Header Ads


  • Breaking News

    Rakyat Lelah Dijadikan Tumbal

    Konsep pembangunan ekonomi Indonesia memang selalu makro-sentris. Kepentingan makro ekonomi selalu menjadi prioritas, seperti pasar modal, tingkat suku bunga, nilai tukar, kredit perbankan untuk usaha skala besar, serta kebijakan perpajakan untuk pelaku bisnis besar. Sementara itu, ekonomi mikro berupa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) merupakan pemain sekunder yang mendapat porsi sisanya. Kebijakan perbankan, bahan baku, pasar, perdagangan, dan perpajakan masih belum memihak kelompok ekonomi mikro. Apalagi sektor informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL) dan industri rumahan, bagi penyembah paham ekonomi skala besar, mereka hanya lah hidden economy yang tidak perlu diperhitungkan.
     

    Bangsa Indonesia tidak boleh lupa, ketika ekonomi Indonesia ambruk pada tahun 1997 akibat krisis ekonomi hebat, sektor ekonomi mikro ini lah yang menjadi penyangga ekonomi rakyat Indonesia. Ketika banyak perusahaan besar gulung tikar dan tidak sanggup membayar hutang, UMKM tetap tumbuh dan menjadi kelompok paling komit membayar hutang dan bunga perbankan. Pada saat perusahaan besar tutup dan merasionalisasi ribuan karyawannya, para pekerja yang terkena PHK menyambung hidupnya dengan membuka usaha kecil seperti berdagang kaki lima dan membuat industri rumahan. Khususnya di Jakarta, menjadi Pedagang Kaki Lima adalah penyelamat derita rakyat, karena proyek padat karya pemerintah yang mempekerjakan korban PHK lebih sering ngadat ketimbang berjalan.
     

    Penggusuran warga taman burung Pluit
    Kini, arah pembangunan di era reformasi kembali menampakkan wajah sewenang-wenang lewat aksi penggusuran dan penertiban yang melukai hati rakyat. Rakyat kembali menjadi "tumbal" pembangunan, warisan lama yang disempurnakan kekuasaan baru dengan aksi penggusuran dan penertiban lebih kasar dan ironis. Jika pada era Orde Baru penggusuran masih dibungkus basa-basi "pembebasan tanah demi pembangunan" dan pendekatan sosial budaya pada struktur warga yang akan digusur, kini penggusuran dilakukan secara kasar dan brutal. Seperti tanpa tedeng aling-aling, langsung main gusur dan tertibkan.
     

    Penggusuran di era Gubernur Jokowi dan Wagub Basuki yang dilanjutkan dengan baik oleh Gubernur Basuki, dimulai dengan pembongkaran 250 bangunan liar di kawasan Petamburan Jakarta Pusat pada Oktober 2012. Meski saat itu tidak ada pentungan yang digunakan untuk membubarkan protes warga, namun kejadian tersebut menjadi penanda berakhirnya masa bulan madu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur yang mengklaim menjadi harapan bagi Jakarta Baru dengan warga ibukota yang dipimpinnya. Sejak itu, penggusuran benar-benar hanyalah menjadi pengulangan kebijakan Gubernur-Gubernur DKI Jakarta sebelumnya.
     

    Sedangkan penggusuran paksa makin kentara pada proyek normalisasi Waduk Pluit yang menggusur pemukim di Taman Burung Pluit, Penjaringan pada Mei 2013. Pada November 2014, sesaat sebelum Gubernur Basuki dilantik, warga di sekitar Waduk Ria-Rio, Pulo Gadung yang menjadi korban, ketika ratusan polisi pamongpraja yang dikawal polisi membongkar paksa puluhan bangunan demi normalisasi Waduk Ria-Rio. Puluhan agenda penggusuran lain terus terjadi di Jakarta, dimana kerap berakhir dengan bentrokan. Kasus terakhir penggusuran terjadi di Pinangsia dan Kampung Rajawali pada awal Juni 2015, dan nampaknya akan terus berlanjut ke sejumlah lokasi lainnya.
     

    Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Feby Yonesta mengatakan, kasus penggusuran merupakan permasalahan yang semakin menjadi momok menakutkan bagi warga DKI Jakarta. Penggusuran terus terjadi dan menimbulkan beragam implikasi karena dilakukan tanpa disertai penyelesaian menyeluruh. “Dari data kasus penggusuran yang masuk ke LBH Jakarta menunjukan, dari tahun ke tahun terus bermunculan pelanggaran hak atas perumahan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penggusuran telah menciptakan korban kolektif dan memunculkan masyarakat miskin baru di ibukota," ucap Feby.
     

    Dia menduga, terus munculnya kasus seperti ini, disebabkan pemimpin DKI Jakarta yang hanya mementingkan pemilik modal yang berlindung di balik kepentingan umum. Apalagi dalam banyak kasus, alasan dilakukannya penggusuran hanya ditujukan pada pemukiman kumuh, sedangkan properti mewah di lokasi yang sama semestinya juga terdampak kebijakan yang serupa tidak diapa-apakan. "Tidak kurang setiap tahun 1.000 pengaduan datang ke LBH Jakarta, dengan jumlah pencari keadilan lebih banyak dan bervariasi. Warga korban penggusuran ini tidak diberi kompensasi yang memadai, pasca tindakan kurang manusiawi yang mereka terima,” ujarnya.
     

    Jangan Tumbalkan Rakyat Lagi
     

    Banyak pakar dan peneliti masalah kota menolak cara berpikir Pemprov DKI yang sejak era Ali Sadikin hingga Ahok selalu menggunakan pendekatan penggusuran dan penertiban. Mereka menilai antara masalah yang hendak diatasi (banjir, kemacetan, kriminalitas) dan solusi yang dijalankan (penggusuran) sama sekali tidak nyambung, alias jauh panggang dari api. Meningkatnya jumlah penduduk miskin di kota-kota besar seperti Jakarta, justru merupakan indikator meningkatnya ketimpangan sosial dan ketidakberesan manajemen ibukota. Bukan sebaliknya, penduduk miskin sebagai sumber persoalan ibukota.
     

    Kalau memang tidak menjawab masalah, mengapa penggusuran tetap dijalankan? Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, hal tersebut bisa terjadi karena dua alasan. Pertama, penggusuran merupakan proyek yang sengaja diciptakan. Hal ini dibuktikan tiap tahun kegiatan penggusuran ini dianggarkan dalam APBD. Kedua, kegagalan sering membutuhkan kambing hitam, sehingga dalam hal ini, salah urus ibukota ditimpakan pada orang miskin. “Karena pengelola ibukota sering miskin logika dan rasa malu, dijadikanlah penggusuran sebagai ritual tahunan untuk menjaga kewibawaan. Bukan pembangunan yang diprogramkan, melainkan penggusuran. Dari sudut mana pun, tindakan itu sulit dipertanggungjawabkan,” cecar pegiat sosial ini.
     

    Sosiolog, Imam B. Prasodjo

    Imam Prasodjo memandang, dari praktik penggusuran yang kian marak terjadi akhir-akhir ini di Jakarta, kita menyaksikan terjadinya distorsi hakikat negara dan pemerintahan di negeri ini. Kita semua tahu, pada hakikatnya lembaga negara dan pemerintahan dibentuk untuk menciptakan perikehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan manusiawi. Agenda kesejahteraan bersama dan terjaminnya komunitas masyarakat yang adil, mestinya menjadi tujuan negara dan dilaksanakan pemerintah dengan sungguh-sungguh. Namun cita-cita tersebut telah terdistorsi menjadi pengabaian dan penindasan terstruktur terhadap rakyat. “Negara yang mestinya menjamin kesejahteraan rakyat sesuai UUD 1945 pun telah menjadi negara yang merampas dan menindas. Padahal, sebenarnya di sanalah negara memperoleh orisinalitas dan kelayakannya sebagai Negara, karena dasar utama kewenangan Negara adalah menyejahterakan rakyat,” ungkap akademisi senior ini.
     

    Adalah tugas pemerintah  dengan segala perangkatnya untuk menegakkan hukum, tatanan sosial dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Namun pantas dicatat, tindakan penggusuran yang agaknya menjadi program pamer kekuatan elite politik dan pemerintahan, kini telah menjadi cara-cara penindasan baru terhadap rakyat miskin. Sungguh pun dilakukan dengan itikad baik, namun praktik penggusuran telah melahirkan penderitaan baru bagi mereka yang menjadi korban. Rakyat miskin telah menjadi tumbal, kehidupan mereka dihancurkan bukan hanya secara fisik, melainkan mental dan sosial.
     

    Oleh karena itu, tidak hanya perlu diserukan praktik penggusuran dihentikan, tetapi para elite politik dan pemerintahan perlu diminta melakukan introspeksi dan koreksi secara mendalam atas praktik penggusuran yang selama ini mereka jalankan, agar tidak mendatangkan bencana kemanusiaan bagi rakyat miskin. Koreksi terhadap kebijakan penggusuran ini merupakan keniscayaan, karena telah mengundang keprihatinan mendalam dari banyak kalangan. Apalagi kegiatan warga yang menduduki lahan bukan miliknya, atau berjualan di lokasi terlarang, ternyata juga dipicu tindakan koruptif oknum pemerintahan sendiri. Sebelum digusur dan ditertibkan, rakyat miskin dan pedagang kaki lima merupakan korban pemalakan oknum-oknum pemerintah daerah.

    Sementara itu mantan Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Marlo Sitompul menyerukan rasa solidaritas harus dijalin dan ditunjukkan komponen masyarakat yang berkehendak baik melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Melalui solidaritas dan perjuangan politik yang tepat, kita berharap kebijakan penggusuran dan penertiban secara brutal dan tanpa solusi ini bisa diakhiri. Pembiaran terhadap penggusuran ini oleh komponen sivil society, dihawatirkan justru akan makin menggerus nalar kemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa. “Selain menjaga falsafah Sila kedua Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yag adil dan beradab”, ajaran agama apapun yang dianut masyarakat Indonesia yang agamis pasti menolak bentuk-bentuk ketidakadilan terstruktur dan massif ini. Penataan Ibukota memang adalah sebuah keharusan, namun memanusiakan ribuan warga yang harus tergusur dari tempat hidup dan penghidupannya, juga merupakan keniscayaan,” ujar Marlo.


    Rakyat miskin, termasuk kelompok miskin perkotaan adalah komponen masyarakat yang terlalu lama bersabar. Mereka pindah ke Ibukota karena kesalahan kebijakan di sektor pertanian dan pedesaan, sebagian kehilangan lahan akibat pembangunan lalu pindah ke kota untuk mempertahankan hidupnya, sebagiannya lagi pernah bekerja di sektor formal namun menjadi korban rasionalisasi. Jadi, jangan tumbalkan lagi mereka, karena mereka sudah cukup lama bersabar menanti kue pembangunan, menunggu keberpihakan negara. (pin)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad