Header Ads


  • Breaking News

    Konflik agraria, sejarah kolonial yang berulang

    Dalam sejarah kapitalisme, perkembangan teknologi pelayaran dan revolusi industri, telah mendorong bangsa-bangsa Eropa menjelajah ke seluruh penjuru dunia untuk mendapatkan daerah baru, baik untuk keperluan penanaman modal maupun untuk keperluan pemasaran hasil industri. Sejak saat itu, Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol berlomba menguasai benua Asia, Afrika dan Amerika. Untuk memperkokoh penguasaannya di Indonesia, tahun 1602 Pemerintah Belanda membentuk sebuah persekutuan dagang yang baru, yaitu Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).Pemerintah Belanda memberikan VOC hak monopoli perniagaan di Indonesia. VOC juga diberi semacam hak kenegaraan, seperti mengadakan pasukan dan armada perang, menduduki daerah-daerah baru, mengadakan perjanjian dagang dan menjalankan peperangan terhadap raja yang menghalangi kepentingan VOC. Meski tak jarang, kepentingan VOC berjalan searah dengan kepentingan raja-raja feodal di Indonesia.


    Tanah dan hutan adalah milik raja, setidaknya demikianlah pendirian VOC dan raja yang berkuasa di Pulau Jawa pada abad ke-19, sehingga hutan-hutan di Pulau Jawa menjadi hak milik (domein) VOC dan Raja. Hal ini dapat disimpulkan berdasarkan Plakat 8 September 1803 yang menyatakan, semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan Kompeni sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak istimewa raja dan para penguasa). Tidak seorang pun boleh menebang atau memangkas apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau terjadi pelanggaran, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. Pendirian tersebut kemudian diikuti oleh Gubernur Jenderal Daendels, yang memerintah Pulau Jawa pada tahun 1808-1811, antara lain ditunjukkan dengan menjual tanah-tanah di sekitar Jakarta dan Kerawang kepada Orang-orang Eropa dan Tionghoa yang kaya, sekaligus mendapat hak untuk menuntut pekerjaan rodi pada penduduk yang bermukim di atas tanah itu. Ini lah asal mula tanah-tanah Partikelir di Pulau Jawa.
    Karenanya, petani diwajibkan membayar sewa tanah kepada pemerintah Inggris sebanyak 2/5 dari hasil tanaman. Ketika kembali berkuasa di Pulau Jawa pada tahun 1816, Belanda tetap mengikuti proklamasi Raffles. Seiring dengan perkembangan kekuatan Partai Liberal yang menguasai parlemen Negeri Belanda pada pertengahan abad ke 19 serta pertumbuhan modal di Eropa, Pemerintah Belanda berusaha menciptakan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan pemilik modal Belanda. Maka tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Agrarische Wet 187 yang kemudian diikuti dengan Agrarische Besluit sebagai aturan pelaksanaannya, yang kemudian lebih populer sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Tanah Negara). Lalu tahun 1927, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bosordonantie. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut, sangat mempengaruhi pemikiran dan praktik hukum di Indonesia hingga kini, terutama di bidang hukum penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam.
    Sebelum tahun 1870, pengusaha asing tidak dapat mendirikan perusahaan pertanian besar di negeri yang waktu itu disebut Nederland Indie (Hindia Belanda). Mereka tidak dapat bisa mendapat tanah dengan hak “eigendom” dan hanya dapat menyewa tanah berupa hutan belukar atau tanah kosong (woeste gronden). Itu pun dengan waktu yang terbatas, tidak lebih dari 20 tahun saja. Lagi pula hak sewa menurut hukum Eropa adalah hak yang bersifat pribadi (persoonlijk), yaitu hak yang melekat pada orangnya, tidak terletak pada bendanya. Bagi kalangan pengusaha, hak sewa tersebut dipandang tidak kuat dan tidak dapat dijadikan tanggungan (hypotheek) untuk mendapatkan pinjaman perbankan. Karenanya, Agrarische Wet 1870 mengintroduksi hak erfpacht dengan jangka waktu maksimum 75 tahun dan dapat diperpanjang. Hak erfpacht lebih memenuhi kebutuhan pengusaha, karena hak tersebut terlekat pada bendanya (tanah), sehingga dapat dijadikan agunan.
