Header Ads


  • Breaking News

    Relasi Orde Baru dan Islam

    Soeharto ketika menunaikan Haji tahun 1991

    Hubungan Orde Baru dengan kelompok Islam mengalami pasang surut. Pada awal kelahiran Orde Baru, relasi Islam dengan pemerintahan transisi dari demokrasi terpimpin ke pemerintahan Soeharto sangat harmonis. Setelah peristiwa turbulensi politik September 1965, ketika kekuasaan beralih ke militer, dukungan kelompok Islam dalam upaya pembubaran Partai Komunis Indonesia demikian luar biasa. Apalagi sebelumnya, ketika bandul kekuasaan demokrasi terpimpin bergerak ke kiri pada akhir 1960-an, ketegangan politik  dan ketidaksenangan kalangan Islam, terutama Islam modernis yang direpresentasikan Masyumi dan Islam tradisionalis yang diwakili Nahdlatul Ulama, terhadap kaum komunis melahirkan front politik penuh ketegangan.
     

    Sementara militer, khususnya Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan politik sekaligus kompetitor politik bagi Soekarno dan Partai Komunis, mulai membangun kontak politik dengan kalangan Islam untuk melawan Partai Komunis. Setelah pemberontakan PKI September 1965 dan berakhirnya kekuasaan Soekarno, militer memerlukan bantuan masyarakat sipil (Islam) seperti Nahdatul  Ulama dan Islam modernis untuk membubarkan Partai Komunis. Saat itu, kelompok Islam adalah satu-satunya kekuatan besar yang dapat dimobilisasi melawan partai kiri.
     

    Setelah komunis disingkirkan, umat Islam yang berkontribusi besar menyambut Orde Baru dengan antusias dengan harapan dapat mengisi pemerintahan baru. Meski tokoh-tokoh Masyumi dibebaskan, namun keterlibatan kelompok Islam dalam pemerintahan tidak signifikan. Masyumi tidak direhabilitasi, sedangkan NU hanya diakomodasi Menteri Agama. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka pada tahun 1972 pernah mengatakan ”Mereka (penguasa) memperlakukan kita (Islam) semena-mena.” Saat Natsir melontarkan kalimat ini, hubungan Islam dengan Orde Baru sedang  diwarnai ketegangan.
     

    Ketegangan Orde Baru dan Islam memuncak setelah terjadinya peristiwa berdarah Tanjung Priok tahun 1984, yang berkaitan dengan penolakan beberapa elemen Islam terhadap azas tunggal Pancasila. Meski dua ormas Islam terbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah menerima azas tunggal Pancasila, Soeharto seperti tersadar bahwa ada kekuatan di dalam militer, dibawah pimpinan Jenderal Benny Murdani untuk menjauhkan dirinya dengan kalangan Islam. Prabowo Subianto, seorang perwira muda yang kemudian menjadi menantunya, berupaya merangkul kekuatan Islam serta membangun faksi hijau di kalangan militer. Fase penuh curiga dan ketegangan kemudian mulai berganti dengan kebijakan akomodatif terhadap kelompok Islam.
     

    Orde Baru melakukan pembangunan pendidikan Islam, terutama madrasah dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Bersamaan dengan meluasnya pendidikan, jumlah kalangan Islam yang memasuki birokrasi makin banyak. Sementara itu Golkar yang tadinya dikuasai kelompok non Islam, setelah tahun 1983 makin terbuka dengan kalangan Muslim, seperti keberhasilan Akbar Tanjung menembus kepengurusan Golkar. Dalam lanskap politik yang lebih luas, aliansi politik militer yang dipayungi para jenderal awal Orde Baru makin hari makin melemah. Sementara para petinggi militer yang memegang kekuasaan membangun klik-klik politik militer diluar pengetahuan Soeharto, semisal kelompok Benny Moerdani yang menyebabkan terdisrupsinya kekuasaan Soeharto.
     

    Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), sebuah ormas Islam yang beraspirasi ke Golkar didirikan pada tahun 24 Mei 1978. Setelah perubahan haluan politik Orde Baru yang mendekat pada kalangan Islam, MDI mendapat perhatian luar biasa dari Soeharto. Hampir semua program MDI disetujui dan didukung Soeharto, seperti pembangunan masjid di kompleks DPP Partai Golkar, pengiriman dai ke wilayah transmigrasi, penggodokan sejumlah perundang-undangan yang terkait dengan Islam, serta penempatan kader-kader MDI yang bersumber dari ormas Islam di posisi-posisi cukup strategis di kepengurusan Golkar.

    BJ. Habibie, Ketua Umum ICMI pertama
    Relasi Orde Baru dan Islam kian mesra setelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang diketuai BJ. Habibie pada tahun 1990. Militer juga mulai diisi faksi hijau, seperti Faisal Tanjung dan Wiranto. Pada pemilu 1992 dan 1997, makin banyak anggota DPR dari kalangan Islam yang berasal dari Golkar, seperti generasi Hajriyanto Y. Tohari, Priyo Budi Santoso, Idrus Marham, Ade Komarudin, dan lain-lain. Generasi 1992 dan 1997 ini, yang kerap disebut sebagai “penghijauan senayan”, saat ini telah menjadi tokoh-tokoh kunci di Partai Golkar.

    Kemesraan Seoharto dan Islam makin tak terbantahkan setelah Soeharto menjadikan BJ. Habibie menjadi Wakil Presiden pada Maret 1998. Namun pada Mei 1998, kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang bertahan selama 32 tahun harus berakhir. Demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang merebut gedung DPR/MPR, membuat Presiden Soeharto memutuskan mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan Wakil Presiden BJ. Habibie ditunjuk untuk menggantikannya. (big T)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad