Momok Bernama Penggusuran
Potret pembangunan di sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk Ibukota Jakarta, belum juga menunjukan keberpihakan pada rakyat kecil. Penggusuran perkampungan warga misalnya, adalah potret pembangunan yang hingga kini masih digemari para pengambil kebijakan, tak terkecuali bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sehingga bisa dikatakan, penggusuran merupakan momok menakutkan bagi warga miskin Ibukota Jakarta yang sebagian besarnya memang tinggal di wilayah rentan penggusuran seperti di bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, kolong jembatan, atau di tempat-tempat lain yang bukan haknya.
Sejak menjadi Plt. Gubernur DKI Jakarta dan resmi dilantik menjadi Gubernur pada 19 November 2014, Basuki Tjahaya Purnama nampak makin galak dalam urusan penggusuran dan penertiban. Tercatat penertiban pedagang kaki lima di Tenabang dan Monas menyita perhatian dan menjadi pemberitaan nasional. Selain itu, penggusuran pemukiman warga terjadi di Rajawali, Muara Angke, Marunda, Bantaran Ciliwung, dan berbagai tempat lainnya di Jakarta. Atas kebijakan ini, tak urung Gubernur Basuki telah mendapat julukan baru, “momok orang cilik namun sahabat orang kaya”.
Pemerintah Provinsi DKI memang berulang kali menegaskan bahwa penggusuran akan terus dilakukan pada warga yang menempati lahan yang bukan haknya. Mereka yang tinggal di bantaran sungai harus digusur karena keberadaan mereka mengganggu kelancaran aliran air. Begitu pula warga yang tinggal di pinggiran rel, jalur hijau dan sejumlah tempat terlarang lainnya, harus bersiap digusur dari rumah yang telah mereka huni selama ini. Sebanyak 3.433 kepala keluarga (KK) dan 433 unit usaha telah menjadi korban dalam kasus penggusuran sepanjang 2015 ini, dimana 2.484 KK menjadi korban penggusuran paksa.
Kenyataan ini dikemukakan Kepala Divisi Penelitian dan Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum LBH Jakarta, Pratiwi Febry. LBH Jakarta mencatat pada tahun 2015 yang baru berjalan separuh waktu ini telah terjadi 26 kasus penggusuran paksa di Jakarta, dengan rincian 10 kasus di Jakarta Timur, 7 kasus di Jakarta Utara, 4 kasus di Jakarta Selatan, 3 kasus di Jakarta Pusat dan 2 kasus di Jakarta Barat. Menurut Pratiwi, berdasar hasil penelitian sepanjang tahun 2015, Pemprov DKI merupakan pelaku dalam penggusuran paksa dengan jumlah 21 kasus. Parahnya, 50% dari kasus penggusuran paksa tersebut, meninggalkan warga dalam keadaan tanpa solusi sama sekali, baik relokasi, ataupun ganti rugi.
Pratiwi menyayangkan sikap Pemprov DKI yang melakukan penggusuran paksa tersebut, karena seharusnya Pemprov DKI memposisikan diri sebagai pelindung hak warga, bukan menjadi pelaku pelanggaran. LBH Jakarta bertekad melanjutkan pelanggaran tersebut karena tidak sesuai dengan standar HAM. "Dalam penelitian kami 26 kasus penggusuran paksa dilakukan tanpa musyawarah sama sekali, 10 kasus tidak mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi layak bagi warga terdampak dan pada 25 kasus warga mendapatkan intimidasi lewat kehadiran alat berat serta keterlibatan aparat yang bersenjata lengkap," tutupnya.
