Menanti Ujung Perpecahan Beringin (Bagian III-Habis)
Berkelanjutannya konflik internal Partai Golkar telah membuat gerah kader-kadernya di seluruh Indonesia. Selain ekskalasi konfliknya telah sampai di daerah lewat klaim kepengurusan dan perebutan kantor, makin dekatnya pelaksanaan Pilkada langsung serentak tahun 2015 juga menambah persoalan. Seperti diketahui, meski secara nasional Partai Golkar belum mampu memenangkan Pilpres pasca reformasi 1998, namun eksistensi Partai Golkar di daerah masih sangat kuat. Hal ini terbukti dengan keterpilihan lebih dari 200 kepala daerah, dari Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di seluruh Indonesia, baik yang diusung sendiri maupun berkoalisi dengan partai lain.
Pelaksanaan Pilkada serentak di sebanyak 9 provinsi dan 308 kabupaten/kota pada akhir tahun 2015 telah menimbulkan kepanikan tokoh-tokoh Golkar daerah. Hingga kurang dari tiga minggu lagi pendaftaran calon dilakukan, belum juga ada kepastian terkait keabsahan kepengurusan DPP Partai Golkar mana yang berhak merekomendasi calon Pilkada. Kepanikan itu jelas terlihat ketika banyak tokoh-tokoh kuat Golkar di daerah, termasuk para incumbent, mendaftarkan diri di partai politik lain atau maju dari jalur perseorangan (independen).
Upaya islah sementara demi keikutsertaan Partai Golkar dalam pilkada serentak yang digagas Wapres Jusuf Kalla nampaknya sudah bubar sebelum mulai terealisir. Muaranya tetap pada pertanyaan paling pokok, kubu mana yang berhak dan absah menandatangani rekomendasi pasangan calon. Bahkan sejak kesepakatan islah sementara ditandatangani, kedua kubu sudah meragukan efektivitas kesepakatan damai, seperti Bambang Soesatyo di kubu ARB dan Leo Nababan dari kubu Agung Laksono.
Di sisi lain, netralitas penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU pusat juga patut dipertanyakan, ketika menyebut hanya kepengurusan hasil islah yang bisa mendaftarkan calon Pilkada. Hal ini dikemukakan KPU setelah putusan sidang PTUN Jakarta Barat membatalkan SK Menkumham yang mengesahkan Agung Laksono, serta putusan sidang provisi PN Jakarta Utara yang memerintahkan Partai Golkar status quo sehingga dikembalikan pada hasil Munas sebelumnya, yaitu kepengurusan hasil Munas VIII di Pekanbaru.
Pernyataan ini membuat KPU nampak seperti memasuki area konflik internal PPP dan Partai Golkar, dua parpol yang masih dilanda konflik internal hingga kini. Apalagi pengajuan SK sebuah kepengurusan partai politik ke menkumham, harus lah kepengurusan hasil kongres/munas atau muktamar parpol tersebut, bukan hasil penggabungan kepengurusan hasil permusyawaratan tertinggi yang berbeda meskipun itu kepengurusan hasil islah.
Tidak heran kemudian muncul desakan agar pelaksanaan pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember 2015 mendatang ditunda, karena terancamnya keikutsertaan dua parpol yang memiliki kursi signifikan di DPR dan kekuatan politik di daerah-daerah. Tidak disertakannya PPP dan Partai Golkar dalam pilkada langsung 2015, merupakan pukulan besar bagi legitimasi hasil pilkada dan keterpilihan kepala daerah di 208 kabupaten/kota dan 9 provinsi.
Skenario Menghancurkan Partai Golkar
Berlarutnya konflik internal Partai Golkar yang dibumbui dugaan keterlibatan beberapa faksi di lingkaran kekuasaan, telah menimbulkan pertanyaan serius akan kemungkinan adanya skenario besar untuk merontokkan Partai Golkar. Skenario ini bisa saja benar, melihat peta politik Indonesia pasca Pilpres 2014, dimana PPP dan Partai Golkar merupakan bagian dari Koalisi Merah Putih yang mengambil sikap beroposisi dengan pemerintahan Jokowi-JK. KMP yang mayoritas di DPR jelas merupakan ancaman bagi program-program pemerintahan Jokowi-JK, mengingat hampir semua kegiatan pembangunan, anggaran, regulasi, dan pemilihan beberapa pimpinan lembaga Negara dan komisi Negara, perlu mendapat persetujuan DPR.
Pun dalam perjalanan politik Indonesia pasca reformasi, upaya ‘ambil alih kemudi’ sebuah parpol pasca Pilpres bukanlah sesuatu yang asing. Upaya memperkuat posisi koalisi pemerintah di DPR agar mayoritas dan berkemampuan memuluskan agenda dan program kekuasaan juga sudah menjadi ‘tradisi’ dalam politik Indonesia. Partai Golkar adalah fenomena nyata atas ‘tradisi’ ambil alih tersebut, sejak pemilu presiden 2004 hingga pemilu presiden 2014. Bedanya, upaya ambil alih itu berlangsung cukup mulus pada Munas Partai Golkar pasca Pilpres 2004 dan 2009, sementara pada era Jokowi-JK, nampaknya agenda tersebut tersendat dan malah menghasilkan kepengurusan ganda dari dua munas yang berbeda.
Kegagalan mengambil alih Partai Golkar untuk dibawa ke koalisi pemerintah, menimbulkan pertanyaan. Apakah hal tersebut semata karena kokohnya pengaruh Aburizal Bakrie di internal Golkar, meskipun koalisi yang dibangunnya dalam Pilpres mengalami kekalahan, ataukah karena pemerintahan Jokowi-JK yang lebih lemah dibandingkan pendahulunya, SBY? Bisa pula menjadi pertanyaan, jangan-jangan ada upaya ‘operasi ambil alih’ yang disengajakan gagal untuk merusak Partai Golkar?
Pertanyaan kedua ini masuk akal, karena meskipun kadar kecintaan pengurus Golkar pada ARB memang terbilang cukup tinggi, mengingat totalitasnya mengurus partai dan keberhasilannya menempatkan kader-kader Golkar pada pimpinan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, bahkan konon ARB merupakan salah satu ketum partai yang tidak pasang tarif bagi calon-calon kepala daerah yang direkomendasi, namun kekuasaan dengan segala atribut dan instrument yang dimiliki seharusnya tidak sedemikian repot untuk memenangkan kandidat yang didukungnya pada Munas Partai Golkar.
Situasi yang sama juga terlihat ketika keputusan PTUN Jakarta Barat memenangkan gugatan kubu ARB, menkumham sebagai pihak tergugat langsung mengajukan banding. Begitu pula ketika Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam putusan selanya memutuskan kepengurusan Agung Laksono tidak berlaku dan hingga ada keputusan tetap pengadilan yang mengisi kekosongan DPP Partai Golkar adalah kepengurusan hasil Munas Pekanbaru, lagi-lagi menkumham tidak menggubrisnya.
Kecenderungan ketidaksolidan pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya jadi terlihat jelas pada sikap pemerintah soal revisi UU Pemberantasan Korupsi (KPK). Permintaan Menkumham untuk menjadikan agenda revisi UU KPK sebagai prolegnas prioritas tahun 2015 di DPR pada awal Mei 2015 direspon DPR, bahkan kemudian ditetapkan DPR pada sidang paripurna bulan Juni 2015. Sikap Menkumham ini rupanya berbeda dengan pendirian Presiden Jokowi yang kemudian memanggil Menkumham Yassona Laoly. Presiden Jokowi dengan tegas meminta menteri Yassona untuk menarik rencana revisi UU KPK. Tarik ulur sikap pemerintah terkait revisi UU KPK ini kemudian memantik pertanyaan DPR, seperti lagu lama yang populer, “kau yang memulai, kau yang mengakhiri..”
Situasi yang sama sangat masuk akal juga terjadi dalam kasus konflik internal Partai Golkar, dimana Menteri Yassona punya ‘tuan lain’ diluar atasan resminya, Presiden Jokowi. Jika memang skenario menghancurkan Partai Golkar itu memang ada, sangat mungkin berasal dari sang ‘tuan lain’ yang beberapa kali telah menyebabkan Menkumham terlihat melakukan insubordinasi. Bisa dibilang, ada operasi gelap guna merontokkan Partai Golkar, yang dilakukan tanpa ‘stempel’ istana.
Partai Golkar yang berlambang pohon beringin bukan lah partai baru tumbuh, melainkan partai yang telah mengakar di tengah rakyat. Partai Golkar juga merupakan partai modern, jika kita mengacu pada teori politik yang menyebutkan ciri-ciri partai politik modern, dimana hampir semua kategorinya ada di Partai Golkar. Melumpuhkan Partai Golkar dengan melumpuhkan tokoh-tokoh kuncinya, jelas tidak akan berefek karena Golkar tidak bertumpu pada ketokohan elit-elitnya. Mengganggu Golkar dengan opini hitam, setelah berulang kali terjadi tetap saja tidak berhasil menempatkan Partai Golkar ke kelas parpol medioker. Maka satu-satunya cara adalah merusak organisasinya, karena dengan cara itu gangguannya akan sampai ke level terendah organisasi.
Mampukah Partai Golkar melewati situasi ini? Nampaknya hal tersebut akan menjadi ujian terberat elit-elit Partai Golkar, bahkan untuk setidaknya untuk memastikan keikutsertaan kader-kadernya dalam kontestasi pemilihan kepala daerah pada akhir tahun ini. Namun historisitas dan modal kekinian Partai Golkar nampaknya menunjukkan, bahwa tidak semudah itu membuat akar beringin tercerabut meski diterpa badai konflik, bahkan ketika konflik itu merupakan skenario besar untuk menghacurkan Partai Golkar. (ihm)
No comments