Luruskan Kiblat Bangsa
Oleh: Taufan Putrev Korompot
Tujuh puluh tahun sudah Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka, sudah tujuh kali pula tongkat estafet kepemimpinan nasional berubah. Sayang negara yang memiliki segala-galanya, belum mampu mengangkat harkat dan martabatnya di mata dunia internasional, sebagai bangsa yang besar, berdaulat, sejahtera dan bermartabat. Indonesia, sebuah negara yang memiliki segala-galanya secara potensi sumber daya alam, letaknya yang strategis, dan kapasitas penduduknya yang padat, hingga kini belum mampu menunjukkan keberadaan negara di tengah rakyat, karena peran negara untuk mensejahterakan rakyat masih sebatas Ilusi.
Tujuh puluh tahun sudah Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka, sudah tujuh kali pula tongkat estafet kepemimpinan nasional berubah. Sayang negara yang memiliki segala-galanya, belum mampu mengangkat harkat dan martabatnya di mata dunia internasional, sebagai bangsa yang besar, berdaulat, sejahtera dan bermartabat. Indonesia, sebuah negara yang memiliki segala-galanya secara potensi sumber daya alam, letaknya yang strategis, dan kapasitas penduduknya yang padat, hingga kini belum mampu menunjukkan keberadaan negara di tengah rakyat, karena peran negara untuk mensejahterakan rakyat masih sebatas Ilusi.
Kondisi Indonesia hari ini, pada dasarnya masih sama dengan kondisi bangsa Indonesia di masa pra-kemerdekaan. Belum merdeka seutuhnya, jika tak bisa dibilang belum merdeka. Dahulu anak bangsa bersatu melawan para kompeni, sekutu, ataupun penjajah. Hari ini, anak bangsa berhadapan dengan penjajah gaya baru, atau yang sering kita sebut neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Dahulu penjajahan dengan model invasi, pendudukan wilayah, penjajahan fisik, dengan tujuan ekploitasi sumber daya alam, hari ini pun sama, penjajahan ekonomi-politik, eksploitasi sumber daya alam, bahkan eksploitasi sumber daya manusia Indonesia.
Di zaman pra-kemerdekaan, dominasi para kolinialis barat, tersebar hampir di seluruh negeri. Menguasai segala kekayaan alam bangsa, diawali portugis, Spanyol, disusul Belanda. Pada perang dunia ke II, tepatnya tahun 1942, dominasi kolinialis barat di Indonesia mulai tergangu dengan kehadiran kekuatan baru di asia pasifik, yaitu Jepang. Munculnya kekuatan baru tersebut, menggantikan kolonialisme Belanda yang telah bercokol selama tiga setengah abad lewat invasinya ke Indonesia pada awal tahun 1942. Sejak lama, negara-negara maju memang menempatkan Indonesia sebagai arena pertempuran dan perebutan kekuasaan, mengingat sumber kekayaan alamnya yang sangat melimpah.
Anak bangsa yang sudah berjuang lama untuk mencapai kemerdekaan, melihat perang antara kolonialis barat dan Jepang, sebagai momentum untuk mewujudkan Indonesia Merdeka. Sehingga ketika Jepang terpuruk pada Perang Dunia ke II, Soekarno-Hatta segera berteriak lantang, sekarang lah saatnya Indonesia Merdeka. Para pendiri republik menyadari, berakhirnya kolonialisme barat akibat invasi Jepang, yang disusul kekalahan Jepang menjadi saat yang tepat untuk menyatakan kemerdekaan, meskipun dengan resiko masih harus menghadapi revolusi fisik menentang kedatangan kembali kaum kolonial Eropa ke negara bekas jajahannya, termasuk Indonesia.
Tak hanya memproklamirkan kemerdekaan, para founding father juga merumuskan konsepsi-konsepsi bangsa yang dijadikan sebagai dasar negara, ideologi, dan pedoman dalam setiap gerak langkah perjalanan bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dasar dan konstitusi Indonesia merdeka ini sangat jelas mengandung semangat anti-kolonialisme dan pro kesejahteraan rakyat. Begitu pula gagasan Bung Karno tentang Trisakti yang didalamnya mengandung semangat kedaulatan dan kemandirian bangsa. Konsepsi-konsepsi tersebut tetap relevan sampai detik ini. Para founding father Indonesia, tidak menginginkan sistem ekonomi liberal-kapitalistik yang menjadi identitas para neo-imperialis, menjadi dasar bagi Indonesia merdeka. Bung Karno dan Bung Hatta, dan seluruh pendiri republik menghendaki Indonesia merdeka didasari filosofi dan dasar negara yang bersumber dari akar sejarah dan kebudayaan bangsanya sendiri.
Hari ini, bangsa Indonesia kembali mengulang sejarah, dijajah dari segi ekonomi-politik oleh para neo-kolonialis barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Eropa, serta neo-kolonialis dari asia yaitu Jepang dan China. Hingga kini, Indonesia masih menjadi arena pertarungan bagi para neo-kolonialis, saling berebut pengaruh dan dominasi untuk kepentingan ekonomi-politik mereka, khususnya bagi kepentingan energi, pangan dan pasar. Kini, hampir semua sektor ekonomi dikuasai pemodal asing, mulai dari migas hingga perkebunan, sejak dari perdagangan hingga perbankan. Guna kepentingan tersebut, mereka mendikte kepemimpinan politik Indonesia, bahkan mendiktekan regulasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka.
Pertarungan negara-negara kolonial baru tersebut tentu saja tidak lagi menggunakan pendekatan perang terbuka, berupa invasi militer misalnya. Rebutan kepentingan itu lebih diwarnai perang tertutup dalam bentuk proxy war, atau perang yang menggunakan pihak ketiga dari dalam komponen bangsa itu sendiri. Strategi proxy war ini tentu menyasar kelompok elit Indonesia, dari kalangan politisi, pemimpin militer, polisi, hingga elit pemerintahan dari pusat hingga daerah, bahkan kelompok LSM dan media massa. Padahal seharusnya dalam kondisi seperti ini, para pemimpin bangsa, tidak memposisikan diri menjadi pelindung kepentingan para neo-kolonialis asing, melainkan menyatakan diri merdeka seutuhnya, layaknya para founding father kita.
Rakyat sebenanrnya sempat menaruh ekspektasi besar, kepada Presiden Jokowi-JK, untuk mampu membawa negara ini berdaulat dan merdeka seutuhnya. Jokowi dengan ciri khas sederhana-merakyat, dan JK dengan gagasan ekonomi kerakyatan, telah berjanji akan mengaplikasikan Pancasila dan UUD 1945 secara nyata. Bahkan, rezim Jokowi-JK menggunakan jargon Trisakti dalam kampanye dan hampir digunakan sebagai nama kabinet yang mereka pimpin. Secara terbuka, mereka menyebut gagasan Trisakti Bung Karno itu merupakan visi pemerintahan hari ini yang dijabarkan dalam Nawacita.
Namun ekspektasi besar rakyat Indonesia harus kembali dikubur dalam-dalam, Jokowi-JK kehilangan identitas diri sebagai agent rakyat. Jokowi-JK gagal memposisikan diri sebagai seorang nasionalis sejati, yang mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan individu dan kelompok. Malah lebih memilih permisif terhadap para neo-kolonialis dengan spirit kapitalisme nya, yang jelas sangat bertentangan dengan konsepsi-konsepsi genuine yang lahir dari bangsa Indonesia. Jokowi-JK lebih menunjukkan diri sebagai agent yang melanggengkan kepentingan para kapitalis, sehingga Nawacita berubah jadi dukacita.
Alih-alih membangun kedaulatan ekonomi bangsa, nyatanya mereka melakukan liberalisasi di semua sektor strategis. BBM dilepas ke mekanisme pasar, sehingga sektor hulu migas dan sebentar lagi sektor hilirnya, akan didominasi oleh para neo-kolonialis asing lewat korporasi transnasional mereka yang telah berserakan di Indonesia. Panik dengan resesi eknomi global Pemerintah mengambil jalan pintas dengan Paket Neolib (Paket deregulasi), “Paket Kompromistis” yang cenderung merugikan bangsa merugikan rakyat Indonesia, menguntungkan para neo-kolonialis, karena nyaris tanpa proteksi.
Janji Jokowi melawan kolonialisme di sektor industri otomotif dengan mengembangkan Mobnas (ESEMKA), bahkan sempat mengatakan akan menggunakan mobnas sebagai kendaraan resmi presiden, nyatanya memilih “bekerjasama” mengembangkan industri otomotif negara tetangga, Proton dari Malaysia. Janji Jokowi-JK untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat Indonesia, malah direalisasikan dengan menggelar karpert merah bagi para pekerja asing yang berdampak pada PHK ratusan ribu pekerja dalam negeri. Setahun memimpin, Jokowi-JK sukses menciptakan 860.000 rakyat miskin baru (BPS).
UUD 1945 yang menganut semangat anti-kolonialisme dan pro terhadap kesejahteraan rakyat, telah resmi dinegasikan oleh rezim Jokowi-JK. Gagasan Trisakti sebagai antitesis terhadap neo-liberalisme, yang dijadikan sebagai visi pemerintahan hari ini, hanya sekedar retorika politik semata, lips service dari Presiden Joko Widodo. Konsep ekonomi Berdikari sebatas slogan politik, karena pada prakteknya konsep neo-liberal lah yang diterapkan, melalui liberalisasi di semua sektor ekonomi. Kini, lambang Pancasila sebatas penghias ruangan Presiden. Ekonomi pancasila yang mengandung asas kekeluargaan, gotong royong, unsur keadilan dan kesetaraan, sepenuhnya tak dijalankan. Yang terjadi malah kebijakan pure profit oriented, sehingga menciptakan kesenjangan.
Kiblat Bangsa hari ini tak lagi jelas arahnya, sehingga bangsa Indonesia tak lagi punya identitas ekonomi politik. Padahal, haluan atau kiblat ekonomi-politik ini merupakan sebuah fundamen bagi beragam kebijakan yang dibuat, termasuk dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kiblat ekonomi-politik ini sudah tidak sesuai antara konsep dengan implementasi, karena pendulumnya Pancasila dan UUD 1945, namun realisasinya bertolak-belakang dengan falsafah negara dan konstitusi.
Maka sudah seharusnya kiblat bangsa diluruskan, agar Bangsa Indonesia kembali berkiblat kepada nilai-nilai ke-Tuhan-an, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan social yang diajarkan Pancasila dan telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sudah saatnya kita tegas menolak neo-kolonialisme dan neo-imperialisme dari korporasi kapitalis barat ataupun state kapitalistik ala China, serta menolak rezim neolib yang bertopeng pro-rakyat, agar Indonesia menjadi negara yang berdaulat, negara yang Merdeka seutuhnya.
Penulis adalah Ketua Bidang Hikmah DPP IMM
No comments