Cahaya islam dari new york
Adressing muslim day parade di NYC. |
Islam dan barat adalah dua kata yang sering dikontradiksikan, khususnya di negara-negara barat dimana Islam tak jarang dihujat dan dituding sebagai agama teroris. Hingga hari ini berbagai isu radikalismedi beberapa negara maju acap dikaitkan dengan tema Islam, terutama di AmerikaSerikat. Entah dari mana awal dan siapa yang mengawalinya, kita tak mengetahui.Namun yang pasti,sampai hari ini gerakan anti barat dan sebaliknya anti Islam (Islamophobia) masih menjadi isu vis a vis di berbagai negara, terutama di barat dan timur tengah.
Pada akhir 2001 silam, dunia dikejutkan oleh kejadian dahsyat yaitu runtuhnya menara kembar WTC di New York yang menyebabkan ribuan korban jiwa. Peristiwa itu disebabkan oleh serangan kelompok teroris dengan cara menabrakkan pesawat ke badan gedung menara tersebut hingga terbakar dan akhirnya roboh. Pelakunya kemudian dialamatkan kepada kelompok ekstrimis Islam.Tidak berhenti di situ saja,ummat Islam sedunia ikut mendapatkan dampaknya dengan serangkaian tudingan negatif melalui kampanye anti Islam.
Di tengah gencarnya sikap memusuhi Islam pasca peristiwa 11 september 2001, muncul lah satu harapan baru di negeri Paman Sam. Harapan itu dibawa oleh ummat Islam warga New York sendiri, mereka menunjukkan bahwa Islam itu cinta damai, dan menentang ketidakadilan. Salah satu sosok di balik dakwah cinta damai itu adalah seorang Ulama muda berdarah bugis-makassar, bernama Imam Shamsi Ali. Pria kelahiran Kajang, Sulawesi Selatan ini menjadi pelopor wajah Islam yang toleran dan ramah di New York.
Imam Shamsi Ali |
Imam Shamsi Ali, alumni Pondok Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah Makassar iniadalah Imam Besar Masjid New York, beliau mudah akrab dan berkawan dengan siapa pun tanpa memandang latar belakang, sehingga tak heran ketika pasca tragedi WTC beliau salah satu tokohagama yang diundang oleh Presiden Goerge Bush untuk berpidato terkait tragedi tersebut. Maka dikesempatan yang berharga itu, Imam Shamsi Ali menyampaikan ajaran Islam yangcinta damai, dan Islam ekstrimis adalah jalan yang keliru.
Di Amerika Serikat, komunitas Islam New York lah yang paling berkembang, bahkan pemerintah banyak memberi dukungan kepada mereka. Kabar terbaru yang sangat menggembirakan adalah pemerintah New York memberlakukan hari libur pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tentunya tidak mudah untuk mendapatkan hak seperti ini di negara mayoritas non Muslim, seperti Amerika Serikat, sekalipun negara tersebut penganut paham demokrasi.
Islam di New York kini berangsur-angsur mendapat kepercayaan masyarakat setempat, cara pandang mereka kepada Islam pun menjadi lebih terbuka. Seperti kisah Donald Triumph,tokoh partai Republik yang pernah dicapreskan partainya, menganggap bahwa Islam itu pembawa masalah dan identik dengan bangsa arab. Pada suatu kesempatan,Triumph bertemu dengan Imam Shamsi Ali, Triump kaget karena melihat sosok Imam berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran dia selama ini. Streotype arabisme Triumph pun terbongkar dan mulai menerima Islam sebagai agama cinta damai yang diperkenalkan Imam Shamsi Ali.
Dalam Islam,berdakwah memang memiliki kaidah tersendiri, yang paling urgen adalah dakwah harus kontekstual. Inilah kunci sukses Imam Shamsi Ali dalam berdakwah di negara liberat seperti amerika, bagaimana seorang ulama keturunan Indonesia dengan postur tubuh kecil dan mungil di tengah manusia berpostur tinggi besar, menunjukkan dengan sikap bahwa Islam itu rahmatan lil alamin, wajah Islam menjadi istimewa ketika Imam Shamsi Ali mendakwahkan cinta damai di hadapan masyarakat barat, yang selama ini selalu berpandangan negatif kepada Islam.
