Buya HAMKA, sang ulama pemikir
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya HAMKA merupakan tokoh bangsa yang tak akan pernah kita lupakan sejarah. Hamka lahir pada tanggal 17 Februari 1908 (14 Muharam 1326 H) di Batang Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya, ulama Islam terkenal Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang merupakan tokoh sentral pembaharuan Islam di Minangkabau. Hamka kita ketahui sangat pintar dan piawai membaca, menulis dan memiliki kecerdasan luar biasa. Konon, saat masih berusia 5 tahun, Hamka sudah meminta ayahnya mengajarkan iqra’ (membaca) Al Qur’an yang diamini oleh sang ayah. Tahun 1914, Hamka hijrah ke Padang Panjang untuk menempuh pendidikan Sekolah Dasar.
Tahun 1916 – 1923, Hamka belajar di pondok "Diniyah Thawalib” Padang Panjang dan Parabek. Kemudian, tahun 1924, Hamka berangkat ke Yogyakarta untuk belajar tentang seluk beluk dunia pergerakan dan perjuangan Islam yang saat itu sedang bergelora. Setelah sampai di Jojga, Hamka diberikan tenpat oleh H.O.S. Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, R.M. Suryopranoto dan Sutan Mansyur untuk ikut bersama-sama berjuang dalam pergerakan Islam dan melawan kolonialisme Belanda. Tahun 1935, Hamka kembali ke Padang Panjang dan lebih sibuk menulis berbagai buku yang beberapa diantaranya popular hingga saat ini. Karya Hamka kemudian dikumpulkan dalam berbagai judul yakni Khathibul Ummah (1927).
Hamka kemudian menunaikan ibadah haji ke Makkah dan sekembalinya dari ibadah haji, dia menjadi kerespondensi di berbagai media, seperti harian Pelita Andalas, Bintang Islam, Suara Muhammadiyah, Kemauan Zaman (1928), Agama Dan Perempuan (1929), Pembela Islam, Adat Minangkabau Dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-ayat Mikraj, dan Pembela Islam Bandung (1930). Pada fase ini, Hamka berkenalan dengan Muhammad Natsir, A. Hassan dan berbagai tokoh pergerakan lainnya. Bersama tokoh-tokoh tersebut, Hamka intens memberikan pengajaran ke berbagai sekolah di daerah-daerah. Kesempatan pertama mengajar di sebuah perusahaan media yakni Majalah “Al Mahdi”, kemudian Hamka mengajar di Medan tahun 1935 - 1936 tentang jurnalistik dan pentingnya menulis sehingga Hamka waktu itu dapat menginisiasi terbentuknya sebuah Tabloid Islam “Pemersatu Bangsa” 1936 - 1943 yang terbit mingguan.
Beberapa media yang digagas oleh Hamka kemudian menjadi pedoman dan bacaan rakyat Indonesia karena berisi propaganda untuk melawan kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang. Semua majalah yang ia cetus itu, dipimpin oleh Hamka sendiri sebagai pemimpin Redaksi. Pada masa itulah Hamka dikenal dengan berbagai karya intelektual,karena orisinalitas pemikiran dan tulisannya dalam konsep ilmu agama, falsafah, tasawuf dan romantisme moral. Selain itu, tulisan yang paling terkenal di masa itu dan membuat para penjajah (kolonial dan fasis) gerah kepada Hamka adalah tulisan romannya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Kaabah, Merantau Ke Deli,Terusir, Keadilan Ilahi. Begitu pula tulisan-tulisan lainnya seperti Tasauf Moden, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Pedoman Mubaligh Islam, Semangat Islam, dan Sejarah Islam Sumatera.
Sementara pada masa revolusi dan perang dunia kedua, Hamka dengan jeli menerbitkan berbagai buku yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Naskah Renvile, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Di lambung Ombak Masyarakat dan Menunggu Beduk Berbunyi. Bukan hanya itu, ketika Hamka hijrah ke Jakarta pada tahun 1950, Hamka justru semakin produktif dengan menerbitkan karya keilmuannya yang sangat luar biasa banyaknya, misalnya seperti buku-buku yang berjudul Ayahku, Kenganan-kenangan Hidup, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Urat Tunggang Pancasila, Riwayat perjalanan ke Negeri-Negeri Islam, Di tepi Sungai Nil, Di tepi Sungai Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di Amerika dan lain sebagainya. Sosok Hamka kian jelas, sebagai seorang intelektual dan ulama Islam yang sangat teguh pada perjuangan. Kekuatan Hamka dalam intelektualnya sehingga di kenal sebagai pujangga, filosof Islam, Anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan, Guru Besar Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam Makassar, penasihat Kementerian Agama dan Hamka sendiri sering mempelajari kesusasteraan Melayu klasik dan kesusasteraan Arab. Pada tahun 1955, keluar buku-bukunya Pelajaran Agama Islam, Pandangan Hidup Muslim, Sejarah Hidup Jamaluddin Al Afghany dan Sejarah Umat Islam.
Menurut Ahmad Syafi’i Maarif mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah bahwa Hamka sebagai pembaharuan dan pencerahan Intelektual di zaman modern baik sebelum perang dunia kedua maupun setelahnya. Karena memang Hamka sangat memiliki jasa dalam hal ini, apalagi dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia dan Arab yang begitu indah. Kecerdasan Hamka ini diakui oleh dunia internasional, bahkan pada tahun 1959 Majelis Tinggi Universitas Al Azhar Kairo Mesir memberi gelar Doctor Honoris Causa.
Tahun 1962, Hamka dipenjara oleh penguasa orde lama karena dianggap melakukan pergerakan mengkritisi kebijakan pemerintah dan ada kesalahpahaman antara Hamka dan Presiden Sukarno tentang kontroversi dan pro-kontra antara Indonesia dan Malaysia. Namun, tahun 1964- 1966, Hamka dipindah dan hanya menjalani tahanan rumah. Namun, Hamka sebenarnya merasa berterima kasih atas waktunya di penjarakarena Hamka menulis tentang sebuah naskah yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa. Karya itu berjudul Tafsir Al-Azhar. Tafsir ini awalnya berupa tulisan tangan dan diselesaikan selama 27 bulan Hamka menjalani. Hamka selalu berkata, "Jika saya tidak di penjara, maka saya tidak akan punya waktu untuk menyelesaikan menulis Azhar Al Tafsir (terjemahan dan ajaran 'Quran')”.
Setelah Hamka keluar dari penjara, tidak lah diam otaknya dan menggelitik para Intelektual muda Islam dengan berbagai bentuk karya dan aktivitasnya sebagai aktivis yang berjuang demi kemaslahatan Islam. Maka pada tahun yang sama pun menerbitkan berbagai varian tulisan yakni Soal dan Jawaban Agama Islam, Muhammadiyah di Minangkabau, Kedudukkan Perempuan dalam Islam, dan Doa-doa Rasulullah. Pada tanggal 6 Juni 1974, Hamka memberikan pidato tentang Pondasi dan Kekuatan Umat Islam Dunia di Universitas kesusasteraan Malaysia dan sekaligus di berikan gelar DrSastera yang diakui Internasional.
Pada bulan Juli 1975, Hamka mengundang seluruh ulama dan pemuda Islam se Indonesia untuk bermusyawarah guna memperkuat dakwah Islam. Hamka dipilih sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada tanggal 26 Juli 1975. Akan tetapi, Hamka kemudian mengundurkan diri dari posisi penting ini pada tahun 1981, ketika sarannya diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun tersebut, Hamka juga bekerja sebagai guru di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah. Hamka kemudian menjadi Rektor di Institut Tinggi Islam Jakarta dan mendapat gelar Profesor dari Universitas Mustopo, Jakarta.
Melalui keahliannya dalam Bahasa Arab, dia juga meneliti karya-karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyahsejak tahun 1925. Ia pernah menjadi Pemimpin Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang, pernah pula menjadi Konsul Muhamadiyah di Makassar, pemimpin Komite Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat pada tahun 1946, serta sebagai penasihat dalam Muhammadiyah Pusat pada tahun 1953. Hamka juga pernah menjadi Menteri Agama Bahasa Indonesiaterpilih tahun 1977. Sementara di bidang politik, kegiatan politik Hamka dimulai pada 1925 ketika ia menjadi anggota partai di Partai Dagang Islam Politik serta aktif di Masyumi yang kemudian dibubarkan orde lama pada tahun 1950. (pin)
No comments