiga tersangka kemudian dinyatakan bebas dengan alasan terdakwa orang asing, karena berkewarganegaraan Malaysia. Anehnya, Kementerian LHK tidak mengajukan banding.
Penelitian para aktivis lingkungan ini juga mengungkap, banyak kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan secara sengaja untuk memperluas perkebunan sawit. Temuan lapangan di Riau ini menunjukkan pada satu wilayah yang dulu kebakaran, pada tahun berikutnya sudah menjadi perkebunan sawit. Barangkali tidak banyak yang mengetahui, pasca kebakaran hutan tahun 2014 yang memaksa Presiden SBY meminta maap pada negara tetangga, memerintahkan UKP4 melakukan investigasi dan audit. Hasilnya mengejutkan, tidak ada perusahaan yang melaksanakan kewajiban pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Bahkan, kebakaran juga terjadi di konsesi perusahaan yang mengklaim diri menerapkan aspek keberlanjutan seperti ISPO maupun RSPO.
Selain itu, ada juga modus pembakaran lahan untuk memperoleh asuransi. Perusahaan nakal in sejak awal sudah tahu bahwa produksi HTI dan HPH akan jelek dan merugi, sehingga pembakaran sengaja dilakukan untuk mendapatkan klaim asuransi dalam jumlah sangat besar. Modus ini terjadi di Sumatera Selatan dan Riau. Pada beragam modus pembakaran hutan dan lahan ini, masyarakat lokal seringkali dijadikan kambing hitam untuk memenuhi kebutuhan aktor-aktor besar perkebunan.
Aksi pemerintah memenjarakan atau menuntut individu serta perusahaan yang diduga membakar lahan tak akan cukup untuk mencegah kabut asap berulang. Penelitian tentang 'Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan' dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo mengungkap, ada puluhan aktor yang terlibat dan mendapat keuntungan ekonomi dari pembakaran hutan dan lahan. Sebagian besar dari jaringan kepentingan dan aktor yang mendapat keuntungan ekonomi ini menyulitkan langkah penegakan hukum.
Menurut Herry, kerumitan terjadi karena para pelaku pembakar hutan, baik masyarakat maupun kelas-kelas menengah dan perusahaan selalu berhubungan dengan orang-orang kuat, baik di tingkat kabupaten hingga nasional, bahkan sampai tingkat ASEAN. Herry meragukan seorang Bupati atau Gubernur berkemauan melakukan tuntutan hukum pada kasus pembakaran lahan di daerahnya, demikian pula kepolisian, karena bisa jadi yang punya kebun kelapa sawit berhubungan dengan partai atau pejabat kepolisian dan tentara, sehingga bupati atau gubernur tidak gampang bertindak. Pada kasus karlahut tahun 2015, Polda Riau baru menetapkan satu tersangka dari korporasi dalam kasus pebakaran lahan milik PT. Langgam Inti Hibrindo.
Maneger Nasution |
Atas lemahnya peran negara dan lambannya penegakan hukum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong sekaligus mendukung langkah sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) melakukan gugatan class action terhadap perusahaan-perusahaan pembakar lahan dan pemerintah, atas bencana kebakaran hutan dan lahan. Gugatan ini dinilai Komnas HAM diperlukan sebagai langkah mengingatkan negara, yang selama ini dirasakan masih minim bertindak, terlebih menyangkut penegakan hukum dan masalah penanganan masyarakat yang menjadi korban.
“Semestinya, negara yang seharusnya meminta pertanggungjawaban perusahaan pembakar lahan, namun saya melihat negara belum bisa melakukan apa-apa terhadap perusahaan yang jelas-jelas menguasai lahan yang terbakar itu,” tutur Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM pada Mimbar Indonesia.
Hingga kini, pemerintah memang memang belum bertindak sigap dan tegas. Aneh bukan? Bahkan setelah demikian banyak fakta terungkap dari pembakaran lahan dan hutan secara sengaja yang dilakukan raksasa-raksasa perkebunan di Sumatera dan Kalimantan, pemerintah masih sanggup brsikukuh bahwa bencana kabut asap akibat terbakarnya lahan dan hutan di Indonesia merupakan sesuatu yang tidak terduga (force majeur). Bahkan setelah ratusan ribu rakyatnya menderita ISPA dan sesak nafas, pemerintah masih bertindak setengah hati dalam mengatasi bencana asap di Sumatera dan Kalimantan. (amin)
No comments