Menggugat Komodifikasi Ramadhan
Sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan tiba, bulan penuh berkah yang selalu dinantikan kaum muslimin di seluruh dunia. Kurang dari sepekan bulan puasa menjelang, suasananya sudah terasa dengan ramainya kaum muslimin berziarah, umrah ke tanah suci, berbelanja kebutuhan di pasar dan pusat perbelanjaan, serta gencarnya tayangan dan iklan yang bernuansa Ramadhan di televisi. Segala persiapan tersebut merupakan hal yang wajar, seperti mempersiapkan perlengkapan shalat taraweh, membersihkan masjid dan musholah, atau mengunjungi orang tua, karena bagi ummat Islam, kegembiraan dan suka cita menyambut Ramadhan adalah keniscayaan, bulan puasa adalah bulan dari segala bulan.
Namun ummat Islam juga perlu kritis, sehingga tidak menelan mentah-mentah semua kemeriahan tersebut. Apalagi di era dimana komersialisasi agama berlangsung demikian deras, jangan-jangan sebagian atau malah sebagian besarnya, kemeriahan tersebut justru bergeser dari hakikat yang sesungguhnya dan merupakan bagian dari komersialisasi Ramadhan. Konser dan festival, pengajian agama dan pesantren kilat berbayar mahal, pembelajaran membaca Alqur’an di hotel mewah, dan sinetron Ramadhan di layar kaca, patut kita curigai sebagai bentuk komodifikasi Ramadhan, dengan menjadikan moment Ramadhan sebagai komoditas bisnis.
Secara sosiologis, agama bukan hanya sesuatu yang bersifat dokrinal-ideologis, tetapi muncul dalam bentuk-bentuk material dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga agama, dalam konteks ini, dipandang sebagai bagian dari kebudayaan. Artinya, agama adalah tentang cara seseorang menjalankan agamanya, berupa praktik keagamaan, bukan sekedar dokrin keagamaan samata. Islam misalnya, dimaterialisasikan dalam bentuk kultural seperti jilbab, sarung, pengajian, mudik lebaran, dan sebagainya yang dipandang menjadi bagian dari ideologi Islam itu sendiri. Bentuk material agama tersebut, merupakan keniscayaan peradaban yang dapat bergeser seiring perkembangan zaman.
Perubahan sosial yang disebabkan modernisasi dan globalisasi, telah mengarahkan masyarakat untuk memilih segala sesuatu yang dianggap sesuai dengan dirinya, termasuk dalam soal praktik keagamaan individual. Modernisasi telah menyediakan perangkat alat yang mendukung ‘privatisasi’ agama terjadi, melalui TV kabel, internet, sosial media dan lain-lain. Perubahan dalam proses dan cara memperoleh pengetahuan agama tersebut, ternyata secara langsung telah mempengaruhi kehidupan spiritualitas masyarakat modern. Tanpa perlu repot menghadiri majelis taklim, pemirsa televisi bisa memperoleh pengetahuan agama melalui tayangan “Curhat Mamah Dede” misalnya. Namun tidak semua tayangan keagamaan tersebut sesuai dengan ajaran Islam, terkadang justru melenceng karena kepentingan bisnis. Apabila dicermati, tayangan sinetron-sinetron religi di televisi, justru terkadang jauh dari kebenaran agama.
Kapitalisme, yang selalu menyertai modernisasi dan globalisasi, adalah sistem yang memproduksi komoditas-komoditas, dan secara alamiah penciptaan komoditas adalah inti dari kapitalisme modern. Menurut logika kapitalisme, segala sesuatu yang bernilai dan berharga tidak lebih dari komoditas yang diperdagangkan, termasuk urusan-urusan keagamaan, meski sebenarnya agama bukanlah benda-benda ekonomi. Kapitalisme ternyata juga telah menyulap agama menjadi komoditas komersil yang diperdagangkan. Jadi, komodifikasi Ramadhan bisa dimaknai sebagai upaya komersialisasi Ramadhan dan simbol-simbolnya, baik dokrin maupun kulturalnya, menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan.
Komodifikasi agama telah menjadikan agama sekedar komoditas bisnis, termasuk mendorong bulan Ramadhan menjadi momentum komersial yang memberi keuntungan luar biasa. Padahal, banyak ulama mengatakan, agama tidak boleh dijadikan barang dagang untuk memperoleh keuntungan dari penjualan dan perdagangan simbol-simbol agama. Bahkan, para ulama, ustadz, mubaligh, diminta tidak mengharapkan nafkah dari kegiatan dakwahnya. Para mubaligh pada era sebelum modernisasi telekomunikasi berlangsung, dianjurkan untuk memiliki kemandirian ekonomi agar aktivitas dakwahnya tidak mengganggu kewajiban pada keluarga. Para pendakwah era dulu meyakini, mengharapkan apalagi menerima upah dari kegiatan dakwah merupakan hal yang tabu.
Komodifikasi bulan Ramadhan boleh jadi membuat suasana Ramadhan menjadi semarak dan penuh kemeriahan. Tetapi juga, bisa membuatnya menjadi dangkal karena bergerak sesuai kemauan pasar. Jika hal ini terjadi, kemeriahan Ramadhan niscaya telah kehilangan maknanya. Suasana semarak Ramadhan yang semu hanya akan menghadirkan kesadaran palsu bagi ummat Islam, bukan kesadaran sejati sebagaimana yang diharapkan agama. Padahal, kesadaran sejati lah yang dapat membawa kita pada ketakwaan.
Fenomena komodifikasi Ramadhan sudah menjadi hal yang jamak pada tahun-tahun belakangan ini. Nyaris semua pelaku bisnis dan perusahaan berlomba-lomba menyambut Ramadhan lewat produk dan layanan khusus, seperti perusahaan makanan, komunikasi, transportasi, hiburan, stasiun televisi, dan lain-lain. Kita perlu mencermati, bahwa tidak semua hal yang “berbau” Ramadhan tersebut merupakan hal yang positif bagi ummat Islam. Pesan konsumtif yang terkandung di dalamnya, terkadang membuat kita tidak sadar bahwa biaya jutaan rupiah yang dikeluarkan untuk sekedar mengikutsertakan anak dalam program pesantren Ramadhan di hotel berbintang, merupakan bentuk praktik keagamaan yang berlebihan, sehingga berpotensi mengerdilkan keistimewaan Ramadhan itu sendiri.
Jadi, marilah kita sambut Ramadhan ini dengan kesederhanaan saja, tetapi bertekad membuatnya istimewa dengan ibadah dan kebaikan. Andai kita memang meyakini bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan limpahan pahala, cukup lah kita mencari keberkahan dan pahalanya semata lewat ibadah puasa, shalat taraweh, dzikir, dan sadakah yang akan menuntun kita kepada kesucian diri. Cukuplah kita berupaya meraih keutamaannya dengan kegembiraan sewajarnya, lewat ekspresi ketakwaan bukan ekspresi keduniawian berlebihan. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-pintu neraka.” (HR. Ahmad).
Ton Abdillah Has
Ketua Umum Angkatan Muda MDI
No comments