Pak Harto dan MDI
Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) merupakan ormas Islam yang beraspirasi ke Partai Golkar dan didirikan pada tanggal 24 Mei 1978 dengan restu Presiden Soeharto. Pada masa awal kekuasaan Soeharto, keberadaan MDI banyak dikritik oleh kalangan Islam. Bahkan, MDI sempat dianggap sebagai stempel Orde Baru bagi upaya kooptasi Orde Baru terhadap seluruh komponen Islam di Indonesia. Sebagai dinamika zaman, hal tersebut bisa dimaklumi, karena memang terlihat posisioning politik Soeharto linear terhadap aspirasi umat Islam. Di awal Orde Baru, terkait dengan desakan dipulihkannya Masyumi dan pemberlakuan azas tunggal Pancasila, sikap politik Soeharto memang sering dipandang cenderung anti Islam.
MDI Sumsel jelang pemilu 1987 |
Implementsi dari politik agama pemerintah Orde Baru adalah mendorong terwujudnya suatu religious order (orde religius) di antara agama-agama di Indonesia. Dalam kerangka ini pemerintah Orde Baru bermaksud mendorong terwujudnya kerukunan dan toleransi beragama di Indonesia. Melalui langkah-langkah ini pemerintah Orde Baru mengharapkan partisipasi aktif dari tokoh-tokoh dan pemimpin agama dalam rangka mewujudkan dialog dan kerukunan antar umat beragama demi terwujudnya integrasi nasional. Pernyataan ini disampaikan Presiden Soeharto dalam Muktamar I MDI, pada tanggal 13 Agustus 1979 di Jakarta.
Sambutan Presiden Soeharto pada pembukaan Muktamar I MDI yang diselenggarakan di Balai Sidang, Jakarta mengingatkan bahwa pemikiran yang mempertentangkan antara agama dengan Pancasila, serta memperlawankan antara kepentingan umat Islam dengan kepentingan nasional, jelas tidak menguntungkan bangsa kita dan umat Islam sendiri. Dalam hubungan ini, Presiden meminta agar Majelis Dakwah Islamiyah dapat berperan untuk menghilangkan sisa-sisa pemikiran itu. Seoharto juga berpesan agar MDI dapat mempelopori dakwah pembangunan yang isinya mengajak umat Islam berpartisipasi dalam pembangunan berdasarkan ukhuwah Islamiyah.
Penegasan posisioning politik Orde Baru ditegaskan kembali dalam Muktamar II MDI, 17-20 Desember 1984 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Di hadapan musyawarah yang dihadiri lebih kurang 750 peserta, dalam pidato pembukaannya Presiden Soeharto menyerukan kepada MDI untuk berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan umat Islam guna memberi sumbangan yang sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya kepada masyarakat Pancasila yang sedang dibangun. Pasca Muktamar, Presiden Soeharto menerima 14 orang Pengurus Pusat MDI yang dipimpin oleh Ketuanya, KH Tohir Wijaya dan meminta MDI agar menjalankan program-prograrnnya dapat memanfaatkan fasilitas yang ada, seperti Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dharmais, dan lain-lain.
Pada periode akhir 1980-an hingga akhir Orde Baru, hubungan Presiden Soeharto dan Islam menjalani masa-masa produktif. Pada masa itu, Presiden Soeharto membuat berbagai kebijakan yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia, seperti legalisasi jilbab di sekolah dan instansi formal, pembangunan ribuan masjid (melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila), pengiriman dai-dai ke daerah pelosok/pedalaman, menggalakkan ekonomi kerakyatan, labelisasi halal MUI, kemudahan sistem ONH, dan penerimaan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam hukum privat di Indonesia.
Orde Baru juga menyokong berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), munculnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Koperasi Pesantren (Kopontren) dan Koran Republika. Pak Harto juga merestui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dan pembangunan Perguruan Tinggi Islam, seperti IAIN dan STAIN yang belakangan beberapa diantaranya menjadi UIN. Begitu pula program-program lain, seperti pesantren kilat bagi pelajar, peringatan Hari Besar Islam secara kenegaraan, Pekan Budaya Islam Istiqlal, Mushaf Al Qur'an Khas Nusantara, dan Festival Bedug Nasional.
Selain itu muncul pula beragam aturan perundangan yang menguntungkan Islam seperti UU Pendidikan Nasional, UU Perkawinan, UU Bank Syariah, UU Peradilan Agama, UU Zakat, dan UU Bank Syariah. Presiden Soeharto juga meminta rehabilitas dan pembangunan sejumlah Asrama Haji, yaitu Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Asrama Haji Juanda Surabaya, Asrama Haji Ujung Pandang Slawe Selatan, Asrama Haji Pangkalan Mashur Medan, Asrama Haji Sulawesi Utara, Asrama Haji Sulawesi Tengah, Asrama Haji Kalimantan Timur, Asrama Haji Yogyakarta, Asrama Haji Jawa Tengah, Asrama Haji NTB, Asrama Haji Kalimantan Tengah.
Seperti dituturkan Hasanuddin Mochdar, kader Partai Golkar yang berkecimpung di MDI sejak awal berproses di Golkar, hubungan Pak Harto dan MDI sangat istimewa. Pada beberapa kesempatan, Seoharto memanggil pengurus MDI untuk dimintakan pendapat terkait kebijakan-kebijakan pembanguan, khususnya yang terait dengan kehidupan Islam di Indonesia. Menurut Hasanuddin, meskipun tidak banyak diekspose, pikiran-pikiran MDI sangat mempengaruhi kebijakan pemerintahan Orde Baru terkait Islam. Bahkan, kemitraan Kementerian Agama dan Majelis Dakwah Islamiyah mencapai puncaknya, dengan menempatkan MDI sebagai lembaga tink tank Kementerian Agama, sehingga penggodokan program dilakukan terlebih dahulu di kantor MDI.
Salah satu moment yang paling dikenang Hasanuddin adalah ketika gagasan pembangunan Masjid di komplek DPP Partai Golkar tertahan di tangan beberapa oknum pimpinan. Hambatan tersebut dilaporkan pada Presiden Soeharto yang kontan langsung memerintahkan Ketua Umum DPP Golkar saat itu, Wahono untuk merealisasikan pembangunan Masjid. “Cerita ini sebuah untold story yang menunjukkan betapa Pak Harto sangat sensitif pada isu-isu terkait Islam. Masjid di komplek DPP Partai Golkar tersebut masih berdiri megah hingga kini, dan sepertinya merupakan satu-satunya Masjid di lingkungan kantor partai politik di Indonesia hingga kini,” kenang Hasanuddin.
Kampanye Ketum MDI, KH. Kholid Mawardi pada pemilu 1992 |
MDI juga membuat program pengiriman dai ke wilayah transmigrasi yang bekerjasama dengan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Program da’i trasmigrasi dan imam transmigrasi tersebut mulai dilaksanakan tahun 1990 dan diajukan MDI pada audiensi DPP MDI dengan Presiden Soeharto beberapa hari menjelang Muktamar III MDI tahun 1990. Program da’i dan imam transmigrasi MDI dimaksudkan untuk menyediakan tenaga dakwah yang dapat melaksanakan tugas bimbingan dan pembinaan kehidupan beragama bagi masyarakat transmigrasi yang beragama Islam, berwawasan kebangsaan, kenegaraan dan keagamaan yang memadai dan mampu menjadi motivator pembangunan masyarakat.
Kegiatan ini diawali dengan pelatihan intensif di Jakarta agar para dai mendapatkan pembekalan, termasuk breafing terkait kondisi di wilayah transmigrasi yang akan mereka masuiki. Program tersebut, pada tahun pertama saja mampu mengirimkan sebanyak 968 orang imam transmigrasi dan 2.777 orang da’i transmigrasi sejak tahun 1990. Selain memfasilitasi pelatihan, Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila juga menyediakan honor dan kendaraan operasional kepada para da’i dan imam setiap bulan selama 3 tahun terhitung setelah selesai dilatih.
Program-program yang didanai YAMP tersebut akhirnya terhenti setelah reformasi 1998 bergulir, namun kegiatan dai dan mubaligh MDI di seluruh Indonesia terus berjalan sebagai aktivitas rutin organisasi. MDI selalu siap mengirimkan mubaligh dan khatib jum’at jika diminta pengurus masjid dan lembaga pengajian Islam. Bahkan pasca reformasi, MDI makin memerankan diri sebagai ormas Islam, dengan keaktifan mubaligh-mubaligh nya dalam aktivitas dakwah di berbagai daerah di Indonesia. (hd)
No comments