Header Ads


  • Breaking News

    Penggusuran oh Penggusuran…

    Sabtu pagi, 13 Juni 2015, pemerintah provinsi DKI Jakarta atas perintah Walikota Jakarta Selatan mengerahkan prajurit TNI, polisi dan satuan polisi pamongpraja untuk menggusur 45 rumah warga di Jalan Rawajati Barat, RT 09, RW 04, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Namun, warga yang sudah puluhan tahun hidup di lingkungan itu menghadang dengan membuat barikade dan menggelar unjuk rasa. Di hadapan pejabat pemda, TNI, polisi dan satuan polisi Pamongpraja, warga yang meradang kemudian berorasi dan menyerukan penolakan penggusuran.
     

    Normalisasi kali Jakarta yang dibiayai Bank Dunia
    Sebelumnya, pada tanggal 7 Juni 2015, warga dikagetkan dengan perintah penggusuran lewat surat dari Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan nomor: 588/-1758. Surat tersebut berbunyi dengan alasan menertibkan lahan bangunan liar, pedagang kaki lima dan parkir liar, warga diberikan jangka waktu 3×24 jam untuk membongkar bangunannya sendiri.
     

    Kontan saja, pemberitahuan pada warga yang tinggal persis di samping Apartemen Kalibata City ini membuat warga bingung dan geram. Mereka kebingungan harus tinggal di mana ketika rumahnya harus dibongkar, dan geram karena surat penggusuran itu mendadak tanpa pembicaraan terlebih dahulu dengan warga. Alasan itu lah yang membuat warga menolak menaati surat perintah pembongkaran rumah mereka.
     

    Di sela aksi unjuk rasa yang penuh ketegangan itu, salah seorang warga mengatakan pihaknya telah minta pemerintah bermusyawarah dulu dengan warga, karena warga berharap penggusuran ditunda. Menurut dia, warga bersikap kooperatif dan menyadari posisinya yang lemah atas tanah yang ditempati. Warga bahkan telah menyatakan siap membongkar sendiri rumahnya jika pemerintah Jakarta menyediakan rusun yang bakal mereka tinggali. "Kami ingin disediakan rumah susun terlebih dulu, apalagi sekarang sudah mau puasa Ramadan," kata dia.
     

    Wakil Walikota Jaksel, Tri Kurniadi bersikeras tidak akan menghentikan  pembongkaran  karena lokasi tersebut adalah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI). Menurut Wakil Walikota, lokasi itu diperuntukkan bagi jalur hijau sehingga seharusnya bersih dari bangunan. "Mereka sudah puluhan tahun menempati tanah tersebut, serta sudah berulangkali diperingatkan, jadi tak ada toleransi," katanya di lokasi pembongkaran.
     

    Aksi perlawanan yang dilakukan warga memang membuat petugas menghentikan sementara penggusuran. Namun, Tri mengancam, meski ditunda pihaknya akan kembali datang untuk melakukan pembongkaran. Terkait tuntutan warga, Tri hanya menjelaskan bahwa pihaknya sudah memiliki data warga yang bakal digusur dan telah menyerahkannya ke Dinas Perumahan. Dia berjanji akan memfasilitasi keinginan warga yang ingin pindah ke rusun yang sedang dibangun pemerintah.

    Peristiwa di atas hanyalah sekelumit cerita dibalik makin masifnya penggusuran di Jakarta dalam setahun terakhir ini. Setelah ditelisik, ternyata bermuara pada proyek Jakarta Emergency Dredging Initiatives (JEDI) untuk normalisasi dan rehabilitasi 13 sungai dan lima waduk di Jakarta yang dibiayai Bank Dunia. Pada proyek JEDI, World Bank meminjamkan dana Rp 1,2 triliun guna membiayai perbaikan bantaran sungai dan waduk di Jakarta guna mengatasi persoalan banjir di Jakarta. Bank Dunia sebenarnya mensyaratkan pada pemerintah untuk memperhatikan faktor ekonomi warga yang dipindahkan sehingga tidak menyebabkan penurunan ekonomi bagi warga yang digusur.
     

    Pada prakteknya, pejabat pemerintah Provinsi Jakarta tampaknya mengabaikan syarat Bank Dunia tersebut agar lebih manusiawi ketika menggusur warga dari lahan bermasalah. Pemerintah seakan berlomba mengejar tenggat waktu agar proyek trilyunan rupiah yang dibiayai Bank Dunia bisa segera dikerjakan dan melupakan hak-hak dasar warganya sendiri. Penggusuran dilakukan tanpa solusi memadai, mengingat ratusan bahkan ribuan warga korban penggusuran kehilangan hak dasarnya untuk memiliki hunian layak yang seharusnya dijamin negara melalui pemerintah.

    Penggusuran warga miskin Jakarta adalah cerita lama yang sudah makin usang. Namun, seperti mode yang makin using namun makin digandrungi, cerita penggusuran selalu berulang dari zaman ke zaman. Bedanya, ada yang dilakukan dengan pendekatan manusiawi, namun ada pula dipaksakan dengan mengindahkan hak-hak warganya. Akhirnya, penggusuran demi penggusuran bermetamorfosis menjadi pentas opera sabun yang tak berujung pangkal, muncul secara repetitif dan tinggal menunggu waktu meletup sebagai persoalan sosial.


    Penggusuran yang saat ini berlangsung makin gencar misalnya, memiliki geneologi persoalan dengan masa lampau dan memiliki corak yang hampir sama dengan apa yang bakal terjadi di masa depan. Ini semacam siklus kehidupan yang penuh ketegangan. Generasi masa kini Pemprov DKI Jakarta dan generasi masa kelompok miskin Ibukota seakan sama-sama terbenam ke dalam perseteruan abadi. (pin)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad