Mengurai Benang Kusut Sektor Energi
Karikatur Mafia Migas |
Sikap publik seperti terbelah ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) membentuk Komite Reformasi Tata Kelola Migas yang kemudian lebih dikenal sebagai Tim Pemberantasan Mafia Migas. Sebagian masyarakat mendukung, sebagian lainnya memilih skeptis. Tumbuhnya harapan publik tentu terkait kehadiran kepemimpinan baru nasional pasca terpilihnya duet Jokowi-JK dalam pemilu presiden 2014, serta sosok yang dipilih untuk memimpin pemberantasan mafia migas, yaitu ekonom kritis Faisal Basri. Sedangkan yang berfikiran skeptis beralasan, persoalan mafia migas merupakan benang kusut yang sudah tak mungkin diurai dengan cara-cara biasa, sehingga diperlukan upaya ekstrim. Komite reformasi tata kelola migas, dilihat dari sudut pandang landasan hukum, kewenangan dan sandaran politiknya, dipandang terlalu “David” untuk melawan “sang Goliath”, para mafia migas.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika tanggal 9 Juli 2008, Dewan Perwakilan Rakyat melalui sidang paripurna yang alot mengajukan hak angket terkait kenaikan harga BBM. Panitia angket BBM yang merupakan inisiatif parlemen melakukan penyelidikan atas kebijakan pemerintahan SBY-Boediono yang mengurangi subsidi BBM tersebut memanggil semua pihak yang diperlukan untuk penyelidikan DPR, termasuk menteri ESDM, BPH Migas (sekarang SKK Migas), dan Pertamina. Namun hingga berakhirnya masa kerjanya, panitia angket DPR yang diketuai Zulkifli Hasan (sekarang Ketua MPR RI), tidak menghasilkan perubahan signifikan dalam tata kelola sektor migas.
Mafia migas di Indonesia memang sudah ada sejak zaman Orde Baru. Mereka diduga beroperasi dengan menjadikan Pertamina dan anak-anak usahanya sebagai ladang bisnis empuk untuk memperkaya diri sendiri dan menguatkan kelompok mereka. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyebut, mafia migas ini selalu menjadi sumber dana politik hampir semua rezim berkuasa di Indonesia. "Pada era booming minyak tahun 80-90an, saat Indonesia mampu menghasilkan 1,6 juta barel per hari (bph), menjadikan mafia berpesta pora," kata Marwan. Pergantian rezim tidak membuat mafia migas berhenti, justru makin menggurita, apalagi setelah pemberlakuan Undang-undang No. 22 tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Undang-Undang Migas yang telah berulang kali di judisial review tersebut, dijadikan payung upaya liberalisasi sektor migas hingga kita kehilangan kedaulatan nasional atas migas. Mafia migas telah merusak sistem tata kelola dan tata niaga migas. "Dipreteli mulai perangkat aturan, sistem, serta memasok aktor dan bonekanya ke seluruh jaringan tata kelola dan tata niaga migas," lanjut Marwan. Dia menjelaskan, jaringan mafia ini adalah kombinasi dari kekuatan perusahaan miltunasional, jaringan birokrasi antek imperialisme, serta politisi tanpa nasionalisme. "Nama-nama Kuntoro Mangkusubroto, Purnomo Yusgiantoro, Ari Soemarni, Muhammad Reza Chalid, Raden Priyono, dan beberapa lainnya adalah sederet nama yang tak boleh dilepaskan dari perhatian kita, ketika kita mempersoalkan amburadulnya tata kelola migas Indonesia," ujar Marwan.
Undang-Undang Migas yang telah berulang kali di judisial review tersebut, dijