Menanti ujung perpecahan beringin (Bagian II)
Pergolakan di tubuh Partai Golkar, ternyata tak hanya menyita perhatian pengurus partai, sejumlah tokoh Golkar yang cukup lama tidak berkecimpung juga menunjukkan perhatiannya. Tommy Soeharto adalah salah satunya, anak mantan presiden Soeharto ini kerap menyita perhatian media lewat postingan twitter. Tommy rajin mengingatkan para pihak yang bertikai untuk mengedepankan keadaban dalam proses penyelesaian sengketa, bahkan dalam satu kesempatan dia secara terbuka mengecam ulah anarkis yang dilakukan kelompok Yorris Raweyai. Tommy juga menyindir ARB yang dipandangnya tidak cukup akomodatif dalam mengurus partai. Entah punya agenda lain, seperti bersiap merebut Partai Golkar pasca ARB dan Agung, tapi kehadiran Tommy Soeharto dalam konflik beringin menghadirkan nuansa lain, setelah selama ini terkesan melulu terkait perseteruan kubu ARB versus Agung Laksono.
Kemunculan Tommy dalam konflik Golkar tak pelak menimbulkan pertanyaaan, apakah hal tersebut sebagai kuda-kuda dalam merebut kepemimpinan Partai Golkar di masa mendatang. Apalagi pada Munas VIII di Pekanbaru, Tommy merupakan salah satu kandidat ketua umum. Berbekal darah biru beringin, modal kapital dan performa politik yang tidak bisa diremehkan, kemunculan Tommy menjadi topik hangat di kalangan kader-kader Golkar, termasuk di daerah-daerah.
Penyelesaian Jalur Hukum
Selain upaya islah yang sudah digagas sejak selesainya Munas Bali dan Munas Ancol, kedua kubu menempuh upaya hukum, baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun Pengadilan Negeri (PN), termasuk pula langkah saling lapor ke kepolisian. Namun, upaya hukum yang paling menyita perhatian adalah gugatan kubu Munas Bali atas SK Menkumham yang mengesahkan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol di PTUN Jakarta Barat. Sengketa hukum ini juga mempertemukan dua pengacara kondang, Yusril Ihza Mahendra di kubu ARB dan OC Kaligis di kubu Agung Laksono.
Sidang pra peradilan menghasilkan putusan sela PTUN Jakbar yang menyebutkan bahwa SK Menkumham ditangguhkan demi kondusifitas politik nasional. Majelis hakim memandang, sebagai Partai Politik yang eksistensi politiknya banyak mempengaruhi kondisi politik dan kebijakan, konflik Golkar amat berpotensi menimbulkan kegaduhan politik. Sehingga sampai ada keputusan pengadilan, SK pengesahan DPP Partai Golkar untuk Agung Laksono ditangguhkan untuk sementara.Setelah sidang maraton selama hampir dua bulan, pada tanggal 18 Mei 2015, majelis hakim gugatan Golkar di PTUN Jakarta Barat yang diketua Teguh Satya Bakti mengabulkan gugatan kubu ARB. Putusan majelis menyebut keabsahan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Riau, setelah membatalkan dan memerintah SK Menkumham Yasona Laoly ditarik. Atas keputusan tersebut, OC Kaligis menyatakan akan mengajukan banding. Bahkan Agung Laksono secara terbuka menyatakan keputusan majelis hakim tidak adil dan berat sebelah.
Senin, 1 Juni 2015, putusan sela PN Jakarta Utara menguatkan putusan PTUN Jakarta Barat, dan memutuskan kepengurusan Golkar yang sah adalah DPP Golkar hasil Munas Riau 2009. Pengadilan juga memerintahkan hasil Munas Jakarta untuk menghentikan semua kegiatan atas nama DPP Golkar. "Pengadilan memerintahkan kepada Agung Laksono untuk menghentikan segala kegiatan, mengambil kebijakan dan keputusan mengatasnamakan DPP Golkar,” ungkap Bambang Soesatyo, Bendum DPP Partai Golkar hasil Munas Bali.
Islah sementara
Makin dekatnya pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, mendorong Wapres Jusuf Kalla menginisasi langkah islah. Setelah melalui pembicaraan dengan kedua belah pihak, akhirnya disepakati islah sementara. Islah sementara ini untuk mengantisipasi kegagalan Partai Golkar mengikuti Pilkada serentak tahun 2015 yang tahapan pencalonan kandidat resmi parpol dimulai pada akhir Juli 2015. Akhirnya, bertempat di kediaman Wapres JK, ARB dan Agung Laksono menandatangani kesepakatan islah sementara atau islah terbatas pada tanggal 30 Mei 2015.
Kesepakatan ini menetapkan pembentukan tim masing-masing lima orang dari DPP Partai Golkar dalam penyaringan calon kepala daerah. "Teknisnya, pelaksanaan islah di tingkat DPP satu tim masing-masing lima orang, di tingkat daerah tiga orang paling sedikit, tentu sesuai juga keadaan di daerah," kata politisi senior Golkar Jusuf Kalla seusai penandatanganan kesepakatan.Hal itu tertuang dalam lampiran dalam kesepakatan islah yang ditandatangani kedua kubu di kediaman Wakil Presiden di Jakarta.
Selain itu, dibuat prosedur untuk penjaringan calon yang akan diusulkan pada Pilkada serentak misalnya lewat survey. "Ini nanti kita selesaikan tahap demi tahap, yang terpenting Partai Golkar bisa mendaftarkan calon-calon untuk pilkada serentak," tambah mantan Ketua Umum Partai Golkar.
Kesepakatan bersama tentang keikutsertaan Partai Golkar pada Pilkada serentak tersebut berisi empat poin yaitu pertama, setuju untuk mendahulukan kepentingan Partai Golkar sehingga calon kepala daerah bisa diusulkan pada Pilkada serentak. Kedua, setuju untuk membentuk tim penjaringan bersama di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak tahun 2015, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ketiga, adapun calon yang akan diajukan harus memenuhi kriteria yang disepakati bersama. Keempat, untuk pendaftaran calon kepada orang yang diajukan Partai Golkar pada Juli 2015 ditandatangani oleh DPP Partai Golkar yang diakui oleh Komisi Pemilihan Umum.
Namun, langkah islah ala JK ini diragukan Akbar Tanjung akan bertahan dan terlaksana. Tokoh senior Golkar ini melihat, poin keempat kesepakatan sulit direalisasikan karena orientasi koalisi kedua kubu berbeda. Jika kubu ARB lebih mungkin berkoalisi dengan partai-partai KMP dalam pilkada, sebaliknya kubu Agung Laksono akan berkoalisi dengan partai-partai KIH. Ganjalan lainnya tentu adalah fakta salah satu kubu masih melakukan langkah hukum dengan mengajukan banding. Akbar justru ingin putusan final pengadilan bisa jadi payung Golkar untuk mendaftarkan kandidat dalam Pilkada. “Tapi apakah mungkin dalam dua bulan akan ada putusan pengadilan?” tanya Akbar.
Menerka Ujung Perpecahan
Lalu ke mana arah penyelesaian konflik internal Partai Golkar? Tentu itu sebuah pertanyaan krusial bagi para kader, warga dunia politik, serta publik secara keseluruhan. Perpecahan Golkar, tentu bukan semata jadi concern internal Golkar sendiri, karena secara keseluruhan amat berdampak bagi perpolitikan Indonesia. Meski saat ini posisioning politik Golkar berada di luar kekuasaan Jokowi-JK, namun keberadaan ratusan kepala daerah, wakil kepala daerah serta pimpinan DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota dari kalangan kader-kader Partai Golkar merupakan signifikansi yang tidak bisa diremehkan, mengingat perpecahan partai golkar dapat berdampak secara langsung pada lembaga-lembaga politik tersebut. Artinya, konflik internal Golkar bisa menyeret instabilitas pada lembaga-lembaga kunci negara.
Pengamat politik Universitas Paramadina, Herdi Saharsad berpendapat secara umum politisi Golkar memiliki kedewasaan berpolitik yang cukup baik. Pengalaman panjang partai politik tertua ini telah menempa kader-kadernya untuk dewasa, termasuk menyikapi perbedaan pendapat dan kepentingan. “Pertama, bukan kali ini Golkar mengalami goncangan politik, namun bedanya baru kali ini mengalami perpecahan terbuka hingga terjadi dualisme kepemimpinan. Biasanya kan salah satu faksi yang konflik akan keluar dari Golkar dan membentuk parpol baru, namun kali ini justru berujung pada kepengurusan ganda. Kedua, Golkar tidak memiliki tokoh sentral seperti PDIP, Demokrat dan PAN. Hal ini dalam kondisi konflik justru menjadi kekuatan, selama simpul-simpul utama di Partai Golkar mampu membangun komunikasi untuk mencairkan ketegangan,” ujar Herdi.
Herdi menilai ada dua skenario penyelesaian konflik di Golkar, yaitu penyelesian melalui jalur hukum sebagai pijakan untuk langkah rekonsiliasi politik, atau rekonsiliasi politik untuk menyelesaikan sengketa hukum. “Jika pilihannya adalah penyelesaian jalur hukum, maka resikonya harus ditanggung partai secara keseluruhan. Mengingat langkah hukum bisa memakan waktu yang lama, sehingga beban akibat konflik berkepanjangan tersebut harus ditanggung warga Golkar. Namun perlu dicatat, jika alternatif ini yang diambil, putusan hukum pun harus dibarengi upaya rekonsiliasi politik, agar Golkar tidak dirugikan secara elektoral pada pemilu mendatang,” jelas Herdi.
Menurut Herdi, jalan penyelesaian politik jauh lebih elegan, seperti melaksanakan Munas rekonsiliasi. Munas rekonsiliasi ini bisa dilakukan dengan dua opsi, pertama sebagai tempat bagi ARB dan Agung Laksono bersaing meperebutkan posisi ketua umum, atau justru keduanya melepaskan jabatan dan merelakan kader muda memimpin partai. “Namun pilihan itu juga mengandung konsekuensi, karena bisa mendorong ekskalasi konflik hingga ke pengurus daerah terkait keabsahan kepesertaan Munas,” tuturnya.
Herdi juga mengingatkan, bahwa konflik yang melanda Golkar dan PPP tidak bisa dilepaskan dari situasi pragmatisme politik yang makin mengkerdilkan partai politik itu sendiri. “Liberalisasi politik ini makin menghawatirkan, karena tidak saja terlihat pada sistem dan praktek politik yang diterapkan, namun juga telah merubah sikap para pelaku politik. Tujuan berpolitik menjadi sekedar mengejar kekuasaan dan kapital, sehingga mudah saja bagi para pelakunya untuk bermanuver dari posisi di luar kekuasaan lalu dibawa ke lingkaran penguasa. Akar konfliknya ini yang harus dicermati, jika tidak maka akan terus terjadi pengulangan,” tandas dosen Universitas Paramadina ini. (BERSAMBUNG).
No comments