Nasib Nelayan Angke di Persimpangan
Senja segera menjelang di Muara Angke ketika Muslim (45) masih duduk di atas kapal berbobot mati 2 ton (GT) yang berderet dengan puluhan kapal nelayan lainnya. Sebentar lagi para nelayan yang semula sibuk mempersiapkan kapal dan peralatan menangkap ikan mulai bersiap berbuka puasa. Biasanya, di bulan puasa, nelayan Angke pergi melaut setelah berbuka puasa. Kegiatan melaut bagi Muslim, serta ribuan nelayan di pesisir utara Jakarta merupakan aktivitas untuk menyambung hidup. Melaut hingga beberapa mil dari bibir laut, nelayan membawa pulang tangkapan untuk dijual dan hasilnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Namun di tahun-tahun belakangan, hasil tangkapan nelayan semakin berkurang. Pencemaran yang kian akut sangat mempengaruhi tangkapan nelayan, mengingat Muara Angke merupakan salah satu areal yang paling parah dipengaruhi sampah dan pencemaran. Selain pencemaran, mahalnya bahan bakar disertai kelangkaan juga menambah derita nelayan. “Jika dipikir, modal melaut yang makin besar dan pencemaran yang menyebabkan ikan makin langka, menjadi nelayan semakin susah. Namun kami tidak memiliki keahlian lain selain menangkap ikan,” tutur Muslim lirih.
Muara Angke adalah muara dari Kali Angke, sebuah kawasan pelabuhan ikan dan perkampungan nelayan di Jakarta. Sedangkan nama kali ini diperkirakan dinamai seorang panglima perang Kerajaan Banten, yakni Tubagus Angke. Pada awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa. Markas Tubagus Angke ini kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke.
Muara Angke yang termasuk dalam Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan dikenal warga Jakarta sebagai tempat pelelangan ikan dan pusat wisata kuliner ikan bakar. Di daerah ini terdapat Suaka Margasatwa Muara Angke, kawasan hutan bakau seluas 25,02 hektar dihuni tak kurang dari 90 spesies burung merupakan bagian dari hutan bakau yang tersisa di Jakarta. Kawasan hutan Angke-Kapuk yang terdiri dari Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam merupakan hutan bakau yang memiliki luas keseluruhan sekitar 170,6 hektar.
Di kawasan pesisir utara Jakarta ini diperkirakan terdapat lebih dari 12 ribu nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut dan hasil laut yang tersebar di perkampungan nelayan Muara Angke, Kamal Muara dan Muara Baru. Selain menghasilkan ikan segar, kawasan ini juga memproduksi ikan olahan, seperti ikan asap, ikan pindang, dan ikan asin, yang dihasilkan pusat kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT). Selain dipasarkan di wilayah Jakarta, produksi ikan olahan Muara Angke juga dikirimkan ke daerah lain di Indonesia dan diekspor. Muara Angke merupakan penyangga kebutuhan perikanan warga Jakarta.
Rencana reklamasi sudah mulai terdengar oleh kalangan nelayan Muara Angke. Seperti umumnya kalangan wong cilik, nelayan hanya pasrah mendengar proyek besar yang akan menggusur tempat hidup mereka tersebut. Bagi Muslim dan ribuan nelayan lainnya, penggusuran merupakan momok menakutkan bagi kehidupan mereka, lebih menghawatirkan ketimbang cuaca buruk, tengkulak, kelangkaan BBM dan pencemaran di laut Jakarta. “Seandainya jadi digusur, kami tidak mungkin bisa bersandar lagi di kali asin, pihak Agung Podomoro tidak mungkin mengizinkan,” keluh Muslim
Proyek prestisius reklamasi Jakarta, khususnya Pluit City milik Agung Podomoro dipastikan akan menggusur nelayan Muara Angke dan menghancurkan ratusan hektar hutan bakau. Kecenderungan pembangunan yang meminggirkan masyarakat kecil bukanlah hal baru di Indonesia, karena paradigma pembangunannya belum memanusiakan manusia dan melindungi lingkungan alam.
Menurut peneliti Institute Global Justice (IGJ), Salamudin Daeng proses pembangunan di Indonesia selalu penuh ketimpangan dan jauh dari azas keadilan. “Program pembangunan sejak Indonesia merdeka hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi, namun mengabaikan redistribusi kesejahteraan. Akibatnya, rakyat kecil makin terpinggirkan dan gap ekonomi makin terjal. Penggusuran tidak pernah tuntas, hanya memindahkan namun tidak solutif bagi kehidupan rakyat yang digusur,” tegas Salamudin Daeng. (mail)
Namun di tahun-tahun belakangan, hasil tangkapan nelayan semakin berkurang. Pencemaran yang kian akut sangat mempengaruhi tangkapan nelayan, mengingat Muara Angke merupakan salah satu areal yang paling parah dipengaruhi sampah dan pencemaran. Selain pencemaran, mahalnya bahan bakar disertai kelangkaan juga menambah derita nelayan. “Jika dipikir, modal melaut yang makin besar dan pencemaran yang menyebabkan ikan makin langka, menjadi nelayan semakin susah. Namun kami tidak memiliki keahlian lain selain menangkap ikan,” tutur Muslim lirih.
Muara Angke adalah muara dari Kali Angke, sebuah kawasan pelabuhan ikan dan perkampungan nelayan di Jakarta. Sedangkan nama kali ini diperkirakan dinamai seorang panglima perang Kerajaan Banten, yakni Tubagus Angke. Pada awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa. Markas Tubagus Angke ini kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke.
Muara Angke yang termasuk dalam Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan dikenal warga Jakarta sebagai tempat pelelangan ikan dan pusat wisata kuliner ikan bakar. Di daerah ini terdapat Suaka Margasatwa Muara Angke, kawasan hutan bakau seluas 25,02 hektar dihuni tak kurang dari 90 spesies burung merupakan bagian dari hutan bakau yang tersisa di Jakarta. Kawasan hutan Angke-Kapuk yang terdiri dari Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam merupakan hutan bakau yang memiliki luas keseluruhan sekitar 170,6 hektar.
Di kawasan pesisir utara Jakarta ini diperkirakan terdapat lebih dari 12 ribu nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut dan hasil laut yang tersebar di perkampungan nelayan Muara Angke, Kamal Muara dan Muara Baru. Selain menghasilkan ikan segar, kawasan ini juga memproduksi ikan olahan, seperti ikan asap, ikan pindang, dan ikan asin, yang dihasilkan pusat kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT). Selain dipasarkan di wilayah Jakarta, produksi ikan olahan Muara Angke juga dikirimkan ke daerah lain di Indonesia dan diekspor. Muara Angke merupakan penyangga kebutuhan perikanan warga Jakarta.
Rencana reklamasi sudah mulai terdengar oleh kalangan nelayan Muara Angke. Seperti umumnya kalangan wong cilik, nelayan hanya pasrah mendengar proyek besar yang akan menggusur tempat hidup mereka tersebut. Bagi Muslim dan ribuan nelayan lainnya, penggusuran merupakan momok menakutkan bagi kehidupan mereka, lebih menghawatirkan ketimbang cuaca buruk, tengkulak, kelangkaan BBM dan pencemaran di laut Jakarta. “Seandainya jadi digusur, kami tidak mungkin bisa bersandar lagi di kali asin, pihak Agung Podomoro tidak mungkin mengizinkan,” keluh Muslim
Proyek prestisius reklamasi Jakarta, khususnya Pluit City milik Agung Podomoro dipastikan akan menggusur nelayan Muara Angke dan menghancurkan ratusan hektar hutan bakau. Kecenderungan pembangunan yang meminggirkan masyarakat kecil bukanlah hal baru di Indonesia, karena paradigma pembangunannya belum memanusiakan manusia dan melindungi lingkungan alam.
Menurut peneliti Institute Global Justice (IGJ), Salamudin Daeng proses pembangunan di Indonesia selalu penuh ketimpangan dan jauh dari azas keadilan. “Program pembangunan sejak Indonesia merdeka hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi, namun mengabaikan redistribusi kesejahteraan. Akibatnya, rakyat kecil makin terpinggirkan dan gap ekonomi makin terjal. Penggusuran tidak pernah tuntas, hanya memindahkan namun tidak solutif bagi kehidupan rakyat yang digusur,” tegas Salamudin Daeng. (mail)
No comments