Indonesia Darurat Konflik Agraria
Maraknya konflik agraria dalam beberapa tahun terakhir merupakan salah satu masalah darurat yang mendesak untuk diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK. Jumlah rakyat yang menjadi korban akibat konflik ini pun meningkat tajam, termasuk petani dan aktivis yang ditangkap oleh aparat keamanan. Kasus pengusiran paksa penduduk juga bertambah banyak, seperti kejadian di Tebo, Jambi dimana masyarakat diculik dan dibunuh oleh security perusahaan, PT. Wira Karya Sakti (WKS) yang bersengketa dengan masyarakat. Begitu pula kasus petani Banyuwangi dengan PT. Wongsorejo, yang membuat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turun tangan melindungi belasan petani yang terlibat konflik.
Peningkatan eskalasi konflik agraria dipicu dua hal pokok yaitu, tata-kelola agraria di Indonesia yang masih berwatak kolonial, dan makin intensifnya penetrasi modal, baik asing maupun swasta nasional, dalam penguasaan sumber daya alam. Melalui tata-kelola agraria yang bercorak kolonial sulit berharap adanya keberpihakan negara terhadap rakyat. Terbukti, di hampir semua kasus konflik agraria, negara dan aparaturnya justru menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan pemilik modal. Sehingga, penyelesaian konflik agraria secara radikal mensyaratkan penghancuran struktur agraria yang bernuansa kolonial dan perombakan kebijakan ekonomi-politik negara.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sedikitnya ada lima undang-undang yang secara sistematis telah memberikan kewenangan yang luas, bahkan terlampau luas, kepada pemerintah atas sumber-sumber agraria, namun kewenangan yang ada tidak dibarengi dengan semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yaitu: Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Undang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Undang-undang tersebut telah membuat tanah rakyat lepas, hingga rakyat tercabut dari sumber penghidupannya, dan kemudian beralih menjadi hak tanah perusahaan berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan. Sepanjang tahun 2014, KPA mencatat terdapat 472 konflik agraria di seluruh Indonesia, dimana terjadi peningkatan drastis dibandingkan tahun 2013. Konflik yang terjadi melibatkan lebih dari 106 ribu kepala keluarga, sementara luasan areal konflik hampir mencapai 3 juta hektar. Dari konflik tersebut, terdapat 45% kasus terkait infrastruktur, 39% kasus terjadi di sektor perkebunan, 6% di sektor kehutanan, 3% di sektor pertambangan, dan sisanya terjadi di wilayah tambak/pesisir, dengan korban meninggal 19 orang dan ratusan lainnya terluka.
Menurut Iwan Nurdin, sekjen KPA, ada beberapa faktor penyebab kekerasan dalam konflik agraria. Pertama, masih digunakannya pendekatan kekerasan dan keamanan (violence and security approach) dalam menangani konflik agraria. Kedua, belum adanya platform yang jelas dalam menyelesaikan konflik di luar jalur pengadilan. Ketiga, tidak berubahnya kebijakan politik hukum agraria sejak Orde Baru hingga sekarang, dan Keempat, diabaikannya agenda reformasi agraria. Agar kekerasan dalam konflik agraria tidak terus berulang, pemerintah harus menghentikan keterlibatan aparat keamanan dalam setiap sengketa agraria, karena dalih pengamanan negara tidak boleh menembaki rakyatnya sendiri. Pemerintah juga perlu mengevaluasi luasan lahan yang telah dikuasakan kepada badan usaha milik swasta dan pemerintah. Bahkan, Sawit Watch mencatat, bahwa dari 9,4 juta lahan yang dikuasakan untuk perkebunan sawit telah berlangsung ribuan konflik.
Janji Presiden Jokowi membagikan 9 juta hektar lahan kepada rakyat, serta peningkatan status Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Kementerian Pembangunan Agraria dan Tata Ruang, dimana menteri Ferry Mursidan Baldan merangkap menjadi Kepala BPN memang memberikan harapan baru. Mengingat, konflik agraria lebih bersifat struktural yang penyelesaiannya tidak cukup dengan jalur pengadilan, karena penyebab konfliknya yang lintas sektoral. Apalagi, konflik agraria struktural justru disebabkan kebijakan pemerintah sendiri. Melihat luasan, sebaran dan jumlah korban konflik agraria yang berlangsung sejak Orde Baru sampai sekarang, menurut Iwan, bisa disebut bahwa konflik agraria sudah "darurat".
Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Abetnego Tarigan menyebut ada sekitar tujuh ribu kasus konflik agraria yang belum tersentuh di Mahkamah Agung (MA). Masih berjibunnya kasus agraria yang tidak selesai di MA menunjukkan masalah sengketa agraria tidak bisa diselesaikan menggunakan hukum positif, namun sengketa agraria harus ditangani dengan penyelesaian politis. “Perlu pembaruan agraria untuk mengakhiri ketimpangan kronis dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pengelolaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya yang menjadi sebab dari konflik agaria dan masalah agraria lainnya,” ujar Abetnego. Penyelesaian masalah tersebut diharapkan menjadi jalan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (pin)
No comments