Dalamberbagai pertemuan internasional maupun kunjungan pulang kampung Imam Shamsi Ali ke indonesia, beliau menyampaikan beberapa metode dakwah yang selama ini diterapkan di New York, hingga mengantarkan islam menjadi cahaya di negeri adi daya itu. Pertama, mengawali dakwah tidak dengan lisan atau bercerama melainkan menunjukkan perilaku seorang muslim yang sesungguhnya, seperti menghormati HAM, menjunjung tinggi kaum perempuan, bergaul tanpa harus memandang latar belakang. Perlu dipahami sekalipun Amerika adalah negara demokrasi, tetapi stereotype sebagian masyarakatnya terhadap Islam sangat lah negatif, menganggap bahwa Islam itu terbelakang, diskriminatif kepada kaum perempuan, tidak mengormati HAM, dll. Namun Imam Shamsi Ali menunjukkan hal yang berbeda, tampil mengkritik segala bentuk pelanggaran kepada kaum perempuan, mengutuk perbuatan teroris seperti peristiwa 11 september 2001 karena itu memang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Imam Shamsi Ali - Membangun dialog antar agama |
Kedua, berdakwah dengan melakukan dialog terhadap masyararakat, pemuka-pemuka agama, hingga pemerintah. “Orang barat itu mengedepankan logika dalam berbicara” kata Imam Shamsi Ali, karenanya jalan dialog merupakan keniscayaan untuk menunjukkan cahaya Islam kepada kaum mayoritas di New York tersebut. Sangat berbeda dengan kelompok Islam sebelumnya, mereka sangat tertutup dan hanya membuka sedikit ruang dialog kepada kelompok mayoritas, hal ini disebabkan oleh pandangan mereka terhadap pemimpin di New York yang dianggap tidak seiman (kafir). Maka tidak jarang timbul gesekan antarapenduduk New York karena latar belakang agama. Imam Shamsi Ali menunjukkan hal yang berbeda, menurutnya “Islam itu rahmatan lil alamin, sehingga kepada siapapun kita harus terbuka karena itu adalah salah satu nilai dalam ajaran Islam”.
Keterbukaan Imam Shamsi Ali ditunjukkan dengan berbagai kegiatan dialog bersama pemuka agama hingga menjadi pembicara di seminar-seminar tentang Islam dan perdamaian. Menariknya dari forum dialog lintas agama ini adalah tempat penyelenggaraannya, bukan di auditorium umum atau ruang publik lainnya, melainkan secara bergiliran dilakukan di Masjid, Gereja, dan Sinagoge. Tujuan ditempatkannya dialog di tempat sakral ini bukanlah tanpa alasan, bukan pula bermaksuk mencampur adukkan ajaran antar agama, melainkan tujuan mulia, yaitu membangun kerjasama sosial dan kemanusiaan, sehingga terwujudnya toleransi antar agama.
Dari forum-forum dialog itulah kemudian Imam Samsi menghasilkan karya berupa buku yang ditulisnya bersama seorang toko agama yahudi Rabbi Marc Schneier buku itu berjudul Sons Of Abraham. Mengulas tentang kelompok Islam dan Yahudi yang selama ini tak pernah akur, tak jarang terjadi konflik antar dua kelompok ini, saling menuding dan menjelekkan, lalu kemudian hadir lah Imam Shamsi Ali bersama para pemuka agam lainnya membangun dialog dengan tujuan kelompok-kelompok hidup dalam kedamaiaan, sekalipun ini jalan yang tentunya sangat berat, namun lambat laun hingga satu dekade lamanya akhirnya kedua kelompok ini mencair menjadi ummat yang saling mentoleransi. Tak berhenti disitu, kelompok Islam dan Yahudi New York membentuk kualisi perdamaian untuk New York City.
Hari ini kita temukan kota New York yang dulunya masih kental dengan diskriminasi terhadap Islam dan kelompok tertentu menjadi lebih pruralis, berangsur-angsur kepercayaan publik kepada Islam menjadi lebih positif, demikian halnya sesama kelompok agama semakin intens berdialog untuk menjagakerukunan, tak tertinggal pemerintah setempat melalui walikota New York semakin terbuka kepada Islam. Yang paling menggembirakan adalah hampir setiap pekannya pemeluk Islam bertambah di kota wall streettersebut, cahaya Islam punsemakin nampak di negara barat tersebut. Kepada Angkatan Muda MDI, Imam Shamsi berpesan untuk terus berdakwah dan menunjukkan kualitas Islam kepada publik, karena Islamphobia tidak hanya hadir di negara-negara Barat, melainkan juga terjadi di negara dengan penduduk muslim terbesar seperti Indonesia, kampung halamannya. Menurut Imam Shamsi, upaya menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lilalamin, adalah tugas anak-anak muda Islam itu sendiri. (mail)
No comments