Darurat Asap di Sumatera dan Kalimantan
Kebakaran lahan dan hutan semakin meluas di Sumatera dan Kalimantan, setidaknya 6 provinsi di Sumatera meliputi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau terkena bencana asap parah. Sedangkan di Kalimantan, Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan juga diliputi kepulan asap akibat kebakaran lahan dan hutan. Akibatnya, sebagian besar Sumatera dan Kalimantan kini dalam situasi darurat asap, dimana jarak pandang rata-rata kurang dari 1000 meter dan kualitas udara berbahaya.
Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, operasi darurat asap akibat kebakaran hutan dan lahan terus dilakukan, baik melalui operasi udara maupun darat. Pemerintah menegaskan, penegakan hukum kepada pembakar lahan dan hutan, sosialisasi, pelayanan kesehatan di Sumatra dan Kalimantan terus dilakukan. Berdasarkan data BNPB, hingga Oktober 2015, terdapat 40 juta jiwa terkena paparan asap dan 9 orang meninggal akibat paparan asap langsung dan tidak langsung.
Data sementara BNPB pada 10 Oktober 2015 juga menyebut, total hutan dan lahan terbakar mencapai 1,7 juta hektare (ha). Dari 1,7 juta areal terbakar itu, di Kalimantan 770 ribu ha, 35,9 persen diantaranya lahan gambut. Di Sumatera, areal terbakar seluas 593 ribu ha, 45,9 persen di antaranya lahan gambut dan 221.704 ha areal terbakar berada di Sumatra Selatan. "Angka ini dipastikan akan bertambah karena kebakaran masih terus berlangsung di Jambi, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah," ujar Sutopo.
BNPB juga merilis informasi terdapat 10 pesawat dan heli di Sumatera Selatan yang dikerahkan untuk mengatasi bencana kabut asap. Diantaranya heli MI-8 UR CMI, MI-171 UR CMT, MI-171 PK-IOS yang masing-masing dapat menampung 3,8 ton air; Bell 214b P2-MBH dan Super Puma AS 332 PK-DAN yang masing-masing berkapasitas 3 ton air; serta Bolkow 105 EAM dengan daya tampung 0,6 ton air. Sedangkan untuk pesawat ada Air Tractor VH-NWU dan Air Tractor VH-ZIN yang masing-masing menampung 3,2 ton air serta Bombardier CI 415 MP dari Malaysia berkapasitas 6 ton air. Untuk mengatasi kabut asap, Chinook dari Singapura yang dapat menampung 5 ton air dan Casa 212 dikerahkan untuk menciptakan hujan buatan dengan daya tampung 1 ton garam.
Atas bencana kebakaran lahan dan hutan ini, BNPB menyimpulkan titik api dalam kebakaran hutan tahun ini lebih luas dan panjang daripada tahun sebelumnya. "BNPB telah menghabiskan dana sebanyak Rp 385 miliar hingga September 2015. BNPB sudah meminta tambahan dana sebesar Rp 700 miliar dari Kementerian Keuangan," tutur Sutopo.
Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, khususnya Riau dan Jambi telah berlangsung sejak Juni 2015. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Indeks Standar Pencemaran Udara yang dikeluarkan Badan Lingkungan Hidup Riau menunjukkan kualitas udara berada dalam kategori tidak sehat hingga berbahaya terjadi di setiap daerah sejak Agustus 2015. Bandara Sutan Syarif Kasim II di Pekanbaru dan Bandara Sultan Thaha di Jambi sudah buka tutup sejak awal Agustus 2015 hingga kini. Pemerintah provinsi Riau bahkan telah meliburkan sekolah selama lebih dari sebulan terakhir dan menyiagakan seluruh Puskesmas sebagai posko darurat untuk menangani korban asap.
Hingga kunjungan presiden Jokowi ke Riau pada 9 Oktober 2015, diperkirakan lebih dari 70 ribu warga telah dirawat akibat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma dan pneumonia di Riau dan Jambi. Penderita ISPA di Kalimantan Tengah berjumlah lebih dari 35 ribu sejak Juli 2015. Selain itu, ratusan balita juga harus dirawat intensif, sejumlah anak-anak bahkan dikabarkan meninggal dunia di Jambi dan Riau. Kasus infeksi paru-paru juga ditemukan pada kelompok usia tua di beberapa daerah.
H. Andi Harun |
Anggota DPRD Kalimantan Timur, H. Andi Harun mengungkapkan penderitaan masyarakat Kalimantan Timur akibat asap sudah di ubun-ubun. Aktivitas ekonomi dan pendidikan sangat terganggu, demikian pula kesehatan masyarakat yang semakin rentan dengan gangguan pernafasan. Andi Harun meminta langkah cepat pemerintah pusat guna membantu pemerintah daerah untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan.
“Kasus kebakaran lahan tahun ini, mengingat luas lahan yang terbakar serta dampak yang ditimbulkan, seharusnya sudah dinaikkan levelnya menjadi bencana nasional. Status bencana nasional, secara prosedural dan dukungan finansial, akan memudahkan penanganan kebakaran dan korban asap,” ujar politisi Partai Golkar ini di Samarinda.
“Kasus kebakaran lahan tahun ini, mengingat luas lahan yang terbakar serta dampak yang ditimbulkan, seharusnya sudah dinaikkan levelnya menjadi bencana nasional. Status bencana nasional, secara prosedural dan dukungan finansial, akan memudahkan penanganan kebakaran dan korban asap,” ujar politisi Partai Golkar ini di Samarinda.
Pemerintah terlihat lamban menangani kebakaran lahan dan hutan, baik pada upaya pemadaman kebakaran, penegakan hukum, dan penanganan kesehatan. Padahal, dampak kabut asap di sejumlah daerah, terutama di Sumatera dan Kalimantan, sudah darurat untuk segera ditangani. Banyak pihak menyarankan agar pemerintah menaikkan status bencana asap menjadi bencana nasional guna memudahkan koordinasi penanganan. Sementara itu, bantuan asing yang sudah lama ditawarkan baru disambut presiden Jokowi sejak awal Oktober. Sepekan terakhir, setidaknya tiga negara telah membantu memadamkan api di Sumatera, yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.
Pemerintah juga dinilai telah melakukan pembiaran terhadap perusakan ekosistem lahan gambut secara masif. Kebakaran di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, menurut para ahli dan aktivis lingkungan disebabkan oleh keringnya lahan gambut setelah alih fungsi lahan. Dalam proses alih fungsi lahan gambut selalu disertai pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal. Ahli hidrologi dari Universitas Sriwijaya, Momon Sodik Imanuddin, mengatakan, akar dari kebakaran lahan gambut di Sumatera adalah adanya pengeringan berlebih dan tidak terkendali (Kompas, 14 September 2015).
Penegakan hukum Karlahut oleh Polri juga tidak menampakkan keseriusan, terbukti dengan jumlah tersangka yang umumnya merupakan pembakar lahan perorangan dengan jumlah keseluruhan lahan terbakar kurang dari 1000 hektar. Padahal, menurut Ketua AMMDI Riau, Asynin P, kebakaran lahan dan hutan di Riau dan daerah lainnya jelas-jelas dilakukan oleh korporasi besar untuk menghemat biaya land clearing. “Sudah bisa dipastikan, kebakaran lahan yang saat ini menimbulkan bencana asap dilakukan dengan sengaja. Pelakunya mustahil rakyat kebanyakan, karena di daerah kemampuan perorangan membuka lahan sawit maksimal hanya lima hektar, selain karena keterbatasan ekonomi juga disebabkan lahan-lahan luas sudah dikapling oleh raksasa-raksasa perkebunan,” ungkap Asynin.
Angkatan Muda MDI Riau mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Riau untuk mengajukan gugatan hukum pada perusahaan-perusahaan perkebunan yang membakar lahannya dengan sengaja atau lalai melakukan pembiaran terhadap kebakaran di lahannya, agar menjadi efek jera. “Seharusnya pemerintah pusat tegas mencabut izin perusahaan-perusahaan perkebunan yang terlibat dalam pembakaran lahan, serta tidak ada salahnya jika pemda melakukan gugatan terhadap kelakuan perusahaan yang tidak bertanggungjawab tersebut,” tandas mantan Presiden Mahasiswa Universitas Islam Riau ini.
Sayangnya, hingga kini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya baru berani mengeluarkan ancaman dalam bentuk pencabutan HGU (kuasa perkebunan) perusahaan sawit yang terlibat pembakaran lahan di Sumatera dan Kalimantan. “Indonesia memiliki satelit yang berkemampuan mendeteksi titik kebakaran lahan yang bisa disesuaikan dengan koordinat konsesi lahan yang telah diberikan Kementerian Kehutanan pada perusahaan sawit. Sehingga, meskipun proses hukum masih berjalan, jika pemerintah punya ketegasan, pencabutan HGU bisa dilakukan, setidaknya pencabutan sementara atau penyegelan sembari menunggu proses hukum selesai,” gugat Asynin.
Pada awal Oktober 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang telah mengancam 18 perusahaan akan dicabut izin kelola lahannya. Kementerian yang dipimpin politisi Nasdem ini juga tengah mempertimbangkan untuk melakukan gugatan hukum pidana, perdata, dan hukuman administrasi. Selain mengancam 18 perusahaan dan delapan perkebunan milik perseorangan, 30 perusahaan juga sedang dalam pengawasan intensif kementerian LH dan Kehutanan.
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau menyatakan bencana asap semestinya dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Dampak asap sudah membuat jutaan orang menderita setiap tahun. Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab selain korporasi yang menyebabkan atau lalai menanggulangi kebakaran. Riko juga menyarankan pemerintah untuk menggunakan beberapa udang-undang sebagai payung hukum penegakan hukumnya, diantaranya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan. “Ini bisa jadi payung hukum untuk memberantas pelaku kebakaran yang menghasilkan efek jera,” kata Riko.
Kebakaran lahan yang berulang terjadi di Sumatera dan Kalimantan ternyata tidak juga membuat pemerintah belajar dari pengalaman. Kejadian yang terus berlangsung selama 18 tahun ini seperti dibiarkan terus berulang. Sementara dampak ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Diperlukan ketegasan menindak pelaku pembakaran, tindakan cepat menangani kebakaran dan korban terpapar asap, serta tentu saja perbaikan regulasi agar celah hukum yang selalu membuat korporasi-korporasi besar berani membakar lahan dengan sengaja tidak lagi terjadi. (mail, dari berbagai sumber)
No comments