MEA Sudah di Depan Mata
Sekretariat ASEAN di Jakarta |
Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia menyepakati untuk memajukan realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Lalu KTT ASEAN ke-12 pada Januari 2007 menegaskan komitmen untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada akhir tahun 2015 lewat penandatanganan Deklarasi Cebu tentang Percepatan Pembentukan Komunitas ASEAN. Secara khusus, para pemimpin ASEAN bersepakat untuk mempercepat pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015 untuk mengubah ASEAN menjadi daerah dengan perdagangan bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.
Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Nazarudin Malik mengatakan terdapat empat hal yang harus menjadi fokus perhatian dalam pelaksanaan MEA. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal, dan skilled labour menjadi menjadi terintegrasi dan tanpa hambatan dari satu negara ke negara lainnya. Kedua, implementasi MEA akan membuat Asia Tenggara menjadi kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi tinggi, sehingga diperlukan kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, intellectual property rights (IPR), taxation, dan e-commerce.
“Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim persaingan yang adil, perlindungan konsumen, mencegah pelanggaran hak cipta, menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi, menghilangkan sistem double taxation, dan meningkatkan perdagangan berbasis online,” ujar Dekan Fakultas Ekonomi UMM ini.
Ketiga, MEA harus diarahkan untuk menciptakan kawasan dengan perkembangan ekonomi merata, sehingga Usaha Kecil Menengah (UKM) mendapat prioritas. Kemampuan daya saing UKM harus ditingkatkan dengan memfasilitasi mereka terhadap informasi bisnis, kondisi pasar, akses modal, pengembangan sumber daya manusia, keuangan, serta teknologi. Nazar mengingatkan, tanpa penguatan peran UKM, maka upaya distribusi kemakmuran akan terhambat dan persaingan dalam komunitas ekonomi Asean hanya akan melibatkan ekonomi skala besar yang berdampak buruk bagi daya tahan ekonomi nasional dan upaya redistribusi kesejahteraan. Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global sehingga perlu dibangun sistem koordinasi diantara negara-negara anggota. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi keseimbangan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan ekonomi global.
“Diperlukan paket bantuan untuk negara-negara seperti Myanmar dan Timor Leste. Bahkan dalam sektor tertentu yang dianggap tertinggal, negara yang sudah cukup kuat seperti Indonesia juga perlu mendapat perhatian,” papar peraih gelar doktor ekonomi UGM ini.
Tak Terhindarkan
Akhir tahun 2015 tinggal sebentar lagi, sehingga siap tidak siap, Indonesia akan berhadapan dengan pasar bebas di tingkat Asia Tenggara. Hal itu ditegaskan Mukhammad Misbakhun, anggota Komisi XI DPR yang membidangi Keuangan dan Perbankan. Misbakhun mengingatkan MEA hanya lah sekedar seremony, karena produk dan jasa yang akan ambil bagian dalam MEA sudah lama masuk ke Indonesia. “Harusnya kita tidak perlu hawatir, justru ini kesempatan Indonesia untuk unjuk gigi di tingkat regional. MEA bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk menjadi pemimpin ekonomi kawasan,” ujar politisi asal Pasuruan, Jawa Timur ini.
Misbakhun mengatakan Indonesia harus percaya diri menghadapi pasar tunggal Asia Tenggara. Meskipun masih banyak kekurangan, namun rasa optimisme akan mengurangi gap dengan negara lain. “Rakyat Indonesia harus memandang integrasi ekonomi kawasan Asean sebagai peluang, bukan momok menakutkan. Meskipun dalam beberapa hal kita masih berbenah, namun modal sumber daya alam dan besarnya pasar Indonesia merupakan kekuatan untuk bersaing. Terkait permodalan, lembaga keuangan dan perbankan juga patut mendorong kesiapan industri dan bisnis menyongsong pelaksanaan MEA,” ujarnya.
Edy Putra Irawady |
Deputi V (Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Edy Putra Irawady mengatakan pemerintah sudah bekerja keras untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi komunitas ekonomi Asean. Pemerintah berupaya memperkuat integrasi ekonomi domestik, menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan, dan mengembangkan daya saing global secara holistik dan komprehensif.
“Jadi, kita siap secara sumber daya manusia dan kemampuan dunia usaha lewat upaya scale-up dan upgrading korporasi nasional dan UKM. Kita terus berupaya mendorong massifikasi usahawan baru, juga mendorong usahawan yang sudah eksis jangan numpuk di mikro dengan ladang bisnis level lokal aja, namun secara simultan meningkatkan daya saing produk barang dan jasa agar bisa bersaing di pasar internasional, minimal di kawasan Asean,” ujar Edy Putra.
Edy Putra Irawady juga mengungkapkan, Indonesia secara geo politik dan geo ekonomi memiliki keunggulan dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, yaitu Indonesia merupakan benua bahari yang memiliki modal dasar, baik dari besaran ekonomi maupun faktor-faktor keunggulan komparatif yang perlu dikoversi menjadi keunggulan kompetitif yaitu SDM, SDA, negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia dengan hubungan internasional yang kondusif, serta letak geografis Indonesia yang merupakan titik logistik dalam perniagaan dunia, karena berapa di antara 2 benua dn 2 samudera.
“Namun demikian, kita masih menghadapi beberapa pekerjaan rumah, yaitu memperkuat ketahanan pangan, ketahanan energi, infrastruktur, dan pemerataan kegiatan ekonomi,” tutur Deputi Menko Perekonomian asal Jambi ini.
Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia
Komunitas ekonomi Asean, berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian. MEA merupakan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN. Idealitas konsep tersebut, tentu tidak semuanya bisa kita yakini dari implementasi pasar bebas Asean sehingga diperlukan penelaahan menyeluruh atas peluang dan tantangan bagi Indonesia.
Bagi Indonesia, ketiadaan hambatan perdagangan merupakan kesempatan baik karena akan berdampak langsung pada peningkatan nilai eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Meski demikian, Indonesia juga perlu mencermati tantangan perdagangan seperti homogenitas komoditas yang diperjualbelikan. Diversifikasi diperlukan agar komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan bahan tambang tidak menjadi tumpuan satu-satunya. Terdapat competition risk dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang dapat mengancam eksistensi industri lokal. Kemampuan bersaing produk-produk lokal ini merupakan kunci untuk menghindarkan kemungkinan bertambahnya defisit neraca perdagangan Indonesia.
Pada sisi investasi, MEA akan mendorong masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia dan akses ke pasar dunia. Namun, kondisi tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Resiko eksploitasi ini juga disebabkan lemahnya regulasi dan bisa saja menimbulkan tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam oleh perusahaan asing, dan merusak ekosistem di Indonesia. Lemahnya regulasi di bidang investasi melemahkan kemampuan Indonesia untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan sumber daya alam.
Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan besar bagi para pencari kerja karena ketersediaan lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan keahlian. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan tanpa hambatan. MEA juga bisa menjadi kesempatan bagus bagi wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai kriteria yang diinginkan. Namun, hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia, karena dari sisi pendidikan, keahlian, dan produktivitas, tenaga kerja Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand. Begitu pula fondasi industri Indonesia masih berada di peringkat keempat diantara negara-negara ASEAN.
Melalui MEA, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia ternyata juga memiliki tantangan atau resiko bila MEA diimplementasikan. (big T)
No comments