Header Ads


  • Breaking News

    Menyongsong Pilkada Langsung Serentak


    Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung secara serentak tidak lama lagi dilaksanakan. Setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 2015 tentang Pilkada, segera pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengebut persiapan gelaran pesta demokrasi lokal yang telah menjelma menjadi pesta demokrasi nasional melalui penyelenggaraannya yang serentak ini. Jika tidak ada hambatan, Pilkada serentak pertama akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015 yang meliputi 269 Provinsi dan Kabupaten/Kota.

    Dengan jumlah keseluruhan 34 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota di Indonesia, tentunya dapat dikatakan penyelenggaraan Pilkada hampir tiap dua hari sekali. Hal inilah yang menjadi cerminan agar pelaksanaan Pilkada bisa segera dilakukan efesien, menghemat biaya dan tenaga. Pilkada yang telah dilaksanakan di Provinsi Aceh dan Sumatera Barat bisa dijadikan contoh penghematan anggaran. Sebab, biaya penyelenggaraan pemilukada dapat dipangkas hingga 60 persen setelah Aceh menggabungkan pelaksanaan pemilihan gubernur dengan 17 pemilihan bupati, dan Sumatera Barat menggabungkan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/walikota.


    Wakil Ketua Komisi II DPR, Ariza Patria menyebut pelaksanaan pilkada serentak patut disambut, karena percaya atau tidak, rezim pemilu di Indonesia termasuk yang paling kompleks di dunia. Ariza mensinyalir, salah satu sebabnya adalah karena banyaknya gelaran pilkada. “Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan setiap waktu nampaknya membuat masyarakat jenuh untuk menggunakan hak pilihnya dengan rentang waktu yang berdekatan. Keadaan tersebut turut dipicu jenuhnya masyarakat mendengarkan janji-janji kampanye. Bahkan jika diperparah oleh minimnya realisasi janji kampanye, menimbulkan "distrust" pada pemilu dan pesertanya baik partai politik maupun kandidat yang berakibat meningkatnya angka golput dari waktu ke waktu,” jelas mantan komisioner KPUD DKI Jakarta ini.


    Munculnya wacana pilkada serentak sejak beberapa tahun terakhir karena dipandang efisien dari sisi biaya dan waktu. Penyelenggaraan pilkada yang begitu banyak di Indonesia dan terjadi hampir sepanjang tahun dinilai sangat membebani anggaran negara dan merepotkan pemilih. Menurut FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), kewajiban membiayai pilkada bagi daerah, termasuk yang kemampuan fiskalnya rendah, mengurangi belanja pelayanan publik, seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Apalagi, sekitar 65 persen dari anggaran penyelenggaraan pemilu tersebut merupakan honor petugas yang dibayarkan pada setiap kegiatan pemilu.


    "Biaya pilkada untuk kabupaten/kota sebesar Rp25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada sebaiknya dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD," kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional FITRA (Seknas Fitra) Yuna Farhan.
     

    Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya. Kini, dengan segala pertimbangan itu jalan menuju pilkada serentak pun dimuluskan.

    Menurut Siti Zuhro, peneliti LIPI, pada tataran konsep, pilkada oleh rakyat tak hanya terkait erat dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah, tapi juga berkorelasi positif pada terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Meskipun secara teoretis argumentasi ini bisa diperdebatkan, tak sedikit akademisi yang percaya pilkada langsung merupakan prasyarat terwujudnya pemerintahan daerah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel (good governance). Namun, berhasil tidaknya jelas bergantung pada komitmen stakeholders terkait meminimalisasi kecenderungan perilaku menyimpang.


    Peningkatan kualitas pilkada tak hanya ditentukan perbaikan undang-undangnya, tapi juga perbaikan pelaksanaannya. Dengan pilkada serentak diharapkan ada penyempurnaan pelaksanaan pilkada. Perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah, misalnya, diharapkan dapat lebih bersinergi. Pilkada serentak juga akan menciptakan banyak pejabat (pj) gubernur/bupati/wali kota. Masa jabatannya yang cukup lama karena menanti waktu pilkada serentak bisa membuat kinerja pemda kurang efektif. Penanganan keamanan juga menjadi persoalan serius bila kerusuhan akibat pilkada terjadi serentak di sejumlah daerah. “Sejauh ini belum ada referensi penyelenggaraan pilkada serentak di negara lain, di Indonesia merupakan pertama kali,” ungkapnya.


    Pilkada serentak harus didukung tekad kuat semua pihak, baik partai po¬litik, KPU, Bawaslu, pemerintah/bi¬rokrasi, pemda, aparat penegak hukum maupun civil society. Mereka harus berusaha keras mewujudkan pemerintahan daerah yang baik. Nilai-nilai demokrasi (saling menghormati, saling memper¬cayai, saling mendengarkan, toleransi, egaliterianisme, partisipasi) dan perilaku demokratis menjadi tolok ukur penting sukses pilkada. Penegakan hukum ada¬lah keniscayaan. Tanpa itu, pilkada se¬rentak hanya menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan sosial dan politik.
     


    Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafrie mengingatkan untuk mewujudkan harapan rakyat atas pilkada serentak, beberapa hal perlu dicermati. Pertama, penegakan hukum harus hadir sejak tahap awal pilkada. Aturan main harus jelas, tegas, mengikat, termasuk sanksi/penalti bagi yang melanggar. Kedua, KPU daerah dan Bawas¬lu/Panwaslu daerah harus netral secara politik, profesional, dan tidak partisan. KPU dan Bawaslu perlu mengantisipasi parpol yang masih mengalami dualisme kepengurusan. Bawaslu/Panwaslu daerah harus proaktif, tak hanya menunggu laporan. Banyaknya penyimpangan oleh peserta pilkada tak semestinya terulang lagi. KPU dan Bawaslu harus siap, baik secara administratif, substantif maupun anggaran.
     

    Ketiga, partai politik harus solid dan tidak sedang friksi. Mereka harus mam¬pu mengusung calon yang amanah yang tidak kontroversi. Keempat, pentingnya kesiapan dana pilkada dalam APBD. Setiap pemda harus mendukung terlak¬sananya pilkada, termasuk pencairan dananya. Ketidaksiapan Papua, misalnya, mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015 dengan alasan waktunya bersamaan dengan acara keagamaan dan liburan seharusnya tak perlu terjadi.
     

    Kelima, sosialisasi pilkada harus massif, efektif, dan substantif karena ini bagian integral pencerahan dan pendidikan politik warga lokal. Media massa, media sosial, dan lembaga survei harus ikut mendorong sosialisasi pilkada dan konsolidasi demokrasi lokal, ikut menyuarakan dan rnencegah praktik buruk. “Semakin tinggi tingkat edukasi masyarakat, akan semakin rasional mereka memilih calon kepala daerah. Praktik vote buying yang muncul dalam pilkada harus dikurangi pilkada tak beralih dari rakyat untuk elite,” ungkap alumni pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia ini.
     

    Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi juga mengungkap kehawatiran, berdasar pengalaman penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada. Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu” tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye.
     

    Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota. Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.

    Keberhasilan pilkada serentak sangat ditentukan oleh persiapan matang stakeholders terkait pilkada. Mereka harus menunjukkan perilaku yang dewasa, bersinergi, dan koordinatif. Stakeholders harus selalu menimbang dampak positif dan negatif perilakunya. Negara dan bangsa ini terlalu mahal dikorbankan hanya untuk kepentingan politik sempit. Dengan ini pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 269 daerah diharapkan bukan saja dapat menghasilkan kepala daerah yang baik, tetapi juga menjadi role model pilkada serentak nantinya.


    Sebaliknya, bila persiapannya masih sangat kurang, sudah seharusnya pilkada serentak tak dipaksakan untuk berlangsung pada Desember tahun ini juga. Demi NKRI, konsolidasi atau kualitas demokrasi lokal dan proses pembelajaran demokrasi, penundaan bukanlah sesuatu yang memalukan. (mail)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad