Geliat Dakwah Islam di Pedalaman Baduy
Perkampungan Suku Baduy |
Suku Baduy yang mendiami wilayah selatan Provinsi Banten merupakan suatu kesatuan masyarakat yang terikat oleh kesamaan budaya, bahasa Sunda Badui, hidup berladang atau bercocok tanam, dan memegang teguh agama Sunda Wiwitan. Masyarakat Baduy dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kelompok Baduy Dalam adalah komunitas masyarakat yang menetap di tiga kampung, yaitu Kampung Cibeo, Kampung Cikartawana, dan Kampung Cikeusik. Ketiga kampung tersebut memegang teguh adat dan menolak keras pengaruh luar dibawah kepemimpinan kepala adat yang disebut puun. Sementara Baduy Luar, ialah kampung-kampung lain di kawasan tanah ulayat Baduy yang telah menerima modernisasi, misalnya sudah mengenakan pakaian yang dijahit.
Terbentuknya komunitas suku Baduy berawal dari abad XI dan XII ketika Kerajaan Padjajaran menguasai seluruh tanah Pasundan, dari Banten, Bogor, Priangan hingga Cirebon. Salah satu rajanya yang paling termasyhur adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman alias Prabu Siliwangi. Pada abad XV, Kerajaan Pajajaran terdesak oleh masuknya ajaran Agama Islam yang dibawa saudagar-saudagar Gujarat dan Wali Songo. Sunan Gunung Jati dari Cirebon menyebarkan Islam dari Pantai Utara Jawa sampai ke Selatan, termasuk ke wilayah Banten. Sunan Gunung Jati mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama prajuritnya mengembangkan agama Islam di wilayah Banten. Kekuasaan Senopati Banten saat itu, Prabu Seda, semakin terjepit dan rapuh karena rakyatnya banyak yang masuk Islam.
Akhirnya Prabu Seda bersama punggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta dan memasuki hutan belantara menyelusuri sungai Ciujung sampai hingga ke hulu. Tempat ini mereka namakan Lembur Singkur Mandala Singkah, artinya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang. Di tempat ini terdapat Goa Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan. Diduga, kelompok ini lah yang menjadi cikal bakal masyarakat Baduy Dalam.
Selain itu, beberapa kelompok warga yang melanggar adat dan dibuang Prabu Siliwangi ke daerah tertentu. Kelompok inilah yang kemudian menetap di 27 perkampungan Baduy Panamping (Baduy Luar) di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak.
Terhadap suku Baduy Panamping, pada tahun 1978, pemerintah mengadakan proyek PKMT (pemukiman kembali masyarakat terasing) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar. Proyek ini terus dikembangkan di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar. Suku Baduy Panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim. Kelompok ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang telah menunaikan ibadah Haji.
Dakwah Islam di Pedalaman Baduy
Kedua suku Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar masih jauh dari Islam, karena mereka memegang teguh keyakinan turun-temurun yang memuja kekuatan alam dan arwah leluhur. Meski demikian, bukan berarti dakwah Islam tidak pernah sampai ke sana, disamping upaya beberapa agama lain untuk mengajak warga Suku Baduy memeluk agama monotheis. Cerita panjang tentang masyarakat Baduy ini sebenarnya menjadi bukti bahwa Agama Islam telah lama dikenal oleh masyarakat Baduy. Namun ajaran Islam yang mereka amalkan terkadang masih bercampur dengan animism dan dinamisme dari leluhur.
Praktik hukum Islam pada masyarakat Baduy, khususnya pada Baduy Luar, terlihat dalam hal pernikahan, yaitu pembacaan syahadat, ucapan Muhammad Shalallahu Alaihi Wassaalam, adanya mahar, dan pencatatan nikah oleh KUA. Masyarakat Baduy Dalam belum banyak menyerap hukum Islam di bidang pernikahan, begitu pula dalam hal warisan hanya sebatas pada penyebutkan istilah-istilah dalam warisan, sedangkan pembagiannya masih mengikuti adat kebiasaan mereka yaitu membagi secara adil harta warisan kepada anak laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan terjadi receptive yaitu penyerapan hukum Islam oleh masyarakat adat, namun masyarakat memilih dan menyeleksi hukum Islam tersebut, artinya penerimaan Islam dengan seleksi.
Inilah yang kemudian menjadi tantangan dakwah Islam untuk memperkuat aqidah umat Islam Baduy serta mengamalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Muhammadiyah, Persis, dan Hidayatullah adalah ormas Islam yang memberikan perhatiannya kepada muslim Baduy. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Tabligh dan Dakwah Khususnya (MTDK) secara regular mengutus dai ke pedalaman Baduy untuk melakukan dakwah Islam. Begitu pula komponen umat Islam lainnya, selain dakwah juga kerap menjalankan program pemberdayaan masyarakat bagi suku Baduy.
Setelah dakwah tak kenal lelah selama bertahun-tahun, nampaknya telah menghasilkan perkembangan Islam yang baik. Perlahan-lahan kehidupan keberagamaan Islam di wilayah Baduy semakin berkembang. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya Musholla dan Masjid yang didirikan di beberapa Desa Baduy. Hingga kini, setidaknya telah berdiri 8 Musholla dan Masjid di wilayah tersebut, serta peningkatan kegiatan keIslaman seperti belajar baca Alquran bagi anak-anak Baduy.
Kunjungan dakwah mahasiswa |
Menurut Drs. Fakhrurrazi Reno Sutan, MA, kegiatan wisata dakwah menarik perhatian mahasiswa, karena mereka memperoleh pengalaman nyata tentang kondisi masyarakat Muslim di daerah terpencil. Seluruh peserta dipersiapkan terlebih dahulu melalui pembekalan di kampus sebelum diterjunkan ke wilayah dakwah. Melalui kegiatan seperti itu, diharapkan mahasiswa lebih simpati terhadap mereka yang berusaha menegakkan kebenaran Islam di daerah terpencil, seperti di pedalaman Baduy. Kegiatan tersebut telah diadaptasi menjadi kurikulum Fakultas, dan diharapkan dapat diikuti oleh perguruan tinggi Islam lainnya. (pin, dari berbagai sumber)
No comments