    Setelah Indonesia merdeka, seperti lazimnya bangsa yang berhasil menumbangkan kekuasaan penjajahnya, segala hal yang berbau penjajah harus dirombak. Semangat perombakan itu, mendominasi sepanjang masa kekuasaan Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno. Hal ini antara lain tercermin dalam pidato Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo). Pada pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria tahun 1960 (lebih populer disebut UUPA 1960) dalam sidang DPR-GR, yang menyatakan: “…….rancangan undang-undang ini selain akan menumbangkan puncak-puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dan aparat-aparat pemerintahan dengan rakyatnya sendiri…… Dalam konsideran UUPA 1960 antara lain menyatakan, bahwa perundang-undangan agraria kolonial tidak menjamin kepastian hukum  bagi rakyat asli (masyarakat adat). Oleh sebab itu diperlukan Undang-undang agraria baru yang berdasarkan hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum. Lebih lanjut dalam penjelasan umum UUPA 1960 dinyatakan, bahwa asas domein sebagaimana yang dianut Agrarische Besluit 1870 bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia sehingga harus dicabut dan ditinggalkan.
    UU Pokok Agraria 1960 berpangkal pada pendirian, bahwa tidak tepat negara bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan sebagai organisasi kekuasaan yang bertindak selaku badan penguasa. Isi konsideran dan penjelasan UUPA 1960 tersebut menunjukan, bahwa UUPA 1960 dapat dipandang sebagai monumen pembongkaran terhadap tatanan perundang-undangan agraria kolonial, sekaligus menetapkan hukum adat sebagai tuan dirumahnya sendiri. Pertanyaannya, sejauh mana pernyataan-pernyataan tersebut dapat menjadi kenyataan? Mengingat, dalam praktiknya, kebijakan pemerintah era Megawati, SBY, hingga Jokowi tidak menunjukkan semangat pembaharuan agraria yang sudah ditabuh Bung Karno. Bahkan, pemerintahan daerah makin leluasa mengundang pemilik modal dari dalam dan luar negeri untuk menguasai dan mengelola sumber daya agrariaHal itu dilakukan dengan tanpa koreksi terlebih dahulu terhadap kekeliruan kebijakan masa lalu, seperti koreksi terhadap penetapan status kawasan hutan, dimana terdapat hak-hak masyarakat adat. Situasi ini menunjukkan, bahwa ketegangan dan konflik antara negara dan masyarakat adat, masih jauh dari titik akhir.
    Pertumbuhan Ekonomi vs Kemiskinan Petani
    Pemerintah, melalui Bappenas mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif semakin baik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan tahun 2014 mencapai 5,1 persen. Masalahnya, angka pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan serta pengangguran dihitung berdasarkan basis ekspor-import dan kenaikan investasi, yang hanya menyentuh tak lebih dari 10 persen penduduk. Angka pertumbuhan tersebut mengabaikan realitas kemiskinan di pedesaan yang menimpa jutaan petani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat  6.1 juta RTP di pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten. Sungguh ironis, karena terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara formulasi kebijakan dengan realitas yang terjadi di lapangan. Terjadi proses pembiaran oleh pemerintah sehingga para cukong (pemodal besar) dapat semena-mena menggilas para petani atas nama investasi. Ini tentu tidak dapat dibenarkan karena pemerintah telah melanggar kontitusi, dan rakyat memperoleh pembenaran melakukan perlawanan untuk mengawal keberlangsungan hidupnya.

    Di tahun 2015, konflik agraria nampaknya bakal terus berlangsung. Potensi ledakan konflik sosial telah terlihat di mana-mana, akibat lemahnya keberpihakan negara, ketidakberdayaan hukum, serta kemiskinan yang terus menghimpit rakyat menjadi akar persoalan yang dapat saja menjadi revolusi sosial di Indonesia. Situasi ini dibarengi dengan akumulasi persoalan lama yang tidak pernah tuntas, langgengnya ketidakadilan politik agraria. “Sejarah membuktikan bahwa kebijakan agraria di masa lampau berjalan di tempat. Hal Ini mengindikasikan warisan VOC gaya baru masih menghinggapi para pemimpin kita. Beberapa kebijakan yang lahir tidak mewakili kepentingan rakyat, terlebih setelah Global Summit 2009 di Bali yang kian melanggengkan dominasi korporasi di sektor pertanian dan kehutanan. Karenanya, program-program pemerintahan Jokowi-JK jangan layangan putus yang tidak menemukan solusi bagi problem-problem agraria”, ujar Yusrianto, ketua bidang politik Presidium Nasional GMNI. (hd)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad