Jalan Panjang Pilkada Langsung Serentak
Pilkada langsung digagas sejak 2004 sebagai koreksi atas pemerintahan sentralistik pada masa orde baru yang melahirkan birokrat yang korup di daerah dan mengakibatkan masyarakat di daerah tidak dapat merasakan pembangunan yang merata dan walaupun kekayaan alam di daerahnya sangat kaya tapi lebih banyak dikorupsi oleh pejabat dan DPRD di daerah mereka akibat pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Terbukti, banyak kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD karena melakukan pemerasan kepada kepala daerah yang mereka pilih atau karena transaksi suap untuk melancarkan kebijakan dan program di daerah karena harus melalui persetujuan DPRD.
Kericuhan warnai sidang pleno DPR tentang RUU Pilkada |
Meski demikian, pengamat politik Said Salahuddin mengatakan, rezim Pilkada langsung yang dipandang sebagai kemajuan demokrasi juga tak luput dari kritikan. Sejak tahun 2011, Pilkada langsung dianggap sebagai biang persoalan daerah karena banyaknya persoalan yang mengemuka terkait sistem pemilihan kepala daerah secara langsung ini. “Besarnya biaya pelaksanaan Pilkada dianggap sebagai pemborosan jika dibandingkan dengan pemilihan melalui DPRD yang hanya melibatkan sedikit orang. Begitu pula politik uang yang dijadikan alasan pemilihan kepala daerah melibatkan seluruh rakyat di daerah tersebut, terbukti tidak berkurang karena ditemukan praktik bagi-bagi uang kepada rakyat untuk keterpilihan kandidat di berbagai Pilkada. Tak pelak, biaya pemenangan kandidat melambung tinggi dan Pilkada menjadi kontestasi adu kapital antar kandidat, bukannya visi misi dan rekam jejak,” ujarnya.
Said Salahuddin |
Said Salahuddin juga menjelaskan, situasi tersebut nampaknya berbanding lurus dengan semakin banyaknya kepala daerah yang kena kasus korupsi. Pada tahun 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan 290 orang kepala daerah tersangkut kasus korupsi. “Mahalnya biaya politik nampaknya mendorong korupsi besar-besaran di daerah yang melibatkan para cukong dan penyandang biaya kampanye pencalonan pemenang Pilkada. Korupsi kepala daerah tidak hanya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), melainkan juga korupsi lewat tukar guling aset, izin perkebunan dan pertambangan, serta beragam modus korupsi lainnya,” jelas Said.
Rezim pilkada langsung, kata Said juga membawa konsekuensi dengan hadirnya raja-raja lokal yang melanggengkan kekuasaannya melalui politik dinasti. Pengaruh kekuasaan dan uang yang mereka miliki dipergunakan untuk menempatkan anak, istri, dan keluarga dekat lainnya di panggung kekuasaan, sebagai pengganti kepala daerah yang telah memimpin dua periode. “Tidak jarang muncul kesenjangan kualitas, dan kepala daerah pengganti hanya menjadi wayang dari kekuasaan lama dinasti politik mereka,” tandas Said.
Pilkada langsung di daerah juga mengundang kecemasan dengan banyaknya konflik politik yang berujung pertikaian horizontal. Dari pelaksanaan 1.014 pilkada sela¬ma 2005-2014, sebagian besarnya berakhir dengan sengketa dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Beberapa di antaranya juga picu konflik sosial yang menyebabkan kehilangan jiwa dan aset ekonomi dan pemerintahan, seperti yang terjadi di Tuban, Jawa Timur dan Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah.
Tingginya tensi politik Pilkada langsung juga menyeret netralitas birokrasi ke titik paling nadir. Hampir bisa dipastikan keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam pemenangan pasangan calon tertentu menjadi bagian dari penyusunan pejabat daerah pasca Pilkada. Sehingga tak jarang ditemukan mantan Kepala Sekolah dan Guru Bahasa yang diangkat menjadi Kepala Dinas Pertambangan, atau mantri kesehatan diangkat menjadi Camat.
Meski demikian, 10 tahun pelaksanaan pilkada langsung oleh rakyat juga bukannya tanpa prestasi, karena telah melahirkan pemimpin baru yang berani, tegas, cerdas, bertanggungjawab, berkualitas, dan merakyat yang berhasil membangun daerahnya masing-masing. Misalnya Jokowi di Solo, Ridwan Kamil di Bandung, dan Risma di Surabaya. Rezim Pilkada langsung membuka probabilitas keterpilihan pemimpin muda yang terpilih langsung oleh rakyat karena kinerja mereka yang bagus. Kepala daerah yang terpilih secara langsung memang memiliki kesempatan besar untuk menunjukkan kualitasnya memimpin daerah dan memajukan daerah yang dipimpinnya.
Setelah pembahasan selama dua tahun, pasca pemilu 2014, DPR-RI berhasil menyelesaikan pembahasan UU Pilkada yang mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung atau melalui DPRD. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung.
Putusan tersebut didukung oleh 226 anggota DPR-RI.
Pengesahan UU Pilkada ini kontan memantik reaksi banyak kalangan yang merasa sistem Pilkada langsung masih layak dipertahankan. Presiden SBY menjelang akhir kekuasaannya merespon kehebohan masyarakat tersebut dengan membatalkan UU No. 22 Tahun 2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD melalui Perppu No. 1 tahun 2014 yang kemudian disetujui DPR untuk direvisi kembali pada awal pemerintahan Presiden Jokowi. Perppu tersebut kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat.
Pasca diundangkannya Perppu menjadi UU, Komisi II DPR membentuk Panitia Kerja DPR guna revisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (pilkada) menyepakati beberapa hal terkait pilkada langsung. Sembilan dari sepuluh partai politik di parlemen sepakat mengubah undang-undang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Agenda revisi ini dilakukan karena masih banyak ketentuan dalam perppu itu yang bermasalah. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat langsung meminta masukan pakar, beberapa jam setelah Perppu Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) disahkan 20 Januari 2015.
Beberapa poin krusial yang kemudian disahkan adalah mengenai pelaksanaan pilkada yang dibagi dalam beberapa gelombang. Ketua Panja revisi UU Pilkada, Abdul Malik Haramain menjelaskan, pilkada gelombang pertama dilaksanakan Desember 2015 untuk kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2015 dan semester pertama 2016. Sedangkan gelombang kedua dilaksanakan Februari 2017 untuk akhir masa jabatan semester kedua tahun 2016 dan seluruh kepala daerah yang akhir masa jabatannya tahun 2017. Selain itu Pilkada serentak nasional yang dalam UU Pilkada diatur tahun 2021 diundur menjadi tahun 2027 untuk meminimalkan pemotongan masa jabatan kepala daerah dan pelaksana tugas kepala daerah.
Tahapan uji publik (Pasal 38) diganti dengan sosialisasi serta dilaksanakan oleh parpol, gabungan parpol, perseorangan, dan penyelenggara pilkada. Syarat kemenangan juga diusulkan diubah, dari minimal 30 persen (Pasal 109) menjadi 25 persen suara sah. Sementara untuk mekanisme pencalonan dan pemilihan, delapan dari sepuluh fraksi mengusulkan diubah. Tidak hanya gubernur, bupati, dan wali kota yang dipilih, tetapi satu paket atau berpasangan dengan wakil masing-masing.
Kini, pelaksanaan Pilkada langsung serentak telah diagendakan pada tanggal 9 Desember 2015 mendatang. Meski masih dibayangi kehawatiran kesiapan penyelenggaraan, Pilkada serentak merupakan sejarah dan prestasi bangsa yang perlu dikawal bersama, apalagi perjalanannya yang berliku hingga akhirnya bisa disahkan sebagai sistem pemilihan kepala daerah. Pilkada serentak ini pun kelak akan digabungkan pada secara nasional pada tahun 2027, sehingga rezim pemilu di Indonesia semakin sederhana, pemilu legislatif dibarengi pemilu presiden dan wakil presiden, serta pemilu kepala daerah. Semoga langkah maju tersebut bisa terlaksana dengan baik. (pin)
No comments