51 Tahun Golkar, Rindangnya Teduhkan Negeri, Akarnya Kokohkan NKRI
Pada 20 Oktober 2015 ini, usia Partai Golongan Karya genap lima puluh satu tahun. Diantara semua partai politik yang eksis di Indonesia saat ini, Golkar merupakan partai politik tertua. Selama 51 tahun eksistensinya, Golkar sudah kenyang asam garam pergolakan, sejak akhir Orde Lama, berkuasa di masa Orde Baru, lalu bertransformasi menjadi partai politik sejak era reformasi. Dalam perjalanannya sepanjang sejarah politik dan kekuasaan di Indonesia, Golkar memang penuh dengan kemenangan dan ‘kejayaan’ politik. Pada momentum HUT Partai Golkar tahun ini, ada baiknya kita mengenali kembali sejarah dan kiprah Golkar sejak kelahirannya hingga kini.
Adalah David Reeve, sejarawan Universitas New South Wales yang meneliti masa-masa awal Golkar menyimpulkan, ide pembentukan Golkar bermula dari gagasan Soepomo, Soekarno dan Ki Hadjar Dewantara pada periode 1940-1950-an yang berkeinginan membentuk organisasi-organisasi golongan karya karena melihat China dan Yugoslavia yang berhasil mengembangkan sistem negara dengan satu partai. Parlemen kedua negara itu memiliki semacam golongan fungsional atau wadah yang diwakili golongan-golongan yang memiliki “fungsi” dalam masyarakat. Namun, tulis Reeve dalam bukunya, “Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika”, kemunculan Golkar harus menunggu sistem multi partai banyak ditentang pada pertengahan 1950-an dan mencapai puncak menjelang Dekrit Presiden 1959.
Gagasan tentang digantikannya peran partai-partai dengan golongan fungsional ini juga muncul di kalangan Angkatan Darat. Konsep ini oleh AD diterjemahkan (bahasa sansekerta) menjadi Golongan Karya. Ketika era Demokrasi Terpimpin dimulai, Angkatan Darat lebih dulu membentuk berbagai organisasi golongan karya, sedangkan Presiden Soekarno belum membentuk apapun. Angkatan Darat memulai dengan mendirikan Badan Kerja Sama (BKS) pada 17 Juni 1957 sebagai wadah berhimpun Angkatan Darat dengan kelompok organisasi-organisasi pemuda, petani, jurnalis, dan kelompok fungsional lainnya. Angkatan Darat membutuhkan sokongan untuk menandingi Partai Komunis Indonesia. “Organisasi-organisasi Golkar berubah dari melawan semua partai menjadi rival politik bagi Partai Komunis Indonesia,” tulis Reeve.
Sejak 1960, Angkatan Darat terus mengembangkan organisasi-organisasi keprofesian, diantaranya Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) sebagai tandingan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), underbouw PKI. Kemudian didirikan pula organisasi petani, nelayan, pemuda, mahasiswa, intelektual dan kewanitaan. Di belakang hari, organisasi-organisasi ini lah yang kemudian menghimpun diri dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Partai Golkar.
Pasca kejatuhan Orde Lama, Soeharto memerankan Golkar sebagai sumber kekuatan bagi kekuasaan Orde Baru. Para aktivis, intelektual, dan pendukung Orde Baru dilibatkan untuk merestrukturisasi Sekber Golkar dengan tujuan merestrukturisasi perpolitikan Indonesia. Pada awal pertumbuhannya, Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu: Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM), Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI), dan Gerakan Pembangunan.
Menjelang Pemilu 1971, tujuh KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar, mengeluarkan keputusan bersama pada 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu dengan nama Golongan Karya. Selain nama, logo pohon beringin juga ditetapkan menjadi simbol Golkar yang dipertahankan sampai sekarang. Pada pemilihan umum tahun 1971, ketujuh Kino dengan sokongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi kunci pemenangan Golkar. Berturut-turut kemudian, sejak pemilu 1971 hingga 1997, Golkar memenangkan pemilu dan menjadi the ruling party.
Menjelang Pemilu 1971, tujuh KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar, mengeluarkan keputusan bersama pada 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu dengan nama Golongan Karya. Selain nama, logo pohon beringin juga ditetapkan menjadi simbol Golkar yang dipertahankan sampai sekarang. Pada pemilihan umum tahun 1971, ketujuh Kino dengan sokongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi kunci pemenangan Golkar. Berturut-turut kemudian, sejak pemilu 1971 hingga 1997, Golkar memenangkan pemilu dan menjadi the ruling party.
Reformasi 1998 kemudian meruntuhkan rezim Orde Baru, sehingga banyak yang mengira Golkar akan tersapu bersama lengsernya Soeharto. Nyatanya, Golkar mampu bertahan, bahkan muncul sebagai partai politik besar dalam pemilu pasca reformasi tanpa kehadiran mesin politik TNI dan birokrasi di dalamnya. Sejak 1998, Golkar telah mengubah diri menjadi Partai Golkar dan justru bermetamorfosa menjadi salah satu partai paling reformis melalui kebijakan dan regulasi yang digagas kader-kadernya.
Transformasi Golkar
Transformasi Golkar menjadi partai politik merupakan keniscayaan terkait perubahan paket Undang-Undang Politik. Pada saat yang sama, transformasi Golkar juga diperlukan agar berkemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan politik yang berlangsung drastis. Mengusung tagline “Golkar Baru”, Partai Golkar sukses menjalani era transisi dan bertahan sebagai partai politik papan atas di Indonesia. Keberhasilan Golkar melalui masa-masa berat dari era Orde Baru ke masa reformasi mendapat pujian dari banyak kalangan.
Tekad mentansformasi diri di era transisi ini ditegaskan Golkar lewat pelaksanaan Munaslub tahun 19998 yang memutuskan Golkar berubah menjadi partai politik dengan nama Partai Golkar. Selain merubah nama, euphoria demokrasi juga diserap Golkar dalam bentuk berbagai kebijakan publik yang diusung untuk membangun demokrasi di Indonesia. Transformasi ini sukses membawa Golkar memperoleh 21,5 persen suara dalam pemilu 1999 dan menempati posisi kedua dibawah PDI Perjuangan yang memperoleh dukungan 38%.
Transformasi Golkar juga terjadi di kekuasaan, karena dalam pemilihan presiden pasca Orde Baru, baik melalui MPR maupun Pilpres langsung dalam tiga periode terakhir, Partai Golkar belum berhasil menempatkan Capresnya sebagai Presiden. Meski demikian, Partai Golkar selalu terlibat dalam pemerintahan sejak era Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY. Artinya, Golkar selalu berkoalisi dengan pemerintahan yang menang. Sikap ini lah yang oleh sebagian kalangan di internal dianggap sebagai sudah menjadi tradisi bagi Golkar.
Pada era Abdurrahman Wahid, Golkar menempatkan empat orang kader dalam pemerintahan, yaitu Jusuf Kalla (Menteri Perdagangan dan Industri), Mahadi Sinambela (Menteri Pemuda dan Olahraga), Bomer Pasaribu (Menteri Tenaga Kerja), dan Marzuki Darusman (Jaksa Agung). Pemerintahan Gus Dur yang hanya berumur dua tahun kemudian digantikan Megawati Soekarno Putri. Pada kepemimpinan Megawati, tiga orang kader Golkar menjadi anggota kabinet, yaitu Jusuf Kalla (Menko Perekonomian), Syamsul Muarif (Menkominfo) dan Sri Rejeki (Menteri Pemberdayaan Wanita).
Begitu pula pada Pilpres 2004, Partai Golkar yang mengusung pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid gagal memenangkan pilpres. Namun dalam perkembangannya, tampuk kekuasaan Golkar direbut oleh Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden SBY. Saat itu otomatis Golkar masuk dalam pemerintah dan menempatkan beberapa kadernya dalam pos-pos kementerian seperti Menko Kesra Aburizal Bakrie, Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta, Menperin Fahmi Idris, Menkum HAM Andi Mattalatta.