Mengapa Pemprov DKI Jakarta demikian bersikukuh menggusur orang miskin dan bukannya mengatasi kemiskinan? Menurut Ketua PW AMMDI DKI Jakarta, Fahman Habibie, konsep ibukota sebagai badan usaha sekaligus pasar, berkonsekuensi menjadi gagasan terselubung, bahwa sebuah ibukota yang berhasil hanya apabila dihuni individu-individu yang berhasil secara ekonomi. Keberhasilan individu diukur dari tingginya tingkat ekonomi warganya, sehingga semakin ibukota dihuni banyak individu berdaya ekonomi tinggii, makin berhasil ibukota itu sebagai badan usaha. “Implikasinya, ibukota dirancang hanya untuk mereka yang berdaya ekonomi tinggi, sementara orang-orang miskin yang ada di luar jangkauan pasar, menjadi sasaran penertiban dan penggusuran,” ujar Fahman.
Menurut pandangan Fahman, cara pandang tersebut secara terselubung dijalankan sebagai sebuah kebijakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan tangan besi yang menggusur informalitas, seperti permukiman miskin, PKL, dan pedagang pasar Inpres yang identik dengan ruang hidup orang miskin. Penggusuran atas ruang hidup kaum miskin itu dijalankan dengan beragam dalih, seperti penegakan hukum (Perda Ketertiban), pembangunan fasilitas publik dan swasta, mewujudkan kebersihan, keindahan dan kenyamanan (Perda K3), dan alasan lainnya. “Meski dibungkus dengan logika penegakan hukum, ketertiban atau keindahan-kebersihan-kenyamanan kota, substansi penggusuran tetaplah pengusiran orang miskin dan bukan penghapusan kemiskinan,” cetus mantan aktivis BEM Nusantara ini.
Penertiban dan penggusuran makin menutup kota Jakarta bagi orang miskin, sehingga Pemprov DKI menyangkal eksistensi dan jati diri ibukota Jakarta. Bila mengacu pada esensi sebuah kota, ibukota Jakarta kini sebenarnya tidak lebih dari sekadar kontainer yang miskin makna dan tidak pantas lagi menyandang identitas sebagai sebuah ibukota. Sebab, fungsi-fungsi yang mendasarinya telah dihilangkan, dimana sebuah kota seharusnya menjalin kesimbangan fungsi-fungsi sebagai ruang privat (hunian), ruang ekonomi, ruang publik (taman, lapangan, dll), dan ruang sakral (tempat beribadah, berziarah). Sebuah kota niscaya dibangun atas usaha kolektif (yang miskin dan kaya), ekonomi, sosial dan politik untuk mencapai tujuan hidup bersama sebagai komunitas manusia. Sebagai ruang sosial, hakikat kota adalah keseimbangan antara ruang kehidupan sehari-hari (space of spatial practice), ruang ideologi-politik- ekonomi (representations of space), dan ruang simbol dan kesan (representational space).
Rakyat yang digusur mungkin bertanya-tanya mengapa Pemprov DKI tidak mengindahkan konstitusi yang mewajibkan pemerintah untuk melindungi orang miskin, seperti yang diungkapkan pasal 33 UUD 1945. Mereka juga mungkin bertanya-tanya mengapa penggusuran terus berjalan, sementara TAP MPR Nomor 17/1998 menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak akan tempat tinggal. Penggusuran telah membuat orang miskin semakin miskin, apalagi jika dilakukan dengan kekerasan. Mereka memerlukan tempat tinggal dan pemerintah hendaknya memikirkan hal itu. Baik Pemprov DKI maupun pemerintah pusat dalam beberapa kesempatan telah mengungkapkan niat membangun rumah susun bagi orang miskin, termasuk untuk korban penggusuran. Tetapi, hingga kini pembangunan rusun tersebut berjalan lambat, tidak secepat realisasi penggusuran.
Membangun Tanpa Menggusur
Pembangunan, sejatinya merupakan alat kemajuan yang ditujukan untuk menghadirkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, nyaman, dan bahagia. Hanya saja, tujuan mulia ini acapkali justru menjadi tameng penguasa untuk menggusur warga. Kata pembangunan seakan menjadi mantra sakti, selain alasan pembenar untuk menggusur warga. Sudah tidak terhitung lagi jumlah warga Jakarta yang terancam serta dirugikan oleh proyek yang bernama pembangunan. Sebut saja, kawasan yang sebelumnya daerah perkampungan kumuh, tidak sedikit telah bersalin rupa menjadi hamparan bangunan gedung pencakar langit. Akibatnya, warga harus tersingkir dan berpindah ke tempat lain.
Ketua Umum Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), Bursah Zarnubi, pembangunan bukan lah dalih untuk melakukan apa saja, apalagi sampai menyingkirkan rakyat kecil. Pemerintah harus mencari jalan keluar, agar pembangunan sedapat mungkin bisa berjalan sebagaimana tujuan utamanya. Pembangunan yang benar-benar mampu mendorong serta meningkatkan kualitas derajat hidup manusia, seperti tersedianya rumah layak huni, fasilitas kesehatan memadai, ruang dan fasilitas publik, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) mencukupi. “Bagi kota Jakarta, menghadirkan pembangunan yang ramah sosial serta ramah lingkungan bukanlah sebuah kemustahilan, karena Jakarta memiliki aneka potensi dan sumber daya melimpah, disamping memiliki sumber pendanaan yang mencukupi,” ungkap Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) ini.
Bursah Zarnubi, Ketua Umum Perhimpunan Gerakan Keadilan |
Kata Bursah, permasalahanya ada pada level political will pengambil kebijakan karena konsep membangun tanpa menggusur, sesungguhnya tidak sulit dilaksanakan. “Misalnya, sebuah perkampungan kumuh dan padat yang dibayang-bayangi penggusuran, sangat mungkin disulap menjadi daerah yang mentereng, necis, layak, dan mempunyai daya ungkit pemberdayaan ekonomi bagi warga. Sederhana saja, sebuah kawasan perkampungan kumuh yang semula berjubel rumah warga, bisa ditata menjadi apik dan berfungsi tiga aspek. Rumah warga harus dibangun horizontal dengan model rumah susun 3 lantai, sehingga menyisakan lahan seluas sekitar 70 persen. Dari lahan seluas 70 persen ini kemudian dibagi untuk ruang publik serta RTH, seperti tempat bermain anak-anak, tempat ibadah dan lainnya. Sebagian lagi diperuntukkan sebagai kawasan bisnis yang dimiliki oleh warga sehingga bisa menjadi ladang kegiatan ekonomi produktif yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan warga,” paparnya detail.
Bursah percaya, konsep semacam ini sangat realistis dan tidak menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Tidak akan ada lagi cerita warga tergusur atau kisah pemiskinan karena pembangunan. Hanya saja, konsep pembangunan semacam ini, tidak bisa lepas dari peran pemerintah. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dengan membentuk Perseroan Terbatas (PT) yang dibebani tanggung jawab untuk membangun program penataan kawasan permukiman kumuh tersebut. Itu sebabnya, modal awal sebesar 50 persen harus berasal dari pemerintah, dan sebagian lagi merupakan modal warga. Andai modal warga tidak mencukupi, bisa saja menggandeng investor untuk menanamkan modal dengan pembatasan tertentu. “Pembangunan dengan model ini, terang akan menempatkan warga bukan sebagai objek untuk digusur, melainkan subyek pembangunan. Warga masih tetap memiliki, dan bahkan mempunyai potensi meraup untung dari kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan bisnis atau usaha,” tutupnya.
Konsep pembangunan yang memberdayakan seperti ini lah yang harus dijalankan, agar warga Jakarta tidak terusir dari tanah kelahirannya. Melalui konsep ini, Jakarta bisa berbenah dengan menjadikan kawasan perkampungan kumuh menjadi kawasan yang sehat, nyaman, aman, dan sejahtera sebagaimana harapan warga Jakarta dan pemerintahnya. (mail)
No comments