Tanah kita dalam kuasa asing
Perkebunan milik pengusaha Malaysia di Riau. |
Sebagai negara dengan luas wilayah terluas ketiga di dunia, meskipun didominasi kepulauan, luas daratan Indonesia 195 juta hektar, dengan luas hutan (data tahun 2003) sekitar 103 juta hektar. Sebuah angka yang fantastis, apalagi jika dikaitkan dengan betapa suburnya tanah di negeri ini. Tak salah jika grup musik kenamaan Koes Plus menyanyikan lirik “tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…”, sebagai perumpamaan akan kekayaan kandungan tanah di bumi pertiwi. Inilah yang menjadikan Indonesia, sebagai rebutan negara-negara imperialis selama berabad-abad, karena cengkeh, pala dan hasil bumi Indonesia adalah jaminan kesejahteraan bagi negara penjajah.
Indonesia adalah negara agraris, dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah petani yang hidupnya bergantung pada tanah dan sumber daya alam. Sektor agraria, yang pernah menjadi primadona di era Orde Baru, seharusnya berkontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta mengatasi berbagai persoalan struktural seperti kemiskinan, pengangguran, laju urbanisasi, krisis pangan dan bencana ekologis. Namun sayang, luas lahan, tingkat kesuburan, dan besarnya tenaga kerja di sektor pertanian, ternyata tidak memakmurkan rakyat Indonesia. Setelah 70 tahun merdeka, keinginan untuk menjadikan sektor agraria sebagai modal dasar pembangunan hanyalah slogan belaka. Kini, tanah yang luas itu telah dikuasai asing melalui Kontrak Karya (KK) pertambangan dan migas, HGU perkebunan, dan HPH kehutanan. Sekitar 178 juta hektar (93% luas daratan Indonesia) telah dikuasai swasta, khususnya pemodal asing, dengan rincian sekitar 95 juta hektar untuk migas, 42 juta hektar untuk pertambangan minerba, 32 juta hektar untuk kehutanan, dan 9 juta hektar untuk perkebunan.
Padahal, para pendiri Republik, sadar sekali akan nilai strategis tanah sebagai alat produksi utama bagi kemakmuran rakyat. Proklamasi kemerdekaan yang diikuti nasionalisasi, termasuk nasionalisasi di bidang pertanian, serta lahirnya UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, merupakan bukti keberpihakan politik negara pada rakyat. “Di masa Raffles (1811) pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal 45 tahun, di masa Hindia Belanda (1870) boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun, namun di masa SBY hingga era Jokowi-JK (UU 25/2007), pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun”, ujar Salamudin Daeng, peneliti Institute Global Justice (IGJ).
Sehingga, bukan hal aneh jika petani sawit dan karet di Sumatera tersingkir oleh kuasa perkebunan milik Malaysia dan Singapura di tanah ulayat nya sendiri. Kasus ini terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia, sehingga menyebabkan kemelaratan rakyat di mana-mana. Efek lainnya, tentu saja memunculkan ketegangan bernama konflik agraria, seperti kasus Tebo dan Banyuwangi. “Lebih dari 50% kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing, dan hasilnya 90% dikirim dan dinikmati negara-negara maju”, tandas Daeng.
Indonesia adalah eksportir sawit terbesar, bersama Malaysia kita menguasai 80% lebih perdagangan sawit dunia. Namun sebagian besar kebun sawit adalah pengusaha Malaysia dan Singapura. Bahkan, pabrik olahan sawitnya dibangun di Malaysia dan Singapura. Padahal, sawit mempunyai 38 produk turunan (bahkan ada yang menyebut 100 an lebih). Indonesia tidak mendapat nilai tambah dari sawit, justru yang terjadi adalah ketimpangan besar antara pengusaha dengan rakyat yang hidup di sekitar perkebunan (A.Prasetyantoko,2010). Sungguh paradoks, jika mengingat jutaan buruh Indonesia (TKI) yang dieksploitasi di perkebunan-perkebunan Malaysia, dan banyak diantaranya dipulangkan dalam keadaan cedera.
Lihat lah deskripsi petani Karawang, Jawa Barat, dimana luas lahan rata-rata yang dimiliki petaninya hanya 0,33 ha, dengan nilai pendapatan Rp 900 ribu/bulan). Jika dibandingkan dengan angka “hidup layak minimal” buruh di Karawang sebesar 3 jt rupiah/bulan, maka petani Karawang bukan hanya pahlawan bagi warga kaya di Jakarta, tetapi juga pahlawan bagi buruh di sentra-sentra industri di Karawang. Tapi siapa yang peduli dengan mereka? Benarkah mereka tersentuh pembangunan, mampu menyekolahkan anak, bisa berobat kalau sakit, atau bisa makan ketika sawahnya tergenang banjir? Semoga kita ingat dan mendoakan petani Karawang dan semua petani Indonesia, dalam setiap suap nasi yang kita makan.
Kita memang perlu melakukan reformasi total atas politik agraria, agar keberpihakan kembali kepada rakyat. Saatnya kita perlu memperkuat regulasi, agar UU Pokok Agraria (UUPA) dapat diturunkan menjadi kebijakan yang memihak kepentingan nasional. (min)
No comments