Pada Pilpres 2009, Golkar mengajukan duet Jusuf Kalla-Wiranto sebagai capres dan cawapres, namun kalah dari pasangan SBY-Boediono. Terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar sebelum kabinet SBY-Boediono disusun, membuat Golkar mengambil peran dengan menempatkan beberapa kadernya dalam kabinet, seperti Agung Laksono (Menko Kesra), Fadel Muhammad, digantikan Syarif Cicip Sutardjo (Menteri Kelautan dan Perikanan), dan M.S Hidayat (Menteri Perindustrian).
Pada Pilpres 2014, pasangan Prabowo-Hatta yang diusung Golkar juga gagal dalam Pilpres yang dimenangkan duet Jokowi-JK. Meski sebagian komponen Golkar mendukung pemenangan Jokowi dalam pertarungan Pilpres, yang disebabkan sosok JK sebagai mantan Ketua Umum Golkar, namun kali ini reaksi internal Golkar agak berbeda. Perbedaan sikap ini disebabkan kecenderungan penurunan perolehan suara Golkar dalam pemilu legislatif pasca reformasi, yang disinyalir dikarenakan posisi Golkar yang hanya menjadi pelengkap kekuasaan. Sikap baru Golkar ini, nampaknya juga dipicu oleh kesuksesan PDIP yang kembali berkuasa setelah menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan SBY.
Sikap berbeda dari kebiasaan ini boleh jadi sebagai bentuk transformasi politik Golkar dalam dinamika kekinian perpolitikan Indonesia. Melalui jalan oposisi, mayoritas elit Golkar berkeyakinan bahwa partainya bisa mengambil peran signifikan dalam proses "check and balances" terhadap jalannya pemerintahan Jokowi-JK lewat anggotanya di parlemen. Selain itu, selama lima tahun Golkar bisa memanfaatkan momentum menjadi partai oposisi untuk memperbaiki struktur dan mesin partai, serta memperluas dukungan di akar rumput guna menyongsong pemilu serentak 2019.
Pengamat politik UIN Jakarta, Zaki Mubarok meyakini, sikap politik ini sudah terlihat jelas ketika duet ARB dan Akbar Tanjung sebagai Ketua Umum dan ketua Dewan Pertimbangan terpilih kembali dalam Munas IX Partai Golkar di Bali. Ketidakpuasan sejumlah petinggi Partai Golkar terhadap kepemimpinan ARB, serta pilihan menjadi oposisi yang dipandang keluar dari tradisi partai ini pula yang diduga menjadi biang perpecahan di internal Golkar saat ini. Padahal. Menurut Zaki, menjadi oposisi merupakan pilihan terhormat bagi Golkar setelah kalah dalam Pilpres yang lalu.
“Sebaiknya Golkar menanggalkan watak oportunis, dengan merapat pada siapa pun yang berkuasa. Apalagi rekam jejak Golkar selama di pemerintahan tidak begitu bagus, hampir tidak ada prestasi yang ditorehkan kader-kader Beringin di pemerintahan. Apalagi kader Golkar kerap ditempatkan di pos kementerian yang kurang strategis. Sehingga pilihan menjadi oposisi lebih rasional bagi Golkar, agar lebih fokus untuk membangun kekuatan menjelang pemilu mendatang,” ujar Zaki Mubarok.
Pendapat senada juga diungkapkan pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM), Ari Sudjito. Menurutnya, jika Golkar berbalik mendukung Jokowi dan ditempatkan sebagai pelengkap semata, justru kerugian yang didapat. Apalagi, corak pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang lebih mementingkan dukungan langsung rakyat, ketimbang dukungan partai politik. Sehingga dalam pandangan Ari, keberadaan Golkar di pemerintahan Jokowi justru akan dipandang sebagai parasit dan itu merugikan citra Golkar.
“Pilihan Golkar menjadi partai oposisi di dalam Koalisi Merah Putih sudah tepat, hanya saja Golkar perlu menyeimbangkan kecenderungan KMP yang identic dengan sosok Prabowo, agar suara kritis dan konsep tandingan yang disampaikan pemimpin-pemimpin Golkar pada pemerintah, bisa menguntungkan Golkar secara electoral pada pemilu mendatang,” pungkas Ari Sudjito.
Teduhkan Negeri, Kokohkan NKRI
Kiprah panjang Golkar bagi pembangunan Indonesia merupakan hal yang tak terbantahkan. Keberhasilan pembangunan di era Orde Baru, terlepas dari segala kekurangan dan sisi negatifnya, menempatkan andil besar Golkar di dalamnya. Seperti pembangunan sektor pertanian, industri, infrastruktur, koperasi dan UKM, serta berbagai kesuksesan pembangunan masa Orde Baru merupakan buah karya Partai Golkar bagi Indonesia. Stabilitas politik di masa Orde Baru membuat kerja nyata Golkar dalam pembangunan di Indonesia bisa dilakukan, meski pada awal Orde Baru kondisi keuangan Indonesia sangat memprihatinkan.
Hingga kini, model pembangunan yang terstruktur tersebut, melalui rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, serta panduan dalam bentuk Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), masih dirindukan banyak orang. Apalagi di masa demokrasi liberal yang dipraktikkan pasca reformasi 1998, kecenderungan arah pembangunan yang dilakukan secara sporadis dan sesuai kemauan elit kekuasaan yang memimpin, desakan untuk mengembalikan adanya GBHN semakin kuat. Terlepas dari kenyataan bahwa Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang kerap dialamatkan pada masa Golkar menjadi partai penguasa, secara konseptual gagasan pembangunan secara terarah ini masih sangat relevan untuk dijalankan.
Selain identik dengan pembangunan, masa kekuasaan Golkar sebagai the ruling party juga lekat dengan subsidi. Saat itu, pada hampir semua komoditas yang terkait langsung dengan kehidupan rakyat banyak, disubsidi oleh negara. Misalnya subsidi BBM, listrik, perumahan, subsidi pertanian dalam bentuk bibit, pupuk dan obat hama, suku cadang kendaraan umum, dan lain-lain. Pendirian Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai penyangga berbagai komoditas pokok masyarakat merupakan salah satu warisan yang banyak ditiru negara lain. Berbagai kebijakan tersebut kemudian dicabut pasca reformasi, seiring kencangnya tekanan lembaga-lembaga keuangan global seperti IMF dan World Bank yang menghendaki dieliminasinya campur tangan negara dalam bidang perekonomian.
Selain kesuksesan membangun Indonesia, sebagai partai nasionalis yang secara kesejarahan merupakan wadah berhimpun bagi ratusan organisasi fungsional, kehadiran Golkar sejatinya menjadi pilar modern bagi keindonesiaan kita yang beragam. Meski dibayangi kekuatan militer dan birokrat, struktur Golkar sebagai kekuatan politik orde baru mampu mengakomodasi semua komponen rakyat Indonesia, baik dari sisi agama, suku, kewilayahan, serta profesi. Keragaman dalam Golkar ini tetap terawat hingga kini, menjadikan Golkar sebagai partai paling plural dan moderat.
Hingga kini, meski di internal Golkar secara terus-menerus terjadi persaingan antar faksi, namun kerindangan beringin mampu memastikan semua komponen partai mendapat tempat dalam kepengurusan. Aspek keragaman ini pula yang membuat dukungan Golkar dari pemilu ke pemilu pasca reformasi selalu merata di semua daerah di Indonesia, dari Aceh hingga ke Papua. Komponen bangsa yang berhimpun sejak awal di Sekber Golkar juga menjadi sumber kekuatan kaderisasi Golkar, yang membuat partai ini tidak pernah kering kader-kader berkualitas dari semua latar belakang agama, suku, golongan dan profesi.
Bagi Golkar, Pancasila bukan sekedar dasar organisasi yang tertulis, melainkan nilai tertinggi yang harus dipertahankan dalam praktiknya sejak dari dalam organisasi sendiri. Konsistensi menjaga Pancasila bagi Golkar, merupakan modal terbesar mempertahankan NKRI dan kemajemukan bangsa. Teruslah berkarya Partai Golkar, teduhkan negeri dan kokohkan NKRI! (big T, dari berbagai sumber)
No comments