Kemerdekaan dan “Bau Sapi”
Oleh: Muh Fitrah Yunus
Keputusan pemerintah Indonesia untuk mengimpor sapi sebanyak 200 hingga 300 ribu ekor pada tahun 2015 belum lama ini merupakan salah satu langkah menurunkan harga daging sapi di Indonesia. Namun, kebijakan itu tidak selamanya dapat mengeluarkan masyarakat dari persoalan pangan yang hingga kini masih melilit negeri ini. Kebijakan impor pangan, hanyalah solusi instan yang tidak meyelesaikan persoalan hingga ke pangkal permasalahannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan impor hanya salah satu cara menurunkan harga komoditas dalam negeri, namun pada saat yang sama impor yang terus menerus akan menerangkan kepada khalayak bahwa negara ini belum dapat mandiri. Sehingga dapat dipastikan, program swasembada pangan yang menjadi program prioritas pemerintahan sejak dulu, hingga kapan pun tidak akan dapat terealisir.
Realitas yang dihadapi masyarakat sekarang adalah daging sapi mengalami kenaikan harga yang sangat signifikan dan sudah memberatkan masyarakat. Komite Daging Sapi (KDS) Jakarta Raya mengungkapkan penjualan daging sapi di Jakarta menurun hingga 40% akibat meroketnya harga daging sapi hingga Rp 120.000/kg. Pada saat yang sama daya beli masyarakat semakin menurun disebabkan pertumbuhan ekonomi yang semakin melambat.
Menurut perhitungan bahwa kebutuhan daging sapi nasional tahun ini naik 8,5% dibanding tahun lalu menjadi sekitar 640.000 ton. Bahkan, kebutuhan di DKI Jakarta sendiri mencapai 60 ton per hari. Kebutuhan tersebut ternyata tidak mampu dipenuhi produksi sapi di dalam negeri, sebagian kalangan menganggap bahwa untuk memenuhi kebutuhan di atas pemerintah harus melakukan impor daging dalam jumlah yang besar. Kebijakan tersebut ternyata, di sisi lain dipastikan akan mengganggu peternak dalam negeri, bahkan kadang-kadang juga gagal menurunkan harga daging sapi di dalam negeri.
Disamping itu, bagi masyarakat, merupakan sesuatu yang aneh jika kenaikan harga daging sapi terjadi setelah hari raya Idul Fitri. Biasanya pada hari raya itu maupun hari raya-hari raya lainnya tingginya konsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan menjelang lebaran, sehingga langkah apapun dilakukan masyarakat untuk memenuhinya. Sebuah anomali jika harapan pertumbuhan ekonomi pasca bulan Ramadhan itu tinggi, akan tetapi masyarakat “ujug-ujug” dihadapkan dengan kenaikan harga pangan, khususnya harga daging sapi yang meroket pasca hari raya Idul Fitri tahun ini.
Akar masalah dari tahun ke tahun hampir sama, masyarakat menyalahkan pemerintah yang dinilai tidak “becus” membuat kebijakan penetapan harga dalam negeri. Meskipun masyarakat mengenal kebijakan intervensi pemerintah, seperti operasi pasar, untuk menekan kenaikan harga komoditas, namun intervensi tersebut sangat kecil skalanya bahkan hampir tidak terasa. Pada akhirnya masyarakat menyimpulkan bahwa pemerintah sejatinya terlihat tunduk pada kemauan pasar. Pada saat yang sama, mafia impor dalam hal ini mafia impor daging memanfaatkan situasi tersebut untuk menangguk keuntungan.
Kalkulasi Produksi dan Konsumsi
Hinga saat ini kalkulasi kebutuhan daging dalam negeri belum juga jelas. Data kebutuhan daging simpang siur, tidak menunjukkan data yang akurat. Kesiapan data dari Badan Pusat Statistik masih diragukan validitasnya, dan dibarengi dengan kemunculan data-data dari lembaga lain. Padahal daging merupakan komoditas konsumsi utama masyarakat Indonesia, disamping Sembilan kebutuhan pokok yang memang masih dalam pantauan pemerintah. Kenaikan tingkat ekonomi masyarakat belakangan ini, disinyalir membuat kenaikan konsumsi masyarakat pada daging sapi, ikan, telor ayam, dan daging ayam. Komoditas penting seperti daging sapi, seyogyanya mendapat perhatian pemerintah, termasuk dalam hal akurasi data konsumsinya.
Kalkulasi persediaan daging memang harus akurat, karena jika tidak, maka pemerintah tidak dapat menjawab kebutuhan dan ketersediaan daging masa kini dan masa datang. Simpang siurnya data yang ada menyebabkan terjadinya pengambilan kebijakan yang salah oleh pemerintah dan secara langsung tentu rakyat yang kena dampaknya.Kejelasan data produksi dan konsumsi daging dalam negeri akan menjadi alat ukur berapa jumlah sapi dalam negeri yang harus tersedia dan berapa jumlah daging sapi yang akan diimpor. Jika mengacu pada data yang non-valid maka yang ada hanya daging yang terus menerus diimpor dan tentu yang diuntungkan adalah importir.
Validitas data akan mudah didapatkan jika ada satu lembaga yang dipercayai dapat mengumpulkan data secara akurat, “one source for all”. Badan Pusat Statistik (BPS) sebetulnya dipersiapkan menjadi lembaga yang memiliki tugas menyiapkan seluruh data di Indonesia. BPS hingga saat ini sebenarnya sudah memberikan kinerja yang baik, akan tetapi harus terus ditingkatkan dengan menyiapkan sumberdaya yang berkualitas agar validitas data dapat dipertanggung jawabkan. Kemampuan BPS dalam memberikan data yang akurat terkait langsung dengan kebijakan strategis perekonomian yang dibuat pemerintah, serta tentu saja berpengaruh pada seluruh stakeholder dari kebijakan yang diambil tersebut.
Kartel
Kartel selalu menjadi pucuk masalah dalam setiap masalah ketersediaan pangan, “hantu perdagangan” yang banyak mengganggu pasar dalam negeri maupun luar negeri. Kartel hingga sekarang tidak dinafikan bahwa mereka selalu “bergentayangan”, dan selalu mengganggu aktifitas perdagangan di Indonesia. Bagi Indonesia, keberadaan kartel di berbagai segmen ekonomi merupakan ekonomi biaya tinggi. Fakta bahwa harga daging sapi di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi/termahal di dunia adalah bukti tak terbantahkan keberadaan kartel ini.
Menghentikan aktifitas kartel seperti berperang di medan laga. Akan sangat susah menyelesaikan persoalan kartel karena perekonomian Indonesia hingga sekarang masih dikuasai oleh para pengusaha yang memiliki kebiasaan kartel dalam berdagang. Bagi mereka, “it’s all about the money”, menuhankan uang dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya walau dengan cara apapun mendapatkannya. Pengusaha dengan tipe seperti ini, tidak akan memperdulikan kesulitan masyarakat yang menjerit akibat kenaikan harga-harga dari produk dan komoditas yang mereka mainkan.
Namun memerangi kartel bukan lah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun bukan pula hal yang mudah mengingat sudah demikian kuatnya pengaruh mereka di lembaga-lembaga pengambil kebijakan perekonomian. Memerangi kartel membutuhkan tekad, keberanian dan kesungguh-sungguhan pemerintah untuk “memberantas” praktik kartel hingga ke hulunya. Bagaimanapun, pemerintah memiliki kuasa untuk mengatur dan memberikan sanksi tegas jika terjadi kartel dalam perekonomian nasional. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus dapat mengarahkan para pedagang menjalankan persaingan usaha yang sehat. Apalagi, dalam perekonomian Indonesia, campur tangan pemerintah sangat dapat dilakukan.
Pada dasarnya, hal ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dimana praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dilarang di Indonesia. Di dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bahkan, UU No. 5 tahun 1999 ini telah melahirkan lembaga anti monopoli yang bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas meminimalisir praktek monopoli dalam perekonomian, sekaligus berwenang menjatuhkan sangsi bagi korporasi yang melanggar etika persaingan usaha.
Pada perdagangan komoditas, praktik monopoli oleh kartel ini terjadi pada tahun 2013 dimana harga Bawang melambung tinggi dimana pada saat itu harga Bawang berada di kisaran harga 50.000/kg – 85.000/kg, bahkan ada pedagang di daerah yang menjual hingga 100.000/kg. Saat itu Kamar Dagang Industri (KADIN) mensinyalir bahwa terjadi praktik kartel pada komoditas Bawang. Bahkan KADIN menginformasikan bahwa terdapat 21 perusahaan importir yang sengaja mempermainkan harga Bawang di Indonesia. Namun nampaknya, peindakan terhadap praktek kartel dan mafioso ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak menimbulkan efek jera, bahkan membuat mafia ekonomi makin merajalela.
Hal ini bukan tidak mungkin terjadi pada daging sapi, di saat masyarakat Indonesian hendak merayakan kemerdekaan dan sebentar lagi akan menghadapi hari raya Idul Qurban yang merefleksikan nilai-nilai pengorbanan, justru masyarakat dibuat tidak “berkutik” dengan “gagal pahamnya” pemerintah dalam mengontrol harga dan stok pangan dalam negeri. Sampai kapan pun, cerdiknya kartel dalam menguasai pasar akan mampu membawa kelompok tersebut dalam menguasai pasar dan memaksimalkan keuntungan dengan cara apapun. Tinggal pemerintah, apa ingin berbenah atau dibenahi? Merdeka!
Penulis adalah Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM dan Staf Ahli DPD RI
Keputusan pemerintah Indonesia untuk mengimpor sapi sebanyak 200 hingga 300 ribu ekor pada tahun 2015 belum lama ini merupakan salah satu langkah menurunkan harga daging sapi di Indonesia. Namun, kebijakan itu tidak selamanya dapat mengeluarkan masyarakat dari persoalan pangan yang hingga kini masih melilit negeri ini. Kebijakan impor pangan, hanyalah solusi instan yang tidak meyelesaikan persoalan hingga ke pangkal permasalahannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan impor hanya salah satu cara menurunkan harga komoditas dalam negeri, namun pada saat yang sama impor yang terus menerus akan menerangkan kepada khalayak bahwa negara ini belum dapat mandiri. Sehingga dapat dipastikan, program swasembada pangan yang menjadi program prioritas pemerintahan sejak dulu, hingga kapan pun tidak akan dapat terealisir.
Realitas yang dihadapi masyarakat sekarang adalah daging sapi mengalami kenaikan harga yang sangat signifikan dan sudah memberatkan masyarakat. Komite Daging Sapi (KDS) Jakarta Raya mengungkapkan penjualan daging sapi di Jakarta menurun hingga 40% akibat meroketnya harga daging sapi hingga Rp 120.000/kg. Pada saat yang sama daya beli masyarakat semakin menurun disebabkan pertumbuhan ekonomi yang semakin melambat.
Menurut perhitungan bahwa kebutuhan daging sapi nasional tahun ini naik 8,5% dibanding tahun lalu menjadi sekitar 640.000 ton. Bahkan, kebutuhan di DKI Jakarta sendiri mencapai 60 ton per hari. Kebutuhan tersebut ternyata tidak mampu dipenuhi produksi sapi di dalam negeri, sebagian kalangan menganggap bahwa untuk memenuhi kebutuhan di atas pemerintah harus melakukan impor daging dalam jumlah yang besar. Kebijakan tersebut ternyata, di sisi lain dipastikan akan mengganggu peternak dalam negeri, bahkan kadang-kadang juga gagal menurunkan harga daging sapi di dalam negeri.
Disamping itu, bagi masyarakat, merupakan sesuatu yang aneh jika kenaikan harga daging sapi terjadi setelah hari raya Idul Fitri. Biasanya pada hari raya itu maupun hari raya-hari raya lainnya tingginya konsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan menjelang lebaran, sehingga langkah apapun dilakukan masyarakat untuk memenuhinya. Sebuah anomali jika harapan pertumbuhan ekonomi pasca bulan Ramadhan itu tinggi, akan tetapi masyarakat “ujug-ujug” dihadapkan dengan kenaikan harga pangan, khususnya harga daging sapi yang meroket pasca hari raya Idul Fitri tahun ini.
Akar masalah dari tahun ke tahun hampir sama, masyarakat menyalahkan pemerintah yang dinilai tidak “becus” membuat kebijakan penetapan harga dalam negeri. Meskipun masyarakat mengenal kebijakan intervensi pemerintah, seperti operasi pasar, untuk menekan kenaikan harga komoditas, namun intervensi tersebut sangat kecil skalanya bahkan hampir tidak terasa. Pada akhirnya masyarakat menyimpulkan bahwa pemerintah sejatinya terlihat tunduk pada kemauan pasar. Pada saat yang sama, mafia impor dalam hal ini mafia impor daging memanfaatkan situasi tersebut untuk menangguk keuntungan.
Kalkulasi Produksi dan Konsumsi
Hinga saat ini kalkulasi kebutuhan daging dalam negeri belum juga jelas. Data kebutuhan daging simpang siur, tidak menunjukkan data yang akurat. Kesiapan data dari Badan Pusat Statistik masih diragukan validitasnya, dan dibarengi dengan kemunculan data-data dari lembaga lain. Padahal daging merupakan komoditas konsumsi utama masyarakat Indonesia, disamping Sembilan kebutuhan pokok yang memang masih dalam pantauan pemerintah. Kenaikan tingkat ekonomi masyarakat belakangan ini, disinyalir membuat kenaikan konsumsi masyarakat pada daging sapi, ikan, telor ayam, dan daging ayam. Komoditas penting seperti daging sapi, seyogyanya mendapat perhatian pemerintah, termasuk dalam hal akurasi data konsumsinya.
Kalkulasi persediaan daging memang harus akurat, karena jika tidak, maka pemerintah tidak dapat menjawab kebutuhan dan ketersediaan daging masa kini dan masa datang. Simpang siurnya data yang ada menyebabkan terjadinya pengambilan kebijakan yang salah oleh pemerintah dan secara langsung tentu rakyat yang kena dampaknya.Kejelasan data produksi dan konsumsi daging dalam negeri akan menjadi alat ukur berapa jumlah sapi dalam negeri yang harus tersedia dan berapa jumlah daging sapi yang akan diimpor. Jika mengacu pada data yang non-valid maka yang ada hanya daging yang terus menerus diimpor dan tentu yang diuntungkan adalah importir.
Validitas data akan mudah didapatkan jika ada satu lembaga yang dipercayai dapat mengumpulkan data secara akurat, “one source for all”. Badan Pusat Statistik (BPS) sebetulnya dipersiapkan menjadi lembaga yang memiliki tugas menyiapkan seluruh data di Indonesia. BPS hingga saat ini sebenarnya sudah memberikan kinerja yang baik, akan tetapi harus terus ditingkatkan dengan menyiapkan sumberdaya yang berkualitas agar validitas data dapat dipertanggung jawabkan. Kemampuan BPS dalam memberikan data yang akurat terkait langsung dengan kebijakan strategis perekonomian yang dibuat pemerintah, serta tentu saja berpengaruh pada seluruh stakeholder dari kebijakan yang diambil tersebut.
Kartel
Kartel selalu menjadi pucuk masalah dalam setiap masalah ketersediaan pangan, “hantu perdagangan” yang banyak mengganggu pasar dalam negeri maupun luar negeri. Kartel hingga sekarang tidak dinafikan bahwa mereka selalu “bergentayangan”, dan selalu mengganggu aktifitas perdagangan di Indonesia. Bagi Indonesia, keberadaan kartel di berbagai segmen ekonomi merupakan ekonomi biaya tinggi. Fakta bahwa harga daging sapi di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi/termahal di dunia adalah bukti tak terbantahkan keberadaan kartel ini.
Menghentikan aktifitas kartel seperti berperang di medan laga. Akan sangat susah menyelesaikan persoalan kartel karena perekonomian Indonesia hingga sekarang masih dikuasai oleh para pengusaha yang memiliki kebiasaan kartel dalam berdagang. Bagi mereka, “it’s all about the money”, menuhankan uang dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya walau dengan cara apapun mendapatkannya. Pengusaha dengan tipe seperti ini, tidak akan memperdulikan kesulitan masyarakat yang menjerit akibat kenaikan harga-harga dari produk dan komoditas yang mereka mainkan.
Namun memerangi kartel bukan lah sesuatu yang tidak mungkin, meskipun bukan pula hal yang mudah mengingat sudah demikian kuatnya pengaruh mereka di lembaga-lembaga pengambil kebijakan perekonomian. Memerangi kartel membutuhkan tekad, keberanian dan kesungguh-sungguhan pemerintah untuk “memberantas” praktik kartel hingga ke hulunya. Bagaimanapun, pemerintah memiliki kuasa untuk mengatur dan memberikan sanksi tegas jika terjadi kartel dalam perekonomian nasional. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus dapat mengarahkan para pedagang menjalankan persaingan usaha yang sehat. Apalagi, dalam perekonomian Indonesia, campur tangan pemerintah sangat dapat dilakukan.
Pada dasarnya, hal ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dimana praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dilarang di Indonesia. Di dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bahkan, UU No. 5 tahun 1999 ini telah melahirkan lembaga anti monopoli yang bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas meminimalisir praktek monopoli dalam perekonomian, sekaligus berwenang menjatuhkan sangsi bagi korporasi yang melanggar etika persaingan usaha.
Pada perdagangan komoditas, praktik monopoli oleh kartel ini terjadi pada tahun 2013 dimana harga Bawang melambung tinggi dimana pada saat itu harga Bawang berada di kisaran harga 50.000/kg – 85.000/kg, bahkan ada pedagang di daerah yang menjual hingga 100.000/kg. Saat itu Kamar Dagang Industri (KADIN) mensinyalir bahwa terjadi praktik kartel pada komoditas Bawang. Bahkan KADIN menginformasikan bahwa terdapat 21 perusahaan importir yang sengaja mempermainkan harga Bawang di Indonesia. Namun nampaknya, peindakan terhadap praktek kartel dan mafioso ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak menimbulkan efek jera, bahkan membuat mafia ekonomi makin merajalela.
Hal ini bukan tidak mungkin terjadi pada daging sapi, di saat masyarakat Indonesian hendak merayakan kemerdekaan dan sebentar lagi akan menghadapi hari raya Idul Qurban yang merefleksikan nilai-nilai pengorbanan, justru masyarakat dibuat tidak “berkutik” dengan “gagal pahamnya” pemerintah dalam mengontrol harga dan stok pangan dalam negeri. Sampai kapan pun, cerdiknya kartel dalam menguasai pasar akan mampu membawa kelompok tersebut dalam menguasai pasar dan memaksimalkan keuntungan dengan cara apapun. Tinggal pemerintah, apa ingin berbenah atau dibenahi? Merdeka!
Penulis adalah Ketua Lembaga Hukum dan HAM DPP IMM dan Staf Ahli DPD RI
No comments