Bisnis Dalam Perspektif Budaya Umat Islam Indonesia
Oleh: M. Azrul Tanjung
Ketangguhan manusia merespon dan menciptakan sesuatu dari hasil perenungan dan pengolahan terhadap realitas fakta melalui kemampuan berpikir, berasa, dan bertindak, akan menentukan kualitas budaya yang diciptakan. Tidak heran, jika Van Peursen dalam buku “Strategi Kebudayaan” (1976), mendeskripsikan bahwa kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transedensi, dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Ketegangan ini antara lingkaran fakta-fakta yang mengurung manusia dalam kenicayaan alam sekitar di satu pihak, dan keterbukaan yang dicapai oleh penilaian kritis (evaluasi) di lain pihak, maka dinamakan ketegangan antara “imanensi” (serba terkurung) dan “transedensi” (yang mengatasi sesuatu, berdiri di luar sesuatu).
Sesungguhnya, hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi juga selalu muncul dari alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya (transedensi). Perkembangan makhluk-makhluk hidup, dari organisme sederhana bersel satu sampai hewan-hewan yang sudah tinggi susunan organismenya, berlangsung dalam suatu perkembangan biologis (evolusi), yang memakan waktu berjuta tahun lamanya. Arus alam itu berlangsung terus dalam diri manusia, tetapi di sini nampak suatu dimensi yang baru sama sekali. Manusia tidak membiarkan diri begitu saja dihanyutkan oleh proses-proses alam, ia dapat melawan arus itu; ia tidak hanya mengikuti dorongan alam, tetapi juga suara hatinya. Maka, Van Peursen menyebut, bahwa tahapan kebudayaan ialah; tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pada tahap mitis, manusia masih dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib; pada tahap ontologis, manusia mengambil jarak dan meneliti kekuatan-kekuatan itu; sementara pada tahap fungsional, manusia sudah mulai bertindak dan mencari alternatif-alternatif untuk survive.
Dalam tataran kebudayaan umat Islam mutakhir saat ini, apalagi jika dikaitkan dengan survavilitas bisnis dan ekonomi umat, maka tahap fungsional sejatinya menjadi rujukan. Indonesia sebagai negara yang memiliki geopolitik dan geosumberdaya alam yang begitu strategis dan potensial, seyogianya menjadi modal utama dalam pengembangan budaya bisnis umat Islam. Namun, sumberdaya itu ternyata tidak menjamin keberhasilan pengembangan bisnis di Tanah Air.
Mengapa bangsa-bangsa yang letak geopolitiknya kurang strategis dan miskin sumber daya alam (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura) bisa memajukan dirinya di bidang bisnis? Jawabnya, adalah pada budaya bangsa secara keseluruhan, termasuk disiplin kerja dan ketetapan hati pemimpinnya. Mereka melihat seluruh pelosok dunia sebagai lahan kerja pencari nafkah. Mereka menggunakan budaya disiplin nasional untuk melakukan “lompatan katak” keluar dari wilayahnya sendiri. Mereka berhasil mengejar “selisih-selisih keunggulan” yang terbuka dalam tantangan perjuangan.
Wajar bila timbul pertanyaan mengapa negara kaya sumber daya alam dan mineral, seperti Brasil dan Indonesia, selalu disebut sebagai bangsa yang “penuh janji” dan “potensial”, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan. Pada tingkat perorangan, kelompok, maupun nasional, agaknya tantangan bagi kedua negara itu untuk memperkuat “budaya pialang” yang memadukan kemauan diri budaya dengan kinerja bisnis.
Umat Islam sebagai pemeluk mayoritas penduduk di Tanah Air, harus menjadikan persoalan itu sebagai bahan renungan, sembari menyusun langkah-langkah strategis untuk mengembangkan aspek budaya dalam pengembangan bisnis. Nilai-nilai budaya mitis yang selama ini masih terlalu melekat dalam alam pikiran umat, harus ditransformasikan dengan cepat, dengan penguatan tahapan budaya fungsional, yang senantiasa berpikir produktif dan mencari berbagai pilihan.
Berdasarkan pada tahapan budaya fungsional itu, dalam pengembangan spirit bisnis bagi kaum muslim, maka langkah prioritas yang perlu secepatnya dikembangkan dan disadari adalah, transformasi akseleratif budaya bisnis umat Islam, yang selama ini dianggap masih rapuh. Sebagaimana lazimnya, lemahnya budaya bisnis karena secara umum, kegiatan bisnis dianggap hidup dalam ketidakpastian. Sementara menjadi pamogpraja atau pegawai negeri dan karyawan lebih menjamin kepastian. Ini tandanya, bahwa masyarakat kita, terutama kaum muslim, kurang mau mengambil risiko. Budaya yang kurang mau menerima risiko dan tanggungjawab inilah yang menjadi persoalan besar dalam membenahi budaya bisnis umat Islam.
Padahal dalam Islam, diajarkan bahwa bisnis merupakan jalan cepat untuk kaya, seperti Rasulullah sabdakan; “Sembilan persepuluh dari sumber rezeki itu dari berdagang” (HR. Tirmidzi). Bisnis merupakan jalan cepat masuk surga seperti yang disampaikan oleh Rasulullah; “Pedagang yang jujur dan amanah (akan ditempatkan) beserta para nabi, shidiqin dan para syuhada”(HR. Tt-Tirmidzi). Bahkan kita kenal betul, bahwa 10 sahabat rasulullah yang dijamin masuk surga ternyata sembilannya adalah pedagang atau pebisnis.
Berdasarkan pada ajaran itu, maka pengusaha muslim dalam melakukan praktik bisnis, harus lebih awal memperhatikan komitmen dan visi. Pengusaha yang punya komitmen dan visi dalam menjalankan usahanya, akan semangat dalam menjalankan usahanya walau menghadapi berbagai macam kendala dan risiko. Dan, dengan visinya, ia mengembangkan usahanya sehingga berhasil dan eksis di dunia persaingan bisnis. Keberhasilan ini mestilah memberikan efek yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan kaum muslim dan kemandirian ekonomi umat Islam. Sehingga secara langsung maupun tidak, dapat menyelamatkan umat Islam dari penjajahan ekonomi. Maka, tidak dapat disangkal lagi bahwa bisnis merupakan cabang dari jihad kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, selain budaya bisnis mestilah menjadi mainstream budaya berpikir dan bertindak umat Islam.
Kesuksesan bisnis seorang pengusaha menurut fitrah bisnis adalah sejauhmana ia dalam bisnisnya memperoleh keuntungan dan sejauhmana ia dapat menambah dan meningkatkan nilai hartanya. Fitrah bisnis ini mestilah menjadi pedoman seorang pengusaha dalam menjalankan bisnisnya agar bisnis yang ia lakukan dapat terus menerus mengalami keuntungan dan pengembangan. Upaya membangun kembali semangat bisnis umat Islam Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya, ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi semangat bisnis umat Islam menjadi penting. Pertama, umat Islam sejak kelahirannya, memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi.
Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur manca negara. Proses penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia sampai abad 13 M, dilakukan oleh para pedagang muslim. Masuknya Islam ke Indonesia dan upaya penyebarannya di Asia Tenggara, juga dibawa oleh para pedagang tersebut. Bukti nyata hal ini terlihat bahwa di setiap pesisir pantai Indonesia dan Nusantara penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, etos bisnis sesungguhnya memang sangat melekat dengan diri umat Islam. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bekerja dan beramal, “Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasulnya dan orang beriman, akan melihat pekerjaanmu” (QS.9:105). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS 62:10).
Kedua, kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi semangat bisnis umat Islam. Karena selama ini fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi sangat luar biasa. Para pebisnis di bidang tenun, batik dan lainnya, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador. Di mana terjadi proses alienasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam).
Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya kita mengembangkan dan membangun pengusaha-pengusaha yang dicita-citakan oleh umat Islam (pribumi) yang tangguh dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mewujudkan negara ini. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.
Ketiga, Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan tersebut hendaknya diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur syariah. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi, akan berdampak positif terhadap kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Secara historis dan antropologis, umat Islam Indonesia memiliki naluri bisnis yang luar biasa. Penelitian para ahli sejarah dan antropologi menunjukkan bahwa pada masa sebelum penjajahan, para santri memiliki semangat dan gairah yang besar untuk terjun dalam dunia bisnis, sebagaimana yang diajarkan para pedagang muslim penyebar agama Islam. Hal ini mudah dipahami karena Islam memiliki tradisi bisnis yang tinggi dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat bersama Nabi, syuhada dan orang-orang sholeh.
Penulis adalah dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Ketangguhan manusia merespon dan menciptakan sesuatu dari hasil perenungan dan pengolahan terhadap realitas fakta melalui kemampuan berpikir, berasa, dan bertindak, akan menentukan kualitas budaya yang diciptakan. Tidak heran, jika Van Peursen dalam buku “Strategi Kebudayaan” (1976), mendeskripsikan bahwa kebudayaan sebagai ketegangan antara imanensi dan transedensi, dapat dipandang sebagai ciri khas dari kehidupan manusia seluruhnya. Ketegangan ini antara lingkaran fakta-fakta yang mengurung manusia dalam kenicayaan alam sekitar di satu pihak, dan keterbukaan yang dicapai oleh penilaian kritis (evaluasi) di lain pihak, maka dinamakan ketegangan antara “imanensi” (serba terkurung) dan “transedensi” (yang mengatasi sesuatu, berdiri di luar sesuatu).
Sesungguhnya, hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi juga selalu muncul dari alam raya itu untuk menilai alamnya sendiri dan mengubahnya (transedensi). Perkembangan makhluk-makhluk hidup, dari organisme sederhana bersel satu sampai hewan-hewan yang sudah tinggi susunan organismenya, berlangsung dalam suatu perkembangan biologis (evolusi), yang memakan waktu berjuta tahun lamanya. Arus alam itu berlangsung terus dalam diri manusia, tetapi di sini nampak suatu dimensi yang baru sama sekali. Manusia tidak membiarkan diri begitu saja dihanyutkan oleh proses-proses alam, ia dapat melawan arus itu; ia tidak hanya mengikuti dorongan alam, tetapi juga suara hatinya. Maka, Van Peursen menyebut, bahwa tahapan kebudayaan ialah; tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pada tahap mitis, manusia masih dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib; pada tahap ontologis, manusia mengambil jarak dan meneliti kekuatan-kekuatan itu; sementara pada tahap fungsional, manusia sudah mulai bertindak dan mencari alternatif-alternatif untuk survive.
Dalam tataran kebudayaan umat Islam mutakhir saat ini, apalagi jika dikaitkan dengan survavilitas bisnis dan ekonomi umat, maka tahap fungsional sejatinya menjadi rujukan. Indonesia sebagai negara yang memiliki geopolitik dan geosumberdaya alam yang begitu strategis dan potensial, seyogianya menjadi modal utama dalam pengembangan budaya bisnis umat Islam. Namun, sumberdaya itu ternyata tidak menjamin keberhasilan pengembangan bisnis di Tanah Air.
Mengapa bangsa-bangsa yang letak geopolitiknya kurang strategis dan miskin sumber daya alam (Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura) bisa memajukan dirinya di bidang bisnis? Jawabnya, adalah pada budaya bangsa secara keseluruhan, termasuk disiplin kerja dan ketetapan hati pemimpinnya. Mereka melihat seluruh pelosok dunia sebagai lahan kerja pencari nafkah. Mereka menggunakan budaya disiplin nasional untuk melakukan “lompatan katak” keluar dari wilayahnya sendiri. Mereka berhasil mengejar “selisih-selisih keunggulan” yang terbuka dalam tantangan perjuangan.
Wajar bila timbul pertanyaan mengapa negara kaya sumber daya alam dan mineral, seperti Brasil dan Indonesia, selalu disebut sebagai bangsa yang “penuh janji” dan “potensial”, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan. Pada tingkat perorangan, kelompok, maupun nasional, agaknya tantangan bagi kedua negara itu untuk memperkuat “budaya pialang” yang memadukan kemauan diri budaya dengan kinerja bisnis.
Umat Islam sebagai pemeluk mayoritas penduduk di Tanah Air, harus menjadikan persoalan itu sebagai bahan renungan, sembari menyusun langkah-langkah strategis untuk mengembangkan aspek budaya dalam pengembangan bisnis. Nilai-nilai budaya mitis yang selama ini masih terlalu melekat dalam alam pikiran umat, harus ditransformasikan dengan cepat, dengan penguatan tahapan budaya fungsional, yang senantiasa berpikir produktif dan mencari berbagai pilihan.
Berdasarkan pada tahapan budaya fungsional itu, dalam pengembangan spirit bisnis bagi kaum muslim, maka langkah prioritas yang perlu secepatnya dikembangkan dan disadari adalah, transformasi akseleratif budaya bisnis umat Islam, yang selama ini dianggap masih rapuh. Sebagaimana lazimnya, lemahnya budaya bisnis karena secara umum, kegiatan bisnis dianggap hidup dalam ketidakpastian. Sementara menjadi pamogpraja atau pegawai negeri dan karyawan lebih menjamin kepastian. Ini tandanya, bahwa masyarakat kita, terutama kaum muslim, kurang mau mengambil risiko. Budaya yang kurang mau menerima risiko dan tanggungjawab inilah yang menjadi persoalan besar dalam membenahi budaya bisnis umat Islam.
Padahal dalam Islam, diajarkan bahwa bisnis merupakan jalan cepat untuk kaya, seperti Rasulullah sabdakan; “Sembilan persepuluh dari sumber rezeki itu dari berdagang” (HR. Tirmidzi). Bisnis merupakan jalan cepat masuk surga seperti yang disampaikan oleh Rasulullah; “Pedagang yang jujur dan amanah (akan ditempatkan) beserta para nabi, shidiqin dan para syuhada”(HR. Tt-Tirmidzi). Bahkan kita kenal betul, bahwa 10 sahabat rasulullah yang dijamin masuk surga ternyata sembilannya adalah pedagang atau pebisnis.
Berdasarkan pada ajaran itu, maka pengusaha muslim dalam melakukan praktik bisnis, harus lebih awal memperhatikan komitmen dan visi. Pengusaha yang punya komitmen dan visi dalam menjalankan usahanya, akan semangat dalam menjalankan usahanya walau menghadapi berbagai macam kendala dan risiko. Dan, dengan visinya, ia mengembangkan usahanya sehingga berhasil dan eksis di dunia persaingan bisnis. Keberhasilan ini mestilah memberikan efek yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan kaum muslim dan kemandirian ekonomi umat Islam. Sehingga secara langsung maupun tidak, dapat menyelamatkan umat Islam dari penjajahan ekonomi. Maka, tidak dapat disangkal lagi bahwa bisnis merupakan cabang dari jihad kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, selain budaya bisnis mestilah menjadi mainstream budaya berpikir dan bertindak umat Islam.
Kesuksesan bisnis seorang pengusaha menurut fitrah bisnis adalah sejauhmana ia dalam bisnisnya memperoleh keuntungan dan sejauhmana ia dapat menambah dan meningkatkan nilai hartanya. Fitrah bisnis ini mestilah menjadi pedoman seorang pengusaha dalam menjalankan bisnisnya agar bisnis yang ia lakukan dapat terus menerus mengalami keuntungan dan pengembangan. Upaya membangun kembali semangat bisnis umat Islam Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya, ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi semangat bisnis umat Islam menjadi penting. Pertama, umat Islam sejak kelahirannya, memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi.
Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur manca negara. Proses penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia sampai abad 13 M, dilakukan oleh para pedagang muslim. Masuknya Islam ke Indonesia dan upaya penyebarannya di Asia Tenggara, juga dibawa oleh para pedagang tersebut. Bukti nyata hal ini terlihat bahwa di setiap pesisir pantai Indonesia dan Nusantara penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, etos bisnis sesungguhnya memang sangat melekat dengan diri umat Islam. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bekerja dan beramal, “Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasulnya dan orang beriman, akan melihat pekerjaanmu” (QS.9:105). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS 62:10).
Kedua, kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi semangat bisnis umat Islam. Karena selama ini fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi sangat luar biasa. Para pebisnis di bidang tenun, batik dan lainnya, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador. Di mana terjadi proses alienasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam).
Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya kita mengembangkan dan membangun pengusaha-pengusaha yang dicita-citakan oleh umat Islam (pribumi) yang tangguh dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mewujudkan negara ini. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.
Ketiga, Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan tersebut hendaknya diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur syariah. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi, akan berdampak positif terhadap kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Secara historis dan antropologis, umat Islam Indonesia memiliki naluri bisnis yang luar biasa. Penelitian para ahli sejarah dan antropologi menunjukkan bahwa pada masa sebelum penjajahan, para santri memiliki semangat dan gairah yang besar untuk terjun dalam dunia bisnis, sebagaimana yang diajarkan para pedagang muslim penyebar agama Islam. Hal ini mudah dipahami karena Islam memiliki tradisi bisnis yang tinggi dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat bersama Nabi, syuhada dan orang-orang sholeh.
Penulis adalah dosen UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
No comments