Header Ads


  • Breaking News

    Pilkada Serentak Masih Penuh Ganjalan

    Pelaksanaan Pilkada serentak berlangsung tidak lama lagi, namun kesiapan perhelatan demokrasi itu masih mengundang tanda tanya. Terutama terkait dengan belum tuntasnya skema penyelesaian sengketa Pilkada di MK, masih kekurangan anggaran keamanan dan pemantauan, diragukannya kesiapan penyelenggara, konflik internal beberapa parpol dan kejenuhan masyarakat mengikuti pemilu demi pemilu. Bahkan, terkait anggaran keamanan, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengaku kekurangannya mencapai sekira Rp500 miliar.

    Pembahasan kesiapan Pilkada serentak
    Jika Pilkada serentak jadi dilaksanakan pada Desember 2015, dari segi waktu, KPU hanya punya empat bulan dalam mematangkan peraturan dan mensosialisasikannya. Pada Juni atau Juli tahapan Pilkada sudah harus dijalankan. Perlu juga diketahui bahwa Desember dikenal dengan cuaca buruk di hampir seluruh wilayah Indonesia, selain itu umat Nasrani juga melakukan natal di bulan  Desember. Tentu hal ini menjadi tantangan bagi kesiapan KPU untuk bisa menyelenggarakan Pilkada serentak dengan sukses dan berkualitas.
     

    Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarulzaman menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo terlalu lamban dalam mempersiapkan pelaksanaan pilkada serentak. Misalnya, pemerintah tidak bertindak ketika DPR memaparkan potensi masalah dalam pelaksanaan pilkada serentak. Rambe mengatakan, sebelum RUU Pilkada diputuskan di paripurna DPR, para pimpinan DPR, pimpinan Komisi II DPR dan fraksi-fraksi menemui Presiden Jokowi. Tujuannya adalah untuk menyampaikan berbagai potensi masalah dalam RUU Pilkada. Presiden dalam pertemuan tersebut menyimak paparan pimpinan DPR dan Komisi II.
     

    Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarulzaman


    Rambe menegaskan bahwa yang menemui Jokowi untuk membahas RUU Pilkada bukanlah partai politik, tetapi DPR RI secara kelembagaan. Sayangnya, kata politikus Golkar itu, kabar yang beredar di luar justru berbeda. “Golkar diisukan mendesak presiden agar pilkada serentak ditunda ke tahun 2016 karena adanya perselisihan internal Golkar dan PPP. Padahal, dalam pertemuan itu untuk kepentingan bangsa dan negara,” ungkapnya.
     

    Rambe juga menyinggung permintaan Komisi II DPR ke BPK untuk mengaudit KPU sebelum proses pilkada serentak dimulai. Sebab, dari hasil audit sebelumnya atas KPU ternyata BPK memberikan predikat wajar dengan pengecualian. Audit BPK menyebut ada dana sekitar Rp 334 miliar belum bisa dijelaskan penggunaannya oleh KPU. “Ada 10 rekomendasi audit, termasuk audit ketersediaan sumber daya manusia di KPU untuk menyelenggarakan pilkada serentak,” ujar anggota DPR dari daerah pemilihan Sumatera Utara II ini.
     

    Selain itu, DPR juga telah meminta KPU membersihkan dulu data pemilih secara keseluruhan sebelum tahapan pilkada serentak dimulai. Sebab pada Pilpres 2014, terdapat kelebihan suara pemilih sekitar 8 juta yang melampaui data KPU. “Namun permintaan DPR tidak ditanggapi serius oleh KPU, semuanya berlalu begitu saja, tanpa upaya serius untuk menyelesaikannya,” pungkas Rambe.
     

    Belakangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan sepuluh persoalan terkait persiapan penyelenggaran Pilkada serentak tahun 2015. Audit ini dilakukan BPK atas permintaan DPR. Anggota BPK, Agung Firman Sampurna mengatakan, persoalan pertama dari hasil proses audit adalah penyediaan anggaran pilkada belum seluruhnya sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan. Kedua, naskah perjanjian hibah daerah pilkada (NHPD) di sejumlah daerah masih ada yang belum ditetapkan.
     

    Ketiga, masalah dalam perencanaan penggunaan anggaran hibah daerah untuk pelaksanaan pilkada. Keempat, pembukaan rekening hibah daerah untuk penyelenggara pemilu baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih banyak yang belum sesuai dengan ketentuan. Kelima, dana pengamanan pilkada serentak masih belum selesai. "Pengajuan anggaran untuk pengamanan totalnya mencapai Rp 1,15 triliun, sedangkan yang disetujui sampai 2 Juli 2015 lalu baru mencapai Rp 594 miliar," jelas Agung, di Ruang Pimpinan DPR RI.
     

    Keenam, masih banyaknya sumber daya manusia yang tidak sesuai kualifikasi pekerjaannya. Ketujuh, pedoman pertanggungjawaban pelaporan penggunaan dana hibah masih belum memadai. "Hasil audit kami, ada 203 KPU provinsi dan kabupaten/kota belum membuat pedoman, dan ada 243 Bawaslu Provinsi dan Kapupaten/kota belum menyiapkan pedoman," ujar Agung.
     

    Kedelapan, Mahkamah Konstitusi (MK) belum menetapkan prosedur untuk perselisihan sengketa pilkada. Padahal, dengan pelaksanaan pilkada serentak pelaksanaan sidang akan meningkat sehingga Mahkamah perlu membuat prosedur baru atau standard operating dan procedur (SOP). Kesembilan, masih ada sekitar 121 daerah yang tidak memulai tahapan pilkada sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 2/2015. Terakhir, "Pembentukan panitia adhoc, masih tidak sesuai ketentuan, misalnya ada pemilihan panitia pemilihan kecamatan (PPK) terlambat," kata Agung.
     

    Dari sepuluh temuan persoalan tersebut, pihaknya mengambil kesimpulan bahwa kesiapan penyelenggaran Pilkada serentak yang dilakukan KPU dan Bawaslu masih kurang persiapan, baik dalam anggaran maupun sumber daya manusia. Ketersediaaan anggaran diyakini belum dapat mendukung seluruh tahapan penyelenggaraan pilkada serentak. Menurut Agung, audit yang dilakukan pihaknya merupakan pemeriksaan dengan sifat eksaminasi, yaitu kesimpulan audit tersebut berdasarkan data dari responden di 269 daerah yang terdiri dari sembilan Provinsi dan 260 kabupaten/kota.
     

    Ketua DPR RI, Setya Novanto mengatakan, hasil audit BPK merupakan persoalan serius yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Pihaknya juga dalam waktu dekat akan mengirimkan surat ke Presiden Joko Widodo agar memberi perhatian terhadap pelaksanaan Pilkada serentak tersebut. "Kami mengusulkan, pemerintah bersama unsur penyelenggara Pilkada melakukan rapat konsultasi ke Presiden," kata Novanto.
     

    Perlukah Pilkada Serentak Ditunda?
     

    Pasal 201 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada mengatur “Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2015.” Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan pilkada serentak, yang meliputi 7 provinsi serta 262 kabupaten/kota akan dilaksanakan pada Desember 2015.
     

    Ketua Perludem, Didik Supriyanto mengatakan, pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2015 penuh risiko karena waktu perencanaan dan persiapan pilkada serentak terbilang sangat pendek, kurang dari 1 tahun. Padahal praktek pemilu di manapun, idealnya perencanaan dan persiapan pemilu setidaknya 2 tahun. Apalagi pilkada serentak yang meliputi setidaknya 269 daerah ini merupakan pengalaman pertama. “Perlu diingat, dibandingkan pemilu legislatif dan pemilu presiden, pilkada lebih sering menimbulkan kekerasan dan konflik horisontal. Sehingga lebih baik jadwal pilkada serentak diundur setidaknya selama 6 bulan, menjadi Juni 2016,” ujar mantan komisioner Bawalu ini.
     

    Menurut Didik, alasan utama pilkada serentak diundur sampai Juni 2016 adalah demi menciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal. Kata Didik, jadwal pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada selama ini telah menimbulkan kesemrawutan politik sehingga mengacaukan tatanan politik, merusak rasionalitas pemilih, menciptakan konflik internal partai politik berkelanjutan, meninggikan biaya politik yang harus ditanggung partai politik dan calon, memboroskan anggaran negara, dan membebani penyelenggara. “Oleh karena itu perlu diciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal, di mana jadwal pemilu lima tahunan bisa mengatasi masalah-masalah tersebut,” tandasnya.
     

    Jika kita simak, dalam tiga pemilu terakhir, pemilu legislatif jatuh pada April, pemilu presiden putaran pertama pada Juli, dan pemilu presiden putaran kedua pada September.
    Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu serentak legislatif dan presiden akan diselenggarakan pada 2019, sehingga pemilu legislatif dan pemilu presiden (putaran pertama) bisa digelar pada Juni 2019, dan jika terdapat pemilu presiden putaran kedua bisa digelar pada Agsutus 2014. Jika pemilu legislatif dan presiden (putaran pertama) digelar pada Juni 2019, maka pilkada serentak seharusnya digelar pada Juni 2021.
     

    Mengapa jarak antara pemilu legislatif dan presiden serentak dengan pilkada serentak harus 2 tahun? Didik Supriyanto menyatakan, pertama, untuk mengurangi kejenuhan pemilih sehingga partisipasi bisa tinggi. Kedua, untuk memberi waktu cukup bagi partai politik berkonsolidasi sehingga mampu mengajukan calon dengan baik. Ketiga, untuk memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu dalam menata organisasi, merencanakan, dan mempersiapkan pemilu,” pungkas Didik.

    Meski segala sesuatunya memiliki konsekuensi, apalagi keputusan strategis yang menyangkut kepemimpinan daerah di ratusan Provinsi, Kabupaten dan Kota, rakyat tentu layak berharap apapun keputusan yang diambil pemerintah bersama DPR, merupakan keputusan terbaik bagi rakyat, khususnya yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak nanti. (agung)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad