Header Ads


  • Breaking News

    MDI Kini, Menolak Dieleminasi Zaman

    Ketua Umum MDI, KH. Deding Ishaq
    Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) merupakan salah satu ormas Islam besar di Indonesia, dengan struktur kepengurusan hingga ke tingkat Kabupaten/Kota, bahkan tingkat Kecamatan. Keberadaannya, baik di Majelis Ulama Indonesia maupun di Partai Golkar masih cukup diperhitungkan. Sebagai ormas, MDI memang memiliki kekhasan, karena kedudukannya sebagai Ormas Islam, membuat MDI merupakan salah satu pilar Majelis Ulama Indonesia, sedangkan pilihan beraspirasi di Partai Golkar, membuat MDI memiliki tempat di Partai Golkar. Bahkan dalam perhelatan Munas, Musyda tingkat I dan tingkat II, MDI memiliki hak suara dan mengusulkan kepengurusan partai.
     

    Pada zaman Orde Baru, bisa dikatakan MDI merupakan dapur kebijakan Orde Baru terkait ummat Islam. Berbagai kebijakan dan program Presiden Soeharto terkait Islam, pada umumnya diproses terlebih dahulu di kantor MDI, seperti perumusan RUU Pendidikan Nasional, RUU Perkawinan, RUU Peradilan Agama, RUU Haji, RUU Zakat, dan RUU Bank Syariah. Begitu pula kelahiran lembaga pendidikan tinggi Islam yang sekarang dikenal sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, yaitu Universitas Islam Negeri (UIN), Institute Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), juga tidak lepas dari peran MDI secara konseptual.
     

    Pada umumnya, kebijakan tersebut masih digunakan hingga saat ini, seperti sertifikasi halal yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia dan program Keluarga Berencana (KB) yang semula banyak ditentang, namun hari ini diakui memberi manfaat bagi kemajuan bangsa. Begitu pula pembangunan Asrama Haji di berbagai kota di Indonesia, yang tidak saja dimanfaatkan untuk kegiatan ibadah haji, namun juga digunakan bagi berbagai aktivitas lainnya, termasuk kegiatan non-keislaman. Bahkan, diakuinya eksistensi lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah sebagai bagian dari sistem pendidikan formal di Indonesia melalui UU Pendidikan Nasional, merupakan kebijakan yang sangat strategis bagi umat Islam Indonesia.
     

    Eksistensi MDI memang turut terpengaruh perubahan politik pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Hal ini disebabkan beberapa hal: Pertama, keistimewaan yang didapat MDI di era Presiden Soeharto tidak didapatkan lagi di era reformasi. Seperti diketahui, kemesraan hubungan Soeharto dan Islam yang kian kental sejak awal 90-an, bisa direpresentasikan oleh tiga lembaga, yaitu MDI di internal Golkar, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan CIDES sebagai lembaga think tank. Hal tersebut dibuktikan dengan kehadiran Presiden Soeharto dalam setiap Muktamar MDI. Perubahan pasca 1998, turut pula mempengaruhi gerak langkah MDI hingga kini.
     

    Kedua, kemunculan partai-partai politik berbasis Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara sosial origin dekat dengan kalangan Nahdiyin serta Partai Amanat Nasional (PAN) yang dilahirkan tokoh-tokoh Muhammadiyah, turut pula menggerus pengaruh MDI yang berafiliasi dengan Partai Golkar. Pada zaman peralihan demokrasi multi-partai tahun 1999, tidak sedikit tokoh-tokoh MDI yang berlatar belakang ormas Islam, turut membidani kelahiran parpol Islam.
     

    Ketiga, era demokrasi liberal lewat liberal election yang saat ini menjadi sistem dan praktik politik di Indonesia turut pula memberikan pengaruh pada signifikansi MDI sebagai poros kalangan Islam di internal Partai Golkar. Kecenderungan dominannya pengaruh kapital bagi keterpilihan kandidat dalam pemilu, baik pemilihan legislatif maupun pilkada, membuat tokoh-tokoh agak MDI tersisihkan dalam pertarungan politik. Karena kenyataannya, tokoh-tokoh MDI lebih memiliki modal sosial ketimbang modal finansial.
     

    Meskipun demikian, Dr. KH. Deding Ishak, Ketua Umum DPP MDI menyatakan situasi tersebut tidak membuat MDI surut. Ketua Umum MDI dua periode yang terpilih pertama kali pada Muktamar MDI tahun 2006 ini berujar, justru MDI bisa lebih dinamis tanpa adanya previlage. Menurutnya, keberadaan MDI pada era sekarang harus menyandarkan diri pada potensi internal, tanpa bergantung pada komponen eksternal. “Insya Allah MDI mampu menyesuaikan diri dengan kondisi zaman, dengan tantangan dakwah yang kian berat, sebagai ormas Islam MDI selalu berupaya berkontribusi maksimal bagi ummat Islam,” ujarnya optimis.
     

    Begitu pula di internal Partai Golkar, Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi Agama dan Sosial ini berkeyakinan, MDI akan tetap diperhitungkan, karena merupakan wadah bagi berbagai komponen umat Islam. Deding memprediksi, kecenderungan politik Indonesia yang moderat, membuat partai-partai Islam sulit dominan, sehingga partai nasionalis seperti Golkar tidak mudah kehilangan akarnya. “Posisi MDI sangat strategis di Partai Golkar, karena bisa menjadi penyambung aspirasi umat Islam dalam isu-isu keummatan. Selama ini MDI berupaya menyerap aspirasi umat Islam dalam isu-isu seperti Undang-Undang Sisdiknas, UU ormas, sertifikasi halal dan problematika penyelenggaraan haji,” paparnya.
     

    KH. Deding Ishak juga berharap, Partai Golkar dapat lebih memberikan perhatian bagi organisasi MDI. Apalagi keberadaan MDI bagi Partai Golkar, baik di zaman Orde Baru maupun di era Reformasi, terbukti telah banyak memberikan manfaat bagi umat Islam. “Partai Golkar perlu memberikan ruang lebih baik bagi kiprah MDI, tidak saja bagi kepentingan politik partai, mengingat pemilih Islam adalah pemilih terbesar di Indonesia, namun juga bagi kepentingan umat Islam itu sendiri yang secara langsung juga akan menjadi kepentingan bangsa pada akhirnya,” pungkas Deding.


    Kegiatan MDI di Kabupaten Rokan Hulu, Riau

    Pendapat senada juga diungkapkan Wakil Ketua Umum MDI, Hasanuddin Mochdar yang melihat MDI tetap punya masa depan dalam perannya sebagai ormas Islam dan ormas partai politik. Hasanuddin memprediksi, kader-kader MDI bisa berperan lebih besar, karena mempunyai historisitas baik. “Kadang-kadang saya kaget, di pertemuan-pertemuan nasional Golkar, selalu ada saja orang golkar daerah yang menyapa dan mengaku mereka adalah da’i transmigrasi yang dulu dikirimkan MDI ke daerah-daerah dan sekarang sudah menjadi anggota DPRD atau kepala daerah,” ungkap Hasanuddin.
     

    Situasi berbeda tentu menciptakan tantangan yang berbeda pula, hal yang juga diakui mantan anggota DPR RI ini. Namun dia melihat, justru di sanalah seninya, berupaya memperkuat peran MDI dengan segala potensi dan keterbatasan yang ada saat ini. “Hingga hari ini, minat aktivis-aktivis muda Islam untuk bergabung dalam MDI tetap besar, baik yang ingin berpolitik di Partai Golkar maupun yang hanya ingin berkecimpung di ormasnya saja. Ini kan kenyataan yang membesarkan hati, ketika kaderisasi jalan terus, kiprah MDI insya Allah juga akan jalan terus,” tutupnya.

    Wakil Sekjen DPP MDI membidangi kepemudaan, sekaligus Sekjen PP Angkatan Muda MDI, Hadi Susanto juga menyatakan optimisme bahwa kiprah MDI tidak akan ditelan sejarah. Menurut Hadi, MDI adalah ormas Islam dengan kesejarahan yang kongkrit di Indonesia. Betapa pun hal tersebut erat dipengaruhi situasi politik kekuasaan, namun modal sejarah itu adalah beban sekaligus modal untuk kiprah MDI di masa depan.“Sebagai generasi baru di MDI dan Partai Golkar, saya tidak kekurangan optimism bahwa MDI akan terus berkarya bagi kemajuan ummat dan bangsa. Saya percaya, karya nyata dan kontribusi MDI masih dibutuhkan umat Islam dan rakyat Indonesia, karenanya MDI menolak dieleminasi zaman,” tegas Hadi yang lama berkecimpung di DPP BKPRMI ini.

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad