Header Ads


  • Breaking News

    Menambal Bopeng Sebelum MEA

    Presiden Jokowi sedang meninjau proyek infrastruktur

    Perdagangan global bukanlah hal baru bagi rakyat Indonesia, bahkan jauh sebelum kemerdekaan, pedagang-pedagang Indonesia telah melanglang buana ke kawasan lain. Sebagai negara bahari, pelaut-pelaut Indonesia telah menjejakkan kaki ke berbagai belahan dunia untuk memperdagangkan produk-produk nusantara. Perdagangan tersebut tidak saja pada komoditas hasil alam, namun juga produk industri seperti tembikar, manik-manik, produk dari tembaga dan tekstil. Perdagangan pada masa lalu itu pula yang membawa bangsa Indonesia mengenal sejumlah komoditas pertanian seperti karet dan tembakau. Jauh sebelum Belanda memaksa rakyat Indonesia menanam karet dan tembakau, petani Indonesia telah menanamnya setelah bibit karet dan tembakau dibawa pedagang Indonesia dari perniagaannya dengan dunia luar.
     

    Menurut sejarawan Cokro Wibowo, perdagangan bebas Asean yang sebentar lagi dibuka, sebenarnya hanya perulangan perdagangan Indonesia di masa lalu. Era perdagangan bebas zaman Sriwijaya-Majapahit-Islam yang terhenti akibat penjajahan dan kemunculan negara, kini dibuka kembali dengan pengurangan peran dan campur tangan negara dalam bidang perekonomian. “Barangkali perbedaannya adalah, kehawatiran akan kesiapan Indonesia menghadapi era baru tersebut. Jika dulu rakyat Indonesia dalam kondisi lebih siap untuk berbaur dengan dunia luar, dengan kemajuan teknologi kapal dagang, kekuatan armada laut, keunggulan produk pertanian dan industri, sementara sekarang dengan semua persoalan dalam negeri, ada kehawatiran menuju perdagangan bebas Asean,” ungkap lulusan Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang ini.
     

    Komunitas Ekonomi Asean bukanlah agenda tiba-tiba tanpa roadmap yang jelas. MEA merupakan proyek yang telah lama disiapkan dan Indonesia merupakan inisiator utamanya. Sejak dulu Indonesia sangat aktif memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang ”satu”. Ini antara lain dapat diidentifikasi dari pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang mengatakan, ”Indonesia perlu memperluas kerja sama Maphilindo untuk menciptakan Asia Tenggara menjadi kawasan yang memiliki kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi, dan budaya.” Hanya, perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda.
     

    Terdapat 12 sektor kegiatan ekonomi yang diprioritaskan integrasinya sebagai bisnis masyarakat ASEAN, yang pada dasarnya merupakan sektor keunggulan komparatif beberapa negara ASEAN dan keunggulan kompetitif negara ASEAN lainnya, seperti:  otomotif, eletronik, agrobisnis, produk kayu, produk karet, jasa wisata, pelayanan kesehatan, dan e-commerce.
     

    Pengamat Ekonomi Hendri Saparini menyebutkan kondisi Indonesia memang belum sepenuhnya siap menghadapi perdagangan bebas Asean. Hendri mengatakan masih banyak persoalan mendasar yang harus diselesaikan agar Indonesia bisa berbuat banyak dalam pasar tunggal Asean dan mengambil keuntungan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Diantara persoalan mendasar itu adalah kesiapan regulasi, buruknya infrastruktur, krisis pangan dan energi yang mengintai, industrialisasi yang jalan di tempat dan rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia. “Beberapa persoalan tersebut merupakan kekurangan yang harus ditambal secepat mungkin,” ujar Hendri.
     

    Percepatan Infrastruktur
     

    Kondisi infrastruktur Indonesia relatif masih tertinggal. Infrastruktur logistik Indonesia misalnya berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia, hanya menduduki peringkat ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di puncak di antara 155 negara yang disurvei. Ekspor komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan kapal. Sayangnya, ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal kita, ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan diangkut dengan kapal berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya pun harus dengan perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami defisit.
     

    Menurut Hendri Saparini, upaya pemerintahan Jokowi menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai agenda utama adalah hal tepat. Melalui peningkatan jalan, jembatan, kereta api, highway, bandara, dan pelabuhan diharapkan laju perekonomian Indonesia makin pesat karena arus barang dan jasa akan semakin murah. “Pembangunan infrastruktur merupakan modal utama kemampuan bersaing Indonesia dalam ekonomi global. Indonesia perlu belajar dari China, karena dengan insfrastruktur memadai, ekonomi China tumbuh melebihi negara lain di dunia,” ujar pengamat kritis ini.
     

    Mengatasi Persoalan Pangan dan Energi
     

    Persoalan pangan merupakan salah satu topik utama ekonomi Indonesia, mengingat bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan perekonomian masyarakat membuat kebutuhan pangan meningkat tajam. Kondisi ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan sektor pertanian, sehingga Indonesia mengimpor bahan-bahan utama pangan seperti beras, jagung dan kedelai. Saat ini terjadi laju penurunan jumlah lahan pertanian sebesar 100 ribu hektar setiap tahun, sementara pertumbuhan lahan baru hanya 40 ribu hektar. Pengurangan subsidi pertanian pada bibit, pupuk dan obat hama juga menyebabkan pertanian Indonesia jalan di tempat. Rendahnya teknologi dan minimnya dana penelitian dan pengembangan juga melengkapi kondisi ini.
     

    Muchammad Sobri
    Pakar pertanian Institute Pertanian Bogor (IPB), Muchammad Sobri mensinyalir, krisis pangan akan terjadi jika Indonesia tidak memperbaiki kebijakan pangan. Penguasaan lahan yang didominasi private sektor berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa rata-rata petani Indonesia hanya memiliki lahan 0,3 hektar. “Sektor pertanian harus menjadi sokoguru perekonomian nasional, dan ketahanan pangan merupakan prasyarat mutlak untuk bersaing dalam MEA. Bagaimana mungkin kita bicara soal industri dan teknologi, sementara beras dan jagung kita impor dari Vietnam, sementara mayoritas penduduk Indonesia adalah petani dan bangsa ini dianugerahi tanah yang luas dan subur,” tandas Sobri.
     

    Selain pangan, kebutuhan energi Indonesia juga meningkat seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada tahun 2014 kebutuhan minyak mencapai 1,5 juta barel perhari, terbesar kelima di Asia. Sayangnya, karena kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun impor BBM terus meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline) terbesar di dunia. Singapura yang tidak memiliki cadangan minyak diuntungkan, karena memiliki infrastruktur kilang minyak dengan kapasitas besar sehingga bisa mengekspor BBM.
     

    Pemerhati energi Hatta Taliwang mengatakan, dengan cadangan minyak hanya bersisa untuk 23 tahun, Indonesia memerlukan perubahan politik energi radikal, dengan beralih pada sumber energi lain seperti gas bumi, minyak sawit, biogas, bioetanol, matahari, angin dan gelombang laut bahkan energi nuklir. “Idealnya, ada kolaborasi sektor pertanian dengan energi, artinya peningkatan komoditas pertanian yang menjadi bahan baku energi terbarukan seperti tebu, singkong, dan jarak, selain menjadi jawaban bagi persoalan energi, juga dapat mendorong sektor pertanian dan mensejahterakan petani Indonesia,” ujar Hatta Taliwang.
     

    Peningkatan Kualitas Produk dan Kesempatan Kerja
     

    Studi Bank Dunia (2013) menyebutkan, daya saing produk ekspor Indonesia relatif tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain, terutama terkait dengan minimnya nilai tambah pada produk ekspor kita. Komposisi ekspor Indonesia masih didominasi komoditas (resource based) dan barang primer (primary product). Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia rentan dengan gejolak harga, karena pelemahan perekonomian dunia dan perubahan nilai tukar menjadi penyebab naik turunnya harga komoditas. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar ekspornya didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium and high tech product).
     

    Selain kualitas produk, kualitas tenaga kerja Indonesia juga masih tertinggal. Meski unggul dalam hal pengupahan, namun produktivitas pekerja Indonesia kalah dibandingkan Singapura dan Malaysia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data tenaga kerja Indonesia pada Februari 2014 berjumlah 118,17 juta orang, terdiri dari lulusan SD ke bawah yang mencapai 55,3 juta orang (46,8 %), lulusan SMP sebanyak 21,1 juta (17,82%), lulusan SMA sejumlah 18,91 juta orang, lulusan diploma sedikit berjumlah 3,13 juta orang, dan lulusan universitas berjumlah 8,85 juta orang. 

    Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan, pada tahun 2012 jumlah penganggur berusia 15-24 tahun mencapai 75 juta orang, sedangkan data BPS Agustus 2013, jumlah penganggur berusia 19-29 tahun mencapai 4,9 juta orang dari total 7,4 juta penganggur di Indonesia. Masih besarnya jumlah pengangguran tentu merisaukan kita semua, karena selain terkait langsung dengan besaran angka kemiskinan, besarnya pengangguran juga mempengaruhi produktivitas nasional. Diperlukan upaya serius agar industri dapat tumbuh sehingga membuka lapangan pekerjaan, optimalisasi peran UKM guna menyerap angkatan kerja, serta revitalisasi sektor pertanian sehingga mengurangi angka pengangguran di pedesaan.

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad