Header Ads


  • Breaking News

    MEA Ditabuh, Indonesia Untung atau Buntung?

    Asean Free Trade Area (AFTA) atau lebih dikenal dengan komunitas ekonomi Asean (MEA) sudah di depan mata. Banyak peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam pasar tunggal Asia Tenggara nanti, tentu menjadi tantangan pula bagi perusahaan dalam negeri untuk mengoptimalkan sumber daya, kinerja, sistem manajemen, dan teknologi informasi. Kesepakatan pemimpin negara-negara Asean untuk mentransformasikan wilayah Asean menjadi kawasan bebas aliran barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja, niscaya memaksa perusahaan-perusahaan Indonesia untuk turut mengglobal dan meningkatkan daya saing di kawasan Asean.


    Jamalul Izza
    Menurut Sekretaris Dirjen Kerjasama Asean Kemenlu RI, Iwan Suyudhie Amri, MEA sejatinya merupakan kesepakatan diantara negara-negara Asean untuk membentuk kawasan bebas perdagangan. Tujuan utamanya untuk meningkatkan daya saing bisnis dan ekonomi Asean di kancah dunia. Impiannya adalah, jika MEA sukses, negara-negara Asean bisa menjadi basis produksi industri dunia seperti China. Kebijakan perdagangan bebas ini meniadakan hambatan perdagangan, dengan biaya masuk hanya dikisaran 0-5% saja, atau hambatan non-tarif melalui skema Common Effective Preferential Tariffs (CEPT). 

    “Skema ini dibuat untuk mewujudkan zona perdagangan bebas dengan penurunan tarif hingga 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non-tarif lainnya,” kata Iwan.
     

    Terakhir, sudah enam Negara yang menyatakan komitmen pada kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang, yaitu Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand. Sedangkan Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam segera menyusul. Dengan adanya kebijakan terkait MEA, tentu muncul analisa terkait peluang dan tantangan yang akan dihadapi Indonesia, khususnya di sisi bisnis dan perdagangan.
     

    Pertanyaannya, sudah siapkah kita? Akankah kita memperoleh keuntungan dari pasar bebas kawasan? Atas pertanyaan tersebut, perlu ditelisik tantangan dalam MEA, karena dengan mengetahuinya, kita bisa menerka jawaban, akankah Indonesia untung atau buntung dalam pasar tunggal Asean.
     

    Tantangan Inovasi Teknologi
     

    Pasar bebas kawasan menjadi tantangan serius bagi perusahaan dalam mengoptimalisasi teknologi, termasuk teknologi informasi. Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Jamalul Izza mengungkapkan bahwa sebelum MEA dimulai saja, perusahaan teknologi dunia telah memasuki pasar Indonesia. “Perusahaan asing sudah mulai bikin warehouse di sini, produk e-commerce mereka membanjiri pasar domestik, ini telah jadi ancaman bagi perusahaan kita. Misalnya, aplikasi Uber yang mengusik pengusaha angkutan dan sopir taksi merupakan contoh nyata,” ujar Jamal.
     

    Menurut Jamal, tantangan ini makin intens karena belum semua perusahaan di Indonesia menyadari pentingnya inovasi perangkat mobile, jejaring sosial, analisis data, dan komputasi. Perusahaan Indonesia perlu memprioritaskan upaya inovasi teknologi informasi agar memiliki daya saing, atau setidaknya mempertahankan pasar. “Syukurnya, belakangan ini para pengambil keputusan sudah mulai mengeksplorasi infrastruktur teknologi. Barangkali karena melihat tren bisnis makin personal dan mobile, menggunakan perangkat analisis canggih. Perusahaan Indonesia harus bergerak, jangan menunggu, karena MEA sudah tinggal hitungan hari,” tegas anak muda kelahiran Aceh ini.
     

    Tantangan Perdagangan

    Pengamat ekonomi, Ichsanudin Noorsy menyebut, sudah bukan rahasia bahwa Indonesia masih berpredikat sebagai negara pengimpor, alih-alih pengekspor. Mengapa Indonesia masih sebatas pasar bagi produk asing? Menurut Ikhsan, ada tiga alasan: Pertama, karena penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa merupakan 39% dari total penduduk ASEAN, dimana 100 juta jiwa termasuk kategori kelas menengah dan merupakan pasar yang menggiurkan bagi negara-negara lain. Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2014 sebesar 10.543,7 trilyun rupiah juga merupakan 40,3% PDB total negara-negara ASEAN. Ini merupakan indikasi bahwa Indonesia merupakan pasar potensial yang luar biasa besar. Ketiga, masyarakat kelas menengah Indonesia dikenal sangat konsumtif.
     

    “Misalnya, rata-rata masyarakat menengah Indonesia memiliki lebih dari satu smartphone atau tablet, berbeda dengan masyarakat Jepang yang terkenal hemat. Sehingga bisa dimengerti jika Indonesia selalu mengalami defisit neraca perdagangan dengan negara-negara ASEAN sejak 2005,” tandas pengamat kritis ini.
     

    Menurut Ikhsanudin, sebetulnya, pekerjaan rumah bagi pengusaha Indonesia adalah bagaimana memenangkan preferensi pasar atas produk asli Indonesia, baik di pasar domestik, ASEAN, maupun internasional. Pengusaha dan produsen Indonesia dituntut terus menerus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara efektif dan maksimal. Kualitas produk Indonesia akan diuji dan perusahaan Indonesia harus menggeser pola pikir dari “product oriented” menjadi “customer oriented” untuk memenangkan preferensi pasar.
     

    Tantangan UKM
     

    Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan komponen usaha yang paling banyak menjadi sorotan terkait kesiapannya menghadapi komunitas ekonomi Asean. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bidang UKM dan Koperasi, Erwin Aksa mengungkapkan pelaku bisnis UKM siap menghadapi MEA. Namun demikian, Erwin menggarisbawahi bahwa kesiapan itu harus ditopang oleh dua agenda besar yang belum optimal, yaitu pembiayaan dan akses pasar dan teknologi.
     

    “Dua agenda tersebut harus menjadi prioritas pemerintah dan dunia usaha, karena tanpa topangan pembiayaan melalui perbankan dan fasilitas kredit pemerintah seperti KUR, UKM kita jalan di tempat. Begitu pula akses pada pasar dan pemanfaatan teknologi, merupakan syarat mutlak agar UKM bisa bersaing, bahkan menjadi backbone perekonomian nasional dalam MEA,’ tegas mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini.
     

    Sementara itu, Ibrahim Hasan, Kepala Bagian Pengembangan Kewirausahaan Kemenko Perekonomian, mengatakan fenomena dan fakta di berbagai negara menunjukan korelasi antara kontribusi wirausaha terhadap pendapatan perkapita sangat signifikan, misalnya jumlah wirausaha di Amerika Serikat sebanyak 11,5%-12% dari jumlah penduduk dan pendapatan perkapita negara tersebut adalah sebesar USD 47.140, Jepang sebesar 11% dan pendapatan perkapitanya USD 42.150, Malaysia sebanyak 3% dan pendapatan perkapitanya USD 7.900, sementara di Indonesia sebanyak 1,56% dan pendapatan perkapitanya pada tahun 2013 sebesar USD 3.816.
     

    Dengan demikian, ujar Ibrahim untuk mendorong pendapatan perkapita, perlu percepatan pengembangan wirausaha nasional yang ditargetkan pada tahun 2015 bisa mencapai sekitar 2,5% dari jumlah penduduk atau sebanyak 6.13 juta orang, tumbuh dari angka wirausaha mapan di Indonesia sebesar 4 juta orang saat ini. “Kebijakan dan program pengembangan wirausaha nasional sebagai upaya menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 melalui perluasan akses pembiayaan seperti KUR, pembiayaan program, dana bergulir. Pemerintah juga membuka peluang usaha, akses pasar, peningkatan kapasitas SDM UMKM, dan kemudahan regulasi/birokrasi,” papar Ibrahim.
     

    Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui bagian yang dipimpinnya, menurut Ibrahim juga melakukan pengembangan kewirausahaan melalui program pembibitan wirausaha bagi pelajar, pemuda, dan mahasiswa. Program tersebut digarap lewat kegiatan penempaan wirausaha pemula dalam program pelatihan technopreneur, logisticspreneur, sociopreneur, agropreneur, marketingpreneur, inkubator, mentoring, tutorial dan pengembangan usaha melalui program kemitraan, kolaborasi usaha, dan pemilihan usaha unggul yang didorong perluasan usahanya.
     

    Tantangan Ketenagakerjaan
     

    Jumlah penduduk Indonesia yang besar perlu dioptimalkan untuk memasuki era persaingan global. Indonesia perlu memanfaatkan keuntungan demografis ini dengan mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan menekan angka penganguran. Syahganda nainggolan, tokoh gerakan buruh mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan seabrek persoalan di bidang ketenagakerjaan. Menurutnya, isu upah buruh merupakan persoalan pokok yang harus diselesaikan, agar buruh di Indonesia sejahtera sekaligus memiliki produktivitas tinggi. “Upah dan produktivitas harusnya beriringan, kenaikan upah niscaya mendorong peningkatan produktivitas. Perbaikan kesejahteraan merupakan prasyarat agar pekerja Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,” ujar Doktor lulusan Universitas Indonesia yang mengambil disertasi tentang perburuhan ini.

    Stafsus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari mengatakan bahwa bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu hal yang fundamental dalam MEA. Menutur Dita, terdapat isu kesejahteraan yang bertemali dengan produktivitas dan investasi di sektor industri, sehingga ketiganya harus tumbuh beriringan dan perlu ditangani dengan hati-hati. Selain soal unskilled labour, tenaga kerja dengan keahlian khusus seperti akuntan, pengacara, teknisi, dan seterusnya juga merupakan kelompok rentan dalam persaingan MEA.


    Namun Dita mengatakan, pemerintah terus mendorong dan memfasilitasi asosiasi-asosiasi profesional yang menaungi profesi dengan keahlian tersebut untuk mempersiapkan diri. “Kemenakertrans telah menyiapkan strategi untuk melindungi tenaga kerja Indonesia, seperti memperketat syarat bagi tenaga kerja asing yang ingin bekerja di Indonesia. Antara lain syarat bisa berbahasa Indonesia dan sertifikasi dari lembaga profesi terkait di dalam negeri,” ujarnya.


    Dita Indah Sari
    Dita mengingatkan bahwa di era pasar bebas tenaga kerja, permintaan tenaga kerja profesional dengan keahlian khusus akan meningkat tajam. Hal ini wajib diantisipasi oleh lembaga pendidikan, pelatihan, dan asosiasi profesi untuk meningkatkan kualitas peserta didik dan anggotanya. Selain itu, perusahaan-perusahaan lokal perlu lebih aktif meningkatkan kualitas tenaga kerjanya melalui pelatihan dan pendidikan di internal perusahaan, agar produktivitas tenaga kerja Indonesia terus meningkat.

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad