Pancasila: Pemersatu Bangsa Indonesia
Oleh: Drs. Hajriyanto Y Thohari, MA
(Wakil Ketua MPR RI 2009-2014)
Indonesia saat ini menghadapi berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang kompleks. Reformasi yang sudah berjalan 15 tahun awalnya diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat dan bangsa ini. Namun, banyak agenda reformasi yang hingga hari ini masih belum berjalan sesuai yang diharapkan. Di satu sisi, reformasi memang membawa perubahan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis. Masyarakat bisa menikmati kebebasan berpendapat, berserikat, dan berpolitik. Kebebasan pers yang dulunya dibelenggu oleh rezim saat ini juga merupakan anugerah reformasi yang bisa dinikmati masyarakat. Pemilu parlemen dan pemilihan presiden serta kepala daerah secara langsung adalah contoh hal positif lain yang memberikan kesempatan politik yang setara bagi semua rakyat.
Di sisi lain, reformasi ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan pada peningkatan kualitas hidup rakyat. Rakyat yang mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada mereka harus menghadapi kekecewaan, karena mereka masih tetap banyak menerima janji-janji yang belum terealisasi. Kehidupan politik yang diharapkan menciptakan keadilan sosial, ternyata masih banyak dipenuhi oleh perilaku korupsi para pejabat tinggi dan politik traksaksional yang menghalalkan segala cara. Otonomi daerah yang diciptakan sebagai koreksi terhadap sentralisasi pembangunan, dalam banyak hal, malah menciptakan desentralisasi korupsi. Hal itu dikarenakan banyak tumbuh raja-raja kecil sebagai konsekuensi dari Pilkada langsung yang membutuhkan ongkos tinggi. Penegakan hukum yang tidak serius—justru banyak penegak hukum yang menjadi pelopor perilaku korupsi—semakin menjadikan reformasi jauh dari harapan untuk membawa demokrasi yang substantif dan berkeadilan.
Hari-hari ini kita juga melihat adanya konflik komunal yang terjadi di berbagai daerah. Konflik sosial itu sebagian dipicu oleh kesenjangan ekonomi dan semakin susahnya rakyat kecil memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Di sisi lain, konflik komunal terjadi karena adanya gesekan-gesekan kepentingan seperti soal konflik agraria, dominasi suku tertentu, kecemburuan pada kelompok pendatang, dan bercampurnya banyak kepentingan politik, ekonomi, dan budaya. Konflik-konflik itu menyebabkan rajutan kebangsaan menjadi terkoyak dan persatuan bangsa menjadi terancam. Selain itu, kita juga melihat fenomena hedonisme budaya di kalangan generasi muda dan gejala individualisme di banyak masyarakat. Hal itu ditambah lagi dengan dampak negatif globalisasi yang menciptakan liberalisme ekonomi dalam pemerintahan dan kehidupan pasar. Persoalan sosial kebangsaan itu tentu memprihatinkan dan harus segera dicari solusi pemecahannya.
Dalam persoalan kebangsaan lainnya, hari ini kita juga melihat meningkatnya fanatisme keagamaan di berbagai tempat. Banyak kelompok keagamaan yang mendaku dirinya paling benar dan menganggap yang lain salah. Mereka menganggap sebagai pemilik sah negeri ini dan orang lain dianggap warga negara kelas dua. Dengan pemahaman seperti itu, mereka menutup diri terhadap pintu dialog dan kompromi dengan pihak atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Sebagai konsekuensinya, kita melihat banyak kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan kelompok keagamaan minoritas yang menjadi korban perilaku intoleran ini. Kelompok yang kadang disebut sebagai kelompok radikalisme keagamaan ini lupa bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara yang semenjak awal mengikrarkan diri bukan sebagai negara agama, namun negara Pancasila yang menghargai keberagaman agama dan etnis yang ada di Indonesia. Oleh karenanya, berdasarkan konstitusi, jelas tidak ada perbedaan kelas warga negara; semuanya adalah warga negara kelas satu yang harus dilindungi oleh negara sebagai amanat dari Konstitusi.
Menimbang berbagai permasalahan kebangsaan dan kebangsaan di atas, maka kita semua harus turun tangan dan segera mencarikan solusi pemecahannya. Dalam hal ini, revitalisasi Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia menjadi sangat relevan untuk segera dilakukan. Revitalisasi Pancasila ini sangat penting terutama untuk mencari relevansi dan strategi agar Pancasila bisa memberikan kontribusi yang positif untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa dan negara.
Pentingnya Pancasila
Jika kita tinjau, baca, renungi, dan hayati secara mendalam nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, sesungguhnya persoalan-persoalan kebangsaan di atas jelas merupakan penyimpangan dari nilai-nilai ideal yang ada di dalamnya. Terlebih lagi, Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1946 dalam Rangka Peringatan Hari Pancasila menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila itu berbasis atau berakar pada rakyat Indonesia. Bung Karno menyatakan: “….Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai pemersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu….” Dari situ secara jelas dinyatakan bahwa kedudukan Pancasila sangat penting sebagai pemersatu bangsa dan rakyat Indonesia. Sebagai pemersatu, diharapkan Pancasila juga bisa memberikan pedoman hidup dan menjadi ideologi yang membuat rakyat lebih beradab, lebih maju, lebih cerdas, dan lebih mulia kehidupannya.
Sayangnya, nilai-nilai ideal dalam Pancasila itu masih banyak menjadi simbol dan wacana yang miskin implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, setelah reformasi, banyak anak-anak sekolah yang tidak paham dan tidak hapal tentang sila-sila yang ada dalam Pancasila. Ketika mereka diminta untuk melafalkan, banyak yang keliru, atau jika ada yang hafal mereka mengalami problem dalam mengurutkannya. Padahal, rumusan lima nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum paling tinggi di negara ini. Rumusan itu adalah: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila (five principles) itu seharusnya tidak hanya sekedar dihapalkan saja, namun harus dikaji secara serius, mendalam, dan dicarikan strategi operasionalnya di lapangan.
Karena Pancasila sudah disepakati oleh para founding fathers bangsa ini dan kemudian menjadi konsensus nasional, maka ia bisa dikatakan juga sebagai perjanjian luhur yang harus dijadikan pedoman oleh bangsa, pemerintah, dan seluruh rakyat Indonesia (Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 2012). Dengan begitu, Pancasila betul-betul akan menjadi spirit dan nilai moral yang menggawangi usaha-usaha perbaikan kualitas bangsa dan negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…..”. Bahkan, menurut Roeslan Abdulgani yang mengutip pendapat George Kahin, Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, Marxisme, dan gagasan-gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai di desa-desa dan dalam komunalisme penduduk asli. Kahin juga menyatakan bahwa “Pancasila adalah suatu filsafat yang sudah dewasa, yang sudah sangat besar pengaruhnya atas jalannya revolusi” (Ahmad Syafii Maarif, 2006). Dengan kedudukan yang mulia dan sangat penting itu, maka Pancasila sudah seharusnya bisa menjadi pedoman dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara kita semua.
Menafsirkan dan Mengamalkan Pancasila
Agar Pancasila memiliki peran sebagai pemersatu bangsa, maka tidak ada cara lain selain melaksanakannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak boleh hanya dijadikan sebagai pajangan yang menghiasi konstitusi kita. Pancasila tidak boleh hanya hadir dalam perwujudan Burung Garuda Pancasila yang menghiasi ruang-ruang pertemuan di gedung pemerintah dan swasta, tanpa memiliki implakasi bagi pemikiran dan perbuatan yang luhur.
Sebelum dilaksanakan, tentu saja nilai-nilai Pancasila itu harus terlebih dahulu dijabarkan dan ditafsirkan agar sesuai dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini. Kita tidak boleh sekedar mengadopsi secara membabi buta buah pikiran para pendiri bangsa. Pemikiran dan penafsiran Pancasila haruslah bersifat terbuka dan tidak monolitik. Ia tidak boleh dimonopoli oleh pemikiran dan tafsiran dari suatu rezim tertentu atau bahkan dari generasi awal bangsa kita. Karena bagaimanapun suatu rezim atau suatu generasi bangsa tersebut terikat oleh dimensi ruang dan waktu, sehingga pemikiran dan penafsiran mereka pasti terpengaruh oleh keadaan sosial, budaya, politik, dan ekonomi saat mereka masih hidup, yang belum tentu cocok dengan keadaan sekarang. Lebih lanjut, bangsa Indonesia tidak boleh terjebak dalam pensakralan dan romantisme pemikiran Pancasila di masa lalu.
Setelah kita melakukan penafsiran terhadap nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan konteks zaman sekarang, maka agar Pancasila mampu menjadi pemersatu bangsa, nilai-nilai Pancasila itu harus diamalkan. Dalam persoalan ideologi, misalnya, Pancasila harus mampu menanggulangi dampak negatif dari ideologi politik dan ekonomi liberal yang kini menyerang bangsa Indonesia melalui arus globalisasi. Seperti kita ketahui, ideologi politik dan ekonomi liberal ini menitikberatkan pada kemampuan dan kebebasan individu untuk bertindak. Negara ditempatkan dalam posisi yang minimal sebagai pembuat dan pengawas regulasi. Semua peraturan negara dibuat untuk melayani kepentingan individu. Dengan cara demikian, hukum pasar ditempatkan sebagai pengendali siapa yang kuat dan siapa yang menang, dan tidak mengenal keberpihakan pada kaum yang lemah.
Pemikiran liberal seperti ini memang banyak dianut di dunia dewasa ini, bahkan diklaim sebagai puncak dari perkembangan ideologi manusia, sebagaimana dinyatakan oleh pemikir Amerika keturunan Jepang, Francis Fukuyama, yang menyebutnya sebagai akhir dari sejarah. Dalam tulisannya “The End of History”? Francis Fukuyama, menyatakan:
What we may be witnessing in not just the end of the Cold War, or the passing of a particular period of post-war history, but the end of history as such: that is, the end point of mankind's ideological evolution and the universalization of Western liberal democracy as the final form of human government. This is not to say that there will no longer be events to fill the pages of Foreign Affairs's yearly summaries of international relations, for the victory of liberalism has occurred primarily in the realm of ideas or consciousness and is as yet incomplete in the real or material world. But there are powerful reasons for believing that it is the ideal that will govern the material world in the long run.
Artinya: Kita mungkin sedang menyaksikan bukan hanya akhir dari Perang Dingin, atau berlalunya sebuah periode sejarah paska perang, tetapi akhir dari sejarah; yakni titik akhir dari perkembangan evolusi ideologi dan munculnya universalisasi demokrasi Barat sebagai bentuk akhir pemerintahan manusia. Ini tidak berarti bahwa tidak akan ada peristiwa-peristiwa yang mengisi halaman-halaman pertemuan tahunan internasional di luar negeri, karena kemenangan liberalisme itu terletak didalam kesadaran atau ide namun masih belum sempurna dalam dunia material atau dunia kenyataan. Tetapi ada alasan-alasan kuat untuk percaya bahwa inilah ideal yang akan mengatur dunia materi dalam jangka lama. (Fukuyama, 1989).
Maka, menghadapi situasi seperti ini, Pancasila harus mampu menghilangkan efek negatif dari ideologi ekonomi politik liberal yang akan menyengserakan bangsa Indonsia, karena sifatnya yang cenderung individualis. Padahal, dalam nilai-nilai Pancasila, kita diajarkan untuk menekankan cinta kasih dan semangat gotong royong dalam masyarakat demi menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita diajarkan bahwa bangsa Indonesia merupakan sebuah keluarga besar, yang mana penderitaan satu warga negara akan merupakan sakit yang dialami oleh warga negara yang lain. Manusia Indonesia yang satu bukanlah serigala atas manusia yang lain. Masing-masing orang Indonesia, apapun suku atau etniknya, ibarat lidi-lidi yang kemudian disatukan dalam ikatan Pancasila sehingga menjadi kekuatan hebat yang sulit untuk dipatahkan.
Di samping menghadapi ideologi ekonomi dan politik liberal yang berasal dari Barat, Pancasila juga harus mampu menghadapi menyeruaknya ideologi kekerasan dalam bentuk fundamentalisme agama yang kini dianut oleh beberapa kelompok anak bangsa. Menurut banyak ahli, fundamentalisme muncul karena adanya krisis identitas, persoalan ekonomi dan politik yang tak terselesaikan, dan karenanya, fundamentalism merupakan sarana orang untuk mencari kenyaman diri. Mereka berpikir bahwa ajaran agama telah menyediakan segala sesuatu yang lengkap bagi kebutuhan manusia, dan mengamalkan ajarannya secara harfiah dan mutlak merupakan jalan yang tepat untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Dengan sikap yang demikian, tak jarang banyak dari kelompok ini yang suka menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Menurut sosiolog Mark Juergensmeyer (2003), kekerasan agama itu merupakan teater untuk mendramatisasi keadaan dan pandangan, di mana gambaran tentang mati syahid, satanisasi, dan perang kosmis merupakan bagian sentral dari ideologi agama. Gambaran-gambaran tersebut memiliki tujuan untuk memperkuat identitas orang dan kelompok, dan memberi legitimasi politik.
Dalam konteks inilah, kita harus menegakkan nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan bahwa memeluk keyakinan agama dan menjalannya sesuai dengan kepercayaan itu merupakan hak setiap pribadi warga negara. Perlindungan negara terhadap kebebasan beragama ini juga sejalan dengan Piagam Hak Asasi Manusia. Sudah bukan zamannya lagi jika pemerintah melakukan kebijakan berdasarkan pendekatan mayoritas dan minoritas, karena semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Selanjutnya, semua elemen masyarakat beragama harus menafsirkan ajaran agama mereka dalam konteks negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang menghormati perbedaan penafsiran dan keyakinan agama. Keanekaragaman agama dan kepercayaan di Indonesia harus dipandang sebagai kekayaan yang harus dihormati, dan bahkan dijadikan modal untuk merekatkan persatuan. Perbedaan keyakinan agama dan budaya haruslah dipandang sebagai keadaan alamiah manusia yang memang berbeda, dan bukan sebagai sarana politisasi persoalan demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan suatu kelompok beragama. Jika pun ada persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, semua harus dibicarakan secara demokratis melalui musyararah untuk mencapai mufakat, tanpa merugikan kepentingan suatu kelompok.
Dalam soal ekonomi, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk melakukan pemerataan pembangunan, sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Kekuatan ekonomi tidak boleh lagi terpusat di Jakarta atau di Jawa, tetapi harus didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk mereka yang berada di pulau-pulau terdepan, sehingga setiap warga negara merasakan kue manis pembangunan dan merasa diperhatikan oleh negara, dan bangga menjadi warga Indonesia. Kekuatan-kekuatan ekonomi yang liberal dan hanya didasarkan pada mekanisme pasar haruslah dicegah, dengan cara membuat peraturan-peraturan yang memberikan perlindungan pada warga lemah. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memanjakan kelompok warga negara tertentu, tetapi memberi kesempatan mereka untuk berkembang agar bisa menjadi mandiri. Hal ini dikarenakan mekanisme pasar, yang diihami oleh ideologi liberal, tidak mengenal belas kasihan, sehingga akan menghisap sumber-sumber ekonomi dari mereka yang lemah. Ekonomi Indonesia haruslah berdasar pada ekonomi yang melindungi kepentingan kaum lemah, tanpa harus mengekang kebebasan individu untuk berusaha. Bangsa Indonesia harus diajarkan bahwa kemuliaan itu tidaklah didapat dengan melakukan eksploitasi sebesar-besarnya kepada orang lain dan alam, tetapi kemuliaan itu ialah dengan memaksimalkan potensi individu tetapi tanpa melupakan lingkungan alam dan keadaan mereka yang lemah. Dalam hal ini, mungkin penting bagi kita untuk menyemarakkan sistem ekonomi koperasi yang oleh banyak pihak dipandang sebagai salah satu pilar perekonomian nasional Indonesia dan lebih sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa Indonesia.
Hingga akhir-akhir ini kita masih sering mendengar gerakan-gerakan di daerah yang ingin memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika telusuri lebih lanjut, ternyata salah satu akar permasalahannya adalah pembangunan yang belum merata dan perekonomian daerah yang belum mendapat perhatian. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat ini sangatlah mendesak untuk dipercepat pelaksanannya. Dengan cara demikian, kita bisa menghilangkan gejala gejala disintegrasi bangsa secara lebih baik.
Kesimpulan
Pancasila akan mampu menjadi perekat persatuan bangsa jika nilai-nilai luhurnya ditafsirkan sesuai konteks sekarang dan kemudian diamalkan oleh segenap komponen bangsa. Untuk itu, para pejabat dan aparat birokrasi harus memberikan contoh pengamalan Pancasila yang benar. Apalagi, Indonesia masih merupakan bangsa paternalistik di mana ucapan dan amal perbuatan pemimpin merupakan suri tauladan yang diperhatikan oleh setiap warga negara. Untuk mencapai maksud tersebut, sosialisasi nilai-nilai Pancasila harus dilakukan secara dialogis, sehingga tidak terjadi indoktrinasi oleh aparat pemerintah terhadap warga negara, sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebagai titik temu (common platform) yang telah disepakati oleh segenap komponen bangsa, Pancasila harus menjadi rujukan kehidupan bernegara dan berbangsa, dan kita bangsa Indonesia tidak perlu mencari titik temu yang lain, yang hanya akan menghabiskan energi. Semoga dengan cara demikian, persatuan bangsa kita semakin kokoh.
(Wakil Ketua MPR RI 2009-2014)
Indonesia saat ini menghadapi berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang kompleks. Reformasi yang sudah berjalan 15 tahun awalnya diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat dan bangsa ini. Namun, banyak agenda reformasi yang hingga hari ini masih belum berjalan sesuai yang diharapkan. Di satu sisi, reformasi memang membawa perubahan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis. Masyarakat bisa menikmati kebebasan berpendapat, berserikat, dan berpolitik. Kebebasan pers yang dulunya dibelenggu oleh rezim saat ini juga merupakan anugerah reformasi yang bisa dinikmati masyarakat. Pemilu parlemen dan pemilihan presiden serta kepala daerah secara langsung adalah contoh hal positif lain yang memberikan kesempatan politik yang setara bagi semua rakyat.
Di sisi lain, reformasi ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan pada peningkatan kualitas hidup rakyat. Rakyat yang mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada mereka harus menghadapi kekecewaan, karena mereka masih tetap banyak menerima janji-janji yang belum terealisasi. Kehidupan politik yang diharapkan menciptakan keadilan sosial, ternyata masih banyak dipenuhi oleh perilaku korupsi para pejabat tinggi dan politik traksaksional yang menghalalkan segala cara. Otonomi daerah yang diciptakan sebagai koreksi terhadap sentralisasi pembangunan, dalam banyak hal, malah menciptakan desentralisasi korupsi. Hal itu dikarenakan banyak tumbuh raja-raja kecil sebagai konsekuensi dari Pilkada langsung yang membutuhkan ongkos tinggi. Penegakan hukum yang tidak serius—justru banyak penegak hukum yang menjadi pelopor perilaku korupsi—semakin menjadikan reformasi jauh dari harapan untuk membawa demokrasi yang substantif dan berkeadilan.
Hari-hari ini kita juga melihat adanya konflik komunal yang terjadi di berbagai daerah. Konflik sosial itu sebagian dipicu oleh kesenjangan ekonomi dan semakin susahnya rakyat kecil memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Di sisi lain, konflik komunal terjadi karena adanya gesekan-gesekan kepentingan seperti soal konflik agraria, dominasi suku tertentu, kecemburuan pada kelompok pendatang, dan bercampurnya banyak kepentingan politik, ekonomi, dan budaya. Konflik-konflik itu menyebabkan rajutan kebangsaan menjadi terkoyak dan persatuan bangsa menjadi terancam. Selain itu, kita juga melihat fenomena hedonisme budaya di kalangan generasi muda dan gejala individualisme di banyak masyarakat. Hal itu ditambah lagi dengan dampak negatif globalisasi yang menciptakan liberalisme ekonomi dalam pemerintahan dan kehidupan pasar. Persoalan sosial kebangsaan itu tentu memprihatinkan dan harus segera dicari solusi pemecahannya.
Dalam persoalan kebangsaan lainnya, hari ini kita juga melihat meningkatnya fanatisme keagamaan di berbagai tempat. Banyak kelompok keagamaan yang mendaku dirinya paling benar dan menganggap yang lain salah. Mereka menganggap sebagai pemilik sah negeri ini dan orang lain dianggap warga negara kelas dua. Dengan pemahaman seperti itu, mereka menutup diri terhadap pintu dialog dan kompromi dengan pihak atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Sebagai konsekuensinya, kita melihat banyak kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syi’ah, dan kelompok keagamaan minoritas yang menjadi korban perilaku intoleran ini. Kelompok yang kadang disebut sebagai kelompok radikalisme keagamaan ini lupa bahwa sesungguhnya Indonesia adalah negara yang semenjak awal mengikrarkan diri bukan sebagai negara agama, namun negara Pancasila yang menghargai keberagaman agama dan etnis yang ada di Indonesia. Oleh karenanya, berdasarkan konstitusi, jelas tidak ada perbedaan kelas warga negara; semuanya adalah warga negara kelas satu yang harus dilindungi oleh negara sebagai amanat dari Konstitusi.
Menimbang berbagai permasalahan kebangsaan dan kebangsaan di atas, maka kita semua harus turun tangan dan segera mencarikan solusi pemecahannya. Dalam hal ini, revitalisasi Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia menjadi sangat relevan untuk segera dilakukan. Revitalisasi Pancasila ini sangat penting terutama untuk mencari relevansi dan strategi agar Pancasila bisa memberikan kontribusi yang positif untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa dan negara.
Pentingnya Pancasila
Jika kita tinjau, baca, renungi, dan hayati secara mendalam nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, sesungguhnya persoalan-persoalan kebangsaan di atas jelas merupakan penyimpangan dari nilai-nilai ideal yang ada di dalamnya. Terlebih lagi, Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1946 dalam Rangka Peringatan Hari Pancasila menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila itu berbasis atau berakar pada rakyat Indonesia. Bung Karno menyatakan: “….Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekedar memformuleerkan adanya beberapa perasaan di kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai pemersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletakan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu….” Dari situ secara jelas dinyatakan bahwa kedudukan Pancasila sangat penting sebagai pemersatu bangsa dan rakyat Indonesia. Sebagai pemersatu, diharapkan Pancasila juga bisa memberikan pedoman hidup dan menjadi ideologi yang membuat rakyat lebih beradab, lebih maju, lebih cerdas, dan lebih mulia kehidupannya.
Sayangnya, nilai-nilai ideal dalam Pancasila itu masih banyak menjadi simbol dan wacana yang miskin implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, setelah reformasi, banyak anak-anak sekolah yang tidak paham dan tidak hapal tentang sila-sila yang ada dalam Pancasila. Ketika mereka diminta untuk melafalkan, banyak yang keliru, atau jika ada yang hafal mereka mengalami problem dalam mengurutkannya. Padahal, rumusan lima nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum paling tinggi di negara ini. Rumusan itu adalah: Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila (five principles) itu seharusnya tidak hanya sekedar dihapalkan saja, namun harus dikaji secara serius, mendalam, dan dicarikan strategi operasionalnya di lapangan.
Karena Pancasila sudah disepakati oleh para founding fathers bangsa ini dan kemudian menjadi konsensus nasional, maka ia bisa dikatakan juga sebagai perjanjian luhur yang harus dijadikan pedoman oleh bangsa, pemerintah, dan seluruh rakyat Indonesia (Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, 2012). Dengan begitu, Pancasila betul-betul akan menjadi spirit dan nilai moral yang menggawangi usaha-usaha perbaikan kualitas bangsa dan negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: “…memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…..”. Bahkan, menurut Roeslan Abdulgani yang mengutip pendapat George Kahin, Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, Marxisme, dan gagasan-gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai di desa-desa dan dalam komunalisme penduduk asli. Kahin juga menyatakan bahwa “Pancasila adalah suatu filsafat yang sudah dewasa, yang sudah sangat besar pengaruhnya atas jalannya revolusi” (Ahmad Syafii Maarif, 2006). Dengan kedudukan yang mulia dan sangat penting itu, maka Pancasila sudah seharusnya bisa menjadi pedoman dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara kita semua.
Menafsirkan dan Mengamalkan Pancasila
Agar Pancasila memiliki peran sebagai pemersatu bangsa, maka tidak ada cara lain selain melaksanakannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak boleh hanya dijadikan sebagai pajangan yang menghiasi konstitusi kita. Pancasila tidak boleh hanya hadir dalam perwujudan Burung Garuda Pancasila yang menghiasi ruang-ruang pertemuan di gedung pemerintah dan swasta, tanpa memiliki implakasi bagi pemikiran dan perbuatan yang luhur.
Sebelum dilaksanakan, tentu saja nilai-nilai Pancasila itu harus terlebih dahulu dijabarkan dan ditafsirkan agar sesuai dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini. Kita tidak boleh sekedar mengadopsi secara membabi buta buah pikiran para pendiri bangsa. Pemikiran dan penafsiran Pancasila haruslah bersifat terbuka dan tidak monolitik. Ia tidak boleh dimonopoli oleh pemikiran dan tafsiran dari suatu rezim tertentu atau bahkan dari generasi awal bangsa kita. Karena bagaimanapun suatu rezim atau suatu generasi bangsa tersebut terikat oleh dimensi ruang dan waktu, sehingga pemikiran dan penafsiran mereka pasti terpengaruh oleh keadaan sosial, budaya, politik, dan ekonomi saat mereka masih hidup, yang belum tentu cocok dengan keadaan sekarang. Lebih lanjut, bangsa Indonesia tidak boleh terjebak dalam pensakralan dan romantisme pemikiran Pancasila di masa lalu.
Setelah kita melakukan penafsiran terhadap nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan konteks zaman sekarang, maka agar Pancasila mampu menjadi pemersatu bangsa, nilai-nilai Pancasila itu harus diamalkan. Dalam persoalan ideologi, misalnya, Pancasila harus mampu menanggulangi dampak negatif dari ideologi politik dan ekonomi liberal yang kini menyerang bangsa Indonesia melalui arus globalisasi. Seperti kita ketahui, ideologi politik dan ekonomi liberal ini menitikberatkan pada kemampuan dan kebebasan individu untuk bertindak. Negara ditempatkan dalam posisi yang minimal sebagai pembuat dan pengawas regulasi. Semua peraturan negara dibuat untuk melayani kepentingan individu. Dengan cara demikian, hukum pasar ditempatkan sebagai pengendali siapa yang kuat dan siapa yang menang, dan tidak mengenal keberpihakan pada kaum yang lemah.
Pemikiran liberal seperti ini memang banyak dianut di dunia dewasa ini, bahkan diklaim sebagai puncak dari perkembangan ideologi manusia, sebagaimana dinyatakan oleh pemikir Amerika keturunan Jepang, Francis Fukuyama, yang menyebutnya sebagai akhir dari sejarah. Dalam tulisannya “The End of History”? Francis Fukuyama, menyatakan:
What we may be witnessing in not just the end of the Cold War, or the passing of a particular period of post-war history, but the end of history as such: that is, the end point of mankind's ideological evolution and the universalization of Western liberal democracy as the final form of human government. This is not to say that there will no longer be events to fill the pages of Foreign Affairs's yearly summaries of international relations, for the victory of liberalism has occurred primarily in the realm of ideas or consciousness and is as yet incomplete in the real or material world. But there are powerful reasons for believing that it is the ideal that will govern the material world in the long run.
Artinya: Kita mungkin sedang menyaksikan bukan hanya akhir dari Perang Dingin, atau berlalunya sebuah periode sejarah paska perang, tetapi akhir dari sejarah; yakni titik akhir dari perkembangan evolusi ideologi dan munculnya universalisasi demokrasi Barat sebagai bentuk akhir pemerintahan manusia. Ini tidak berarti bahwa tidak akan ada peristiwa-peristiwa yang mengisi halaman-halaman pertemuan tahunan internasional di luar negeri, karena kemenangan liberalisme itu terletak didalam kesadaran atau ide namun masih belum sempurna dalam dunia material atau dunia kenyataan. Tetapi ada alasan-alasan kuat untuk percaya bahwa inilah ideal yang akan mengatur dunia materi dalam jangka lama. (Fukuyama, 1989).
Maka, menghadapi situasi seperti ini, Pancasila harus mampu menghilangkan efek negatif dari ideologi ekonomi politik liberal yang akan menyengserakan bangsa Indonsia, karena sifatnya yang cenderung individualis. Padahal, dalam nilai-nilai Pancasila, kita diajarkan untuk menekankan cinta kasih dan semangat gotong royong dalam masyarakat demi menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita diajarkan bahwa bangsa Indonesia merupakan sebuah keluarga besar, yang mana penderitaan satu warga negara akan merupakan sakit yang dialami oleh warga negara yang lain. Manusia Indonesia yang satu bukanlah serigala atas manusia yang lain. Masing-masing orang Indonesia, apapun suku atau etniknya, ibarat lidi-lidi yang kemudian disatukan dalam ikatan Pancasila sehingga menjadi kekuatan hebat yang sulit untuk dipatahkan.
Di samping menghadapi ideologi ekonomi dan politik liberal yang berasal dari Barat, Pancasila juga harus mampu menghadapi menyeruaknya ideologi kekerasan dalam bentuk fundamentalisme agama yang kini dianut oleh beberapa kelompok anak bangsa. Menurut banyak ahli, fundamentalisme muncul karena adanya krisis identitas, persoalan ekonomi dan politik yang tak terselesaikan, dan karenanya, fundamentalism merupakan sarana orang untuk mencari kenyaman diri. Mereka berpikir bahwa ajaran agama telah menyediakan segala sesuatu yang lengkap bagi kebutuhan manusia, dan mengamalkan ajarannya secara harfiah dan mutlak merupakan jalan yang tepat untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Dengan sikap yang demikian, tak jarang banyak dari kelompok ini yang suka menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Menurut sosiolog Mark Juergensmeyer (2003), kekerasan agama itu merupakan teater untuk mendramatisasi keadaan dan pandangan, di mana gambaran tentang mati syahid, satanisasi, dan perang kosmis merupakan bagian sentral dari ideologi agama. Gambaran-gambaran tersebut memiliki tujuan untuk memperkuat identitas orang dan kelompok, dan memberi legitimasi politik.
Dalam konteks inilah, kita harus menegakkan nilai-nilai Pancasila yang mengajarkan bahwa memeluk keyakinan agama dan menjalannya sesuai dengan kepercayaan itu merupakan hak setiap pribadi warga negara. Perlindungan negara terhadap kebebasan beragama ini juga sejalan dengan Piagam Hak Asasi Manusia. Sudah bukan zamannya lagi jika pemerintah melakukan kebijakan berdasarkan pendekatan mayoritas dan minoritas, karena semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Selanjutnya, semua elemen masyarakat beragama harus menafsirkan ajaran agama mereka dalam konteks negara Indonesia berdasarkan Pancasila yang menghormati perbedaan penafsiran dan keyakinan agama. Keanekaragaman agama dan kepercayaan di Indonesia harus dipandang sebagai kekayaan yang harus dihormati, dan bahkan dijadikan modal untuk merekatkan persatuan. Perbedaan keyakinan agama dan budaya haruslah dipandang sebagai keadaan alamiah manusia yang memang berbeda, dan bukan sebagai sarana politisasi persoalan demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan suatu kelompok beragama. Jika pun ada persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, semua harus dibicarakan secara demokratis melalui musyararah untuk mencapai mufakat, tanpa merugikan kepentingan suatu kelompok.
Dalam soal ekonomi, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk melakukan pemerataan pembangunan, sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Kekuatan ekonomi tidak boleh lagi terpusat di Jakarta atau di Jawa, tetapi harus didistribusikan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk mereka yang berada di pulau-pulau terdepan, sehingga setiap warga negara merasakan kue manis pembangunan dan merasa diperhatikan oleh negara, dan bangga menjadi warga Indonesia. Kekuatan-kekuatan ekonomi yang liberal dan hanya didasarkan pada mekanisme pasar haruslah dicegah, dengan cara membuat peraturan-peraturan yang memberikan perlindungan pada warga lemah. Hal ini dimaksudkan bukan untuk memanjakan kelompok warga negara tertentu, tetapi memberi kesempatan mereka untuk berkembang agar bisa menjadi mandiri. Hal ini dikarenakan mekanisme pasar, yang diihami oleh ideologi liberal, tidak mengenal belas kasihan, sehingga akan menghisap sumber-sumber ekonomi dari mereka yang lemah. Ekonomi Indonesia haruslah berdasar pada ekonomi yang melindungi kepentingan kaum lemah, tanpa harus mengekang kebebasan individu untuk berusaha. Bangsa Indonesia harus diajarkan bahwa kemuliaan itu tidaklah didapat dengan melakukan eksploitasi sebesar-besarnya kepada orang lain dan alam, tetapi kemuliaan itu ialah dengan memaksimalkan potensi individu tetapi tanpa melupakan lingkungan alam dan keadaan mereka yang lemah. Dalam hal ini, mungkin penting bagi kita untuk menyemarakkan sistem ekonomi koperasi yang oleh banyak pihak dipandang sebagai salah satu pilar perekonomian nasional Indonesia dan lebih sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa Indonesia.
Hingga akhir-akhir ini kita masih sering mendengar gerakan-gerakan di daerah yang ingin memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika telusuri lebih lanjut, ternyata salah satu akar permasalahannya adalah pembangunan yang belum merata dan perekonomian daerah yang belum mendapat perhatian. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat ini sangatlah mendesak untuk dipercepat pelaksanannya. Dengan cara demikian, kita bisa menghilangkan gejala gejala disintegrasi bangsa secara lebih baik.
Kesimpulan
Pancasila akan mampu menjadi perekat persatuan bangsa jika nilai-nilai luhurnya ditafsirkan sesuai konteks sekarang dan kemudian diamalkan oleh segenap komponen bangsa. Untuk itu, para pejabat dan aparat birokrasi harus memberikan contoh pengamalan Pancasila yang benar. Apalagi, Indonesia masih merupakan bangsa paternalistik di mana ucapan dan amal perbuatan pemimpin merupakan suri tauladan yang diperhatikan oleh setiap warga negara. Untuk mencapai maksud tersebut, sosialisasi nilai-nilai Pancasila harus dilakukan secara dialogis, sehingga tidak terjadi indoktrinasi oleh aparat pemerintah terhadap warga negara, sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebagai titik temu (common platform) yang telah disepakati oleh segenap komponen bangsa, Pancasila harus menjadi rujukan kehidupan bernegara dan berbangsa, dan kita bangsa Indonesia tidak perlu mencari titik temu yang lain, yang hanya akan menghabiskan energi. Semoga dengan cara demikian, persatuan bangsa kita semakin kokoh.
No comments