Mengapa OKP Bentrok?
Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Kamis pekan lalu seorang jurnalis bertanya kepada saya. “Terjadi lagi bentrok antara dua anggota OKP. Apa penyebab rentetan kejadian ini pak?”, begitu bunyi pertanyaan jurnalis itu. Sebelumnya, dua orang jurnalis dari media yang berbeda menanyakan tentang ritus tahunan corat-coret pakaian seragam dan cet warna-warni rambut usai Ujian Nasional.
Tentu kedua kejadian itu berbeda. Corat-coret pakaian seragam khas anak SLTA yang sudah menjadi rutinitas tahunan itu masuk dalam kategori kenalakan remaja saja, tak begitu serius dampaknya dan hanya melibatkan mereka dalam usia sangat belia dan pada satu momentum yang tak terulangi. Bahkan jika di antara mereka ada kenikmatan khusus mencet rambut dengan warna-warni pilihan mereka, itu hanya beda selera dengan orang-orang tua yang tak rela diposisikan setua usianya dengan mencet rambutnya hitam kembali. Titik sampai di situ.
Sedangkan bentrok antar OKP sangat serius. Betul-betul sangat serius. Ini menyangkut masa depan sebuah bangsa. Karena jika OKP itu adalah wadah berkumpul anak-anak muda, maka anak muda yang dalam budaya organisasinya telah terlembaga toleransi yang luas terhadap kekerasan, sesungguhnya ancaman besar sedang menghadang sebuah bangsa. Makin banyak OKP yang memiliki kecenderungan tradisi yang sama, makin lestari kebiasaan (tradisi) itu, maka makin pelik persoalan bangsa ke depan. Sebab kecenderungan mentalitas yang sangat pro pendekatan fasis dalam mencari solusi berbagai kesulitan yang dihadapinya, bukanlah suatu tradisi yang baik untuk persemaian pemimpin masa depan. Dengan budaya kekerasan itu bukan mereka yang menjadi aktivis OKP itu saja yang dapat terancam rusak, melainkan kebiasaan yang menjadi tontonan dan di tengah vakumnya penegakan hukum terhadap hal serupa ini sulit tak melukiskannya sebagai fakta sempitnya wawasan masa depan yang dimiliki oleh sebuah bangsa dan ketidak-mampuan bangsa itu mengidentifikasi agenda masa depannya sendiri.
Sebutlah globalisasi yang menagih kesiapan tidak hanya skill di tengah arus barang, jasa dan manusia tanpa batasan berarti. Sekiranya optimisme dunia kini sudah memetakan ekonomi Indonesia begitu signifikan dalam pertumbuhan global ke depan, tentu itu bermakna bahwa Indonesia yang dimaksud bukanlah dengan partisipasi warga negaranya sebagai pelaku, melainkan kurang lebih hanya sebagai faktor penyumbang dalam posisi sebagai buruh kasar belaka. Akhirnya mekanisme ini hanyalah sebuah proses penjajahan gaya baru dalam era neo-liberalisme yang dikendalikan kekuatan negara-negara besar. Negara lemah seperti Indonesia tak berdaya menolak itu, karena kekuatan dunia memosisikannya at the point of no return.
Perlu Mengenali Akar Masalah
Dengan pertanyaan yang diajukannya kepada saya, berarti jurnalis itu amat tidak puas dengan penjelasan yang ia temukan di lapangan. Saya sangat setuju dengan jurnalis itu. Betul ada faktor pemicu yang lazimnya berkat publikasi media akhirnya secara luas diketahui oleh halayak. Misalnya, konvoi satu OKP berseragam lengkap dilempari atau dihadang di daerah tertentu sebelum tiba atau setelah kembali dari tujuan. Atau, beradu fisik secara massal dengan menggunaan benda-benda keras (batu, kayu balok, senjata tajam, dan lain-lain) di sebuah wilayah ekonomi tertentu. Dengan membaca keterangan awal kejadian yang remeh temeh, misalnya saling lirik dan lalu saling memaki, orang begitu sukar untuk dapat memahami mengapa faktor sesepele itu dua kelompok merelakan pengorbanan luar biasa seperti halnya para pejuang kemerdekaan tempohari merelakan jiwa dan raga untuk negeri yang dicintainya.
Karena itulah faktor yang paling mendasar harus ditemukan. Kita tahu berita-berita investigatif sangat membantu menyelesaikan masalah, karena tak semata-mata bersandar pada data sekunder dari pihak pemegang otoritas tertinggi pada bidangnya yang mungkin sudah menukangi sendiri untuk kepentingan tertentu (media framing). Pemberitaan tentang narkoba misalnya, keseluruhannya hingga kini pastilah didominasi oleh sumber tunggal: Kepolisian. Mereka memang sangat rajin melakukan konferensi pers saat “berhasil” menangkap seseorang atau sekelompok orang yang berurusan dengan bahan berbahaya itu. Sedangkan media pada umumnya tidak berusaha menginvestigasi sendiri permasalahan sehingga memiliki sumber, data dan berita sendiri dengan akuraditas yang lebih baik. Akibatnya hal-ihwal narkoba tidak tergambarkan apa adanya. Jika ada hal terpenting yang wajib dicatat di sini, ialah adanya usaha memproduksi seruan demi seruan, agar orang menjauhi narkoba. Padahal barangnya sangat tersedia di mana saja.
Pertama, memutus tradisi militer oriented. Siapa mengizinkan OKP memakai seragam mirip militer? Bagaimana pandangan hukum terhadap hal ini? Di balik seragam militer secara psikologis ada perasaan melebihi kewajaran dalam bersikap dan berperilaku sebagai warga negara. Ada perasaan menjadi wajar berada di atas hukum, mendapat perlakuan istimewa dan menjadi bagian penting dari penentu sebuah kebijakan. Mencari akar sejarah tradisi ini harus diperiksa jauh ke belakang.
Ada catatan tentang model-model mobilisasi dalam setiap gerakan sosial yang terjadi di Indonesia dalam kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan maupun sesudahnya. TNI sendiri adalah kekuatan rakyat yang belakangan ditata dengan modifikasi berdasarkan teori dan pengalaman militer berbagai negara di dunia. Gerilya misalnya, adalah kekuatan utama perlawanan pada zamanya, yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari rakyat. TNI sendiri selalu mengaku dari rakyat untuk rakyat. Kini orang sudah semakin sadar atas fakta-fakta dunia bahwa dimana saja kehidupan sebuah negara dikendalikan militer, tak dapat dinafikan negara-bangsa itu berada dalam keterbelakangan yang tak semestinya.
Tetapi TNI sebagai kekuatan terpenting dalam urusan pertahanan dan bela negara, mestilah terus-menerus diusahakan untuk secara konsisten ditempatkan pada ranah tugasnya secara khusus dan tidak memiliki interseksi tugas dengan dunia sipil murni atau dunia sipil yang menerjemahkan diri secara sepihak sebagai quasi militer dengan keinginan perlakuan istimewa di hadapan negara. Satu hal yang selalu harus diingat, bahwa dalam kelaziman kaburnya batas-batas profesionalitas, domain tugas dan identitas kemiliteran dalam sebuah negara, hal itu pasti menyumbang terhadap sulitnya membangun kekuatan militer yang dapat diandalkan untuk menjaga secara sungguh-sungguh tanah tumpah darahnya.
Kedua, model pembangunan ekonomi. Indonesia dikendalikan oleh penguasa ekonomi yang di dalamnya pemerintahan dianggap hanya sebagai alat dan bahkan kaki-tangan belaka. Sudah begitu, belakangan semakin dikukuhkan lagi dengan regulasi yang berbiaya mahal di lembaga legislatif. Kesenjangan yang bersumber dari tiga faktor utama (transaksi buruh-majikan, transaksi pusat-daerah, dan transaksi negara dan multi national corporations) dikukuhkan melalui regulasi yang kuat oleh pemerintahan yang memilih peran hanya sebagai komprador.
Dalam iklim kesenjangan yang parah, orang-orang kaya dalam sebuah negeri yang rusak parah akan selalu berusaha menjaga kekayaan dan usaha-usahanya dengan menyisihkan recehan dari tabungan atau keuntungan produksinya yang berlimpah. Ia pasti akan membangun hegemoni, dan penindasan demi penindasan akan menjadi pola mainstream yang mensahkan segala bentuk kecerobohan melanggar hukum. Para anak muda yang tak tentu arah dalam pengangguran terbuka dan massal, pasti memilih apa saja meskipun kerap tanpa mempertimbangkan harga diri, asalkan ada reward material seberapa pun itu. Tajamnya pisau dan peluru tak menjadi sesuatu yang begitu menciutkan nyali berhadapan dengan tajamnya perut yang keroncongan.
Dalam dunia sosial ada ketokohan yang terlanjur dipuja ketika seseorang tersiar sebagai pelaku kontroversial dalam kriminal atau hal-hal yang mirip dengan itu. Tentu ini hanya dapat diterangkan melalui penguraian kompleksitas nilai yang menyejarah. Memang dalam catatan para sejarawan fenomena banditisme tidak jarang berawal dari fakta penentangan terhadap kekuatan dominan (pemerintah) sebagaimana Jiih, Si Pitung, Naga Bonar, dan bahkan Robinhood, Zorro, dan lain-lain.
Saya ingin mengatakan bahwa selain faktor sejarah yang erat kaitannya dengan model-model mobilisasi sosial, ekonomilah yang menjadi faktor utama. Seseorang pekerja yang baik pastilah akan mengutamakan pekerjaannya ketimbang aktivitas lain, termasuk aktivitas OKP. Meski pun begitu, tentu ada saja orang yang menggunakan OKP sebagai back up dalam pekerjaan. Hal terakhir itu karena hukum telah menjadi mata dagangan resmi meski berlangsung gelap. Menggunakan OKP sebagai pressure politik untuk kepentingan ekonomi tentu saja hanya dapat berlangsung di negara yang hukum hanya dianggap mainan. Itu pasti.
Ketiga, hubungan sosiometrik. Disadari atau tidak, ada pola hubungan sosiometrik antar OKP yang menunjukkan tingkat intimcy dan kerenggangan atau bahkan ketegangan yang saling berbeda antara satu dengan yang lain. Ada faktor historis yang bekerja dalam hal ini.
Sesama OKP yang relatif memiliki kekuatan seimbang terdapat peluang terjadinya kekerapan bentrok hanya karena mereka memiliki rivalitas dalam aktualisasi diri. Bentrok tak hanya disebabkan oleh masalah besar, tetapi kerap oleh hal remeh temeh. Itu dimungkinkan oleh peta sosiometrik tadi dan aspek kesejarahan hubungan. Tetapi Anda dapat memastikan sekarang juga, bahwa jika orientasi OKP ini bergeser ke arah lain, misalnya tidak terkait sama sekali dengan kepentingan politik dan ekonomi tertentu yang sangat sempit, maka sukar dibayangkan akan ada sebuah peluang mereka bentrok. Mereka akan suka-rela menguras energinya untuk mempersiapkan diri sebagai pelaku utama dalam perkembangan dunia, dan menggeser tarung fisiknya menjadi tarung gagasan.
Penutup
Apa yang sudah kita ketahui tentang masalah kepemudaan di Indonesia? Apa agenda nasional untuk itu? Bagaimana realitas kepemudaan sehari-hari? Dalam pandangan saya semua menunjukkan kegagalan negara mendistribusi keadilan (ekonomi) ditambah dengan faktor-faktor lain yang sangat serius.
Melihat keseriusan permasalahan Indonesia ke depan, mau tidak mau Indonesia harus memikir-ulang secara filosofis peran pemudanya dan pola-pola pembinaannya dengan tak hanya cukup puas dan tepuk-tepuk dada setelah berhasil membuat UU tentang Kepemudaan. Ini sangat mencemaskan.
Besok pagi, tolong tanyakan kepada anak lelaki Anda, setelah ia bangun, akan menjadi apa ia kelak dalam cita-citanya. Jika ia mengatakan bahwa ia akan menjadi ketua OKP, intervensilah cita-cita itu dengan menegaskan “bawalah negara dan bangsamu ke pentas dunia yang bersaing dan unggul dalam peradaban, ekonomi dan teknologi”.
Penulis adalah Koordinator Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Kamis pekan lalu seorang jurnalis bertanya kepada saya. “Terjadi lagi bentrok antara dua anggota OKP. Apa penyebab rentetan kejadian ini pak?”, begitu bunyi pertanyaan jurnalis itu. Sebelumnya, dua orang jurnalis dari media yang berbeda menanyakan tentang ritus tahunan corat-coret pakaian seragam dan cet warna-warni rambut usai Ujian Nasional.
Tentu kedua kejadian itu berbeda. Corat-coret pakaian seragam khas anak SLTA yang sudah menjadi rutinitas tahunan itu masuk dalam kategori kenalakan remaja saja, tak begitu serius dampaknya dan hanya melibatkan mereka dalam usia sangat belia dan pada satu momentum yang tak terulangi. Bahkan jika di antara mereka ada kenikmatan khusus mencet rambut dengan warna-warni pilihan mereka, itu hanya beda selera dengan orang-orang tua yang tak rela diposisikan setua usianya dengan mencet rambutnya hitam kembali. Titik sampai di situ.
Sedangkan bentrok antar OKP sangat serius. Betul-betul sangat serius. Ini menyangkut masa depan sebuah bangsa. Karena jika OKP itu adalah wadah berkumpul anak-anak muda, maka anak muda yang dalam budaya organisasinya telah terlembaga toleransi yang luas terhadap kekerasan, sesungguhnya ancaman besar sedang menghadang sebuah bangsa. Makin banyak OKP yang memiliki kecenderungan tradisi yang sama, makin lestari kebiasaan (tradisi) itu, maka makin pelik persoalan bangsa ke depan. Sebab kecenderungan mentalitas yang sangat pro pendekatan fasis dalam mencari solusi berbagai kesulitan yang dihadapinya, bukanlah suatu tradisi yang baik untuk persemaian pemimpin masa depan. Dengan budaya kekerasan itu bukan mereka yang menjadi aktivis OKP itu saja yang dapat terancam rusak, melainkan kebiasaan yang menjadi tontonan dan di tengah vakumnya penegakan hukum terhadap hal serupa ini sulit tak melukiskannya sebagai fakta sempitnya wawasan masa depan yang dimiliki oleh sebuah bangsa dan ketidak-mampuan bangsa itu mengidentifikasi agenda masa depannya sendiri.
Sebutlah globalisasi yang menagih kesiapan tidak hanya skill di tengah arus barang, jasa dan manusia tanpa batasan berarti. Sekiranya optimisme dunia kini sudah memetakan ekonomi Indonesia begitu signifikan dalam pertumbuhan global ke depan, tentu itu bermakna bahwa Indonesia yang dimaksud bukanlah dengan partisipasi warga negaranya sebagai pelaku, melainkan kurang lebih hanya sebagai faktor penyumbang dalam posisi sebagai buruh kasar belaka. Akhirnya mekanisme ini hanyalah sebuah proses penjajahan gaya baru dalam era neo-liberalisme yang dikendalikan kekuatan negara-negara besar. Negara lemah seperti Indonesia tak berdaya menolak itu, karena kekuatan dunia memosisikannya at the point of no return.
Perlu Mengenali Akar Masalah
Dengan pertanyaan yang diajukannya kepada saya, berarti jurnalis itu amat tidak puas dengan penjelasan yang ia temukan di lapangan. Saya sangat setuju dengan jurnalis itu. Betul ada faktor pemicu yang lazimnya berkat publikasi media akhirnya secara luas diketahui oleh halayak. Misalnya, konvoi satu OKP berseragam lengkap dilempari atau dihadang di daerah tertentu sebelum tiba atau setelah kembali dari tujuan. Atau, beradu fisik secara massal dengan menggunaan benda-benda keras (batu, kayu balok, senjata tajam, dan lain-lain) di sebuah wilayah ekonomi tertentu. Dengan membaca keterangan awal kejadian yang remeh temeh, misalnya saling lirik dan lalu saling memaki, orang begitu sukar untuk dapat memahami mengapa faktor sesepele itu dua kelompok merelakan pengorbanan luar biasa seperti halnya para pejuang kemerdekaan tempohari merelakan jiwa dan raga untuk negeri yang dicintainya.
Karena itulah faktor yang paling mendasar harus ditemukan. Kita tahu berita-berita investigatif sangat membantu menyelesaikan masalah, karena tak semata-mata bersandar pada data sekunder dari pihak pemegang otoritas tertinggi pada bidangnya yang mungkin sudah menukangi sendiri untuk kepentingan tertentu (media framing). Pemberitaan tentang narkoba misalnya, keseluruhannya hingga kini pastilah didominasi oleh sumber tunggal: Kepolisian. Mereka memang sangat rajin melakukan konferensi pers saat “berhasil” menangkap seseorang atau sekelompok orang yang berurusan dengan bahan berbahaya itu. Sedangkan media pada umumnya tidak berusaha menginvestigasi sendiri permasalahan sehingga memiliki sumber, data dan berita sendiri dengan akuraditas yang lebih baik. Akibatnya hal-ihwal narkoba tidak tergambarkan apa adanya. Jika ada hal terpenting yang wajib dicatat di sini, ialah adanya usaha memproduksi seruan demi seruan, agar orang menjauhi narkoba. Padahal barangnya sangat tersedia di mana saja.
Pertama, memutus tradisi militer oriented. Siapa mengizinkan OKP memakai seragam mirip militer? Bagaimana pandangan hukum terhadap hal ini? Di balik seragam militer secara psikologis ada perasaan melebihi kewajaran dalam bersikap dan berperilaku sebagai warga negara. Ada perasaan menjadi wajar berada di atas hukum, mendapat perlakuan istimewa dan menjadi bagian penting dari penentu sebuah kebijakan. Mencari akar sejarah tradisi ini harus diperiksa jauh ke belakang.
Ada catatan tentang model-model mobilisasi dalam setiap gerakan sosial yang terjadi di Indonesia dalam kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan maupun sesudahnya. TNI sendiri adalah kekuatan rakyat yang belakangan ditata dengan modifikasi berdasarkan teori dan pengalaman militer berbagai negara di dunia. Gerilya misalnya, adalah kekuatan utama perlawanan pada zamanya, yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari rakyat. TNI sendiri selalu mengaku dari rakyat untuk rakyat. Kini orang sudah semakin sadar atas fakta-fakta dunia bahwa dimana saja kehidupan sebuah negara dikendalikan militer, tak dapat dinafikan negara-bangsa itu berada dalam keterbelakangan yang tak semestinya.
Tetapi TNI sebagai kekuatan terpenting dalam urusan pertahanan dan bela negara, mestilah terus-menerus diusahakan untuk secara konsisten ditempatkan pada ranah tugasnya secara khusus dan tidak memiliki interseksi tugas dengan dunia sipil murni atau dunia sipil yang menerjemahkan diri secara sepihak sebagai quasi militer dengan keinginan perlakuan istimewa di hadapan negara. Satu hal yang selalu harus diingat, bahwa dalam kelaziman kaburnya batas-batas profesionalitas, domain tugas dan identitas kemiliteran dalam sebuah negara, hal itu pasti menyumbang terhadap sulitnya membangun kekuatan militer yang dapat diandalkan untuk menjaga secara sungguh-sungguh tanah tumpah darahnya.
Kedua, model pembangunan ekonomi. Indonesia dikendalikan oleh penguasa ekonomi yang di dalamnya pemerintahan dianggap hanya sebagai alat dan bahkan kaki-tangan belaka. Sudah begitu, belakangan semakin dikukuhkan lagi dengan regulasi yang berbiaya mahal di lembaga legislatif. Kesenjangan yang bersumber dari tiga faktor utama (transaksi buruh-majikan, transaksi pusat-daerah, dan transaksi negara dan multi national corporations) dikukuhkan melalui regulasi yang kuat oleh pemerintahan yang memilih peran hanya sebagai komprador.
Dalam iklim kesenjangan yang parah, orang-orang kaya dalam sebuah negeri yang rusak parah akan selalu berusaha menjaga kekayaan dan usaha-usahanya dengan menyisihkan recehan dari tabungan atau keuntungan produksinya yang berlimpah. Ia pasti akan membangun hegemoni, dan penindasan demi penindasan akan menjadi pola mainstream yang mensahkan segala bentuk kecerobohan melanggar hukum. Para anak muda yang tak tentu arah dalam pengangguran terbuka dan massal, pasti memilih apa saja meskipun kerap tanpa mempertimbangkan harga diri, asalkan ada reward material seberapa pun itu. Tajamnya pisau dan peluru tak menjadi sesuatu yang begitu menciutkan nyali berhadapan dengan tajamnya perut yang keroncongan.
Dalam dunia sosial ada ketokohan yang terlanjur dipuja ketika seseorang tersiar sebagai pelaku kontroversial dalam kriminal atau hal-hal yang mirip dengan itu. Tentu ini hanya dapat diterangkan melalui penguraian kompleksitas nilai yang menyejarah. Memang dalam catatan para sejarawan fenomena banditisme tidak jarang berawal dari fakta penentangan terhadap kekuatan dominan (pemerintah) sebagaimana Jiih, Si Pitung, Naga Bonar, dan bahkan Robinhood, Zorro, dan lain-lain.
Saya ingin mengatakan bahwa selain faktor sejarah yang erat kaitannya dengan model-model mobilisasi sosial, ekonomilah yang menjadi faktor utama. Seseorang pekerja yang baik pastilah akan mengutamakan pekerjaannya ketimbang aktivitas lain, termasuk aktivitas OKP. Meski pun begitu, tentu ada saja orang yang menggunakan OKP sebagai back up dalam pekerjaan. Hal terakhir itu karena hukum telah menjadi mata dagangan resmi meski berlangsung gelap. Menggunakan OKP sebagai pressure politik untuk kepentingan ekonomi tentu saja hanya dapat berlangsung di negara yang hukum hanya dianggap mainan. Itu pasti.
Ketiga, hubungan sosiometrik. Disadari atau tidak, ada pola hubungan sosiometrik antar OKP yang menunjukkan tingkat intimcy dan kerenggangan atau bahkan ketegangan yang saling berbeda antara satu dengan yang lain. Ada faktor historis yang bekerja dalam hal ini.
Sesama OKP yang relatif memiliki kekuatan seimbang terdapat peluang terjadinya kekerapan bentrok hanya karena mereka memiliki rivalitas dalam aktualisasi diri. Bentrok tak hanya disebabkan oleh masalah besar, tetapi kerap oleh hal remeh temeh. Itu dimungkinkan oleh peta sosiometrik tadi dan aspek kesejarahan hubungan. Tetapi Anda dapat memastikan sekarang juga, bahwa jika orientasi OKP ini bergeser ke arah lain, misalnya tidak terkait sama sekali dengan kepentingan politik dan ekonomi tertentu yang sangat sempit, maka sukar dibayangkan akan ada sebuah peluang mereka bentrok. Mereka akan suka-rela menguras energinya untuk mempersiapkan diri sebagai pelaku utama dalam perkembangan dunia, dan menggeser tarung fisiknya menjadi tarung gagasan.
Penutup
Apa yang sudah kita ketahui tentang masalah kepemudaan di Indonesia? Apa agenda nasional untuk itu? Bagaimana realitas kepemudaan sehari-hari? Dalam pandangan saya semua menunjukkan kegagalan negara mendistribusi keadilan (ekonomi) ditambah dengan faktor-faktor lain yang sangat serius.
Melihat keseriusan permasalahan Indonesia ke depan, mau tidak mau Indonesia harus memikir-ulang secara filosofis peran pemudanya dan pola-pola pembinaannya dengan tak hanya cukup puas dan tepuk-tepuk dada setelah berhasil membuat UU tentang Kepemudaan. Ini sangat mencemaskan.
Besok pagi, tolong tanyakan kepada anak lelaki Anda, setelah ia bangun, akan menjadi apa ia kelak dalam cita-citanya. Jika ia mengatakan bahwa ia akan menjadi ketua OKP, intervensilah cita-cita itu dengan menegaskan “bawalah negara dan bangsamu ke pentas dunia yang bersaing dan unggul dalam peradaban, ekonomi dan teknologi”.
Penulis adalah Koordinator Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
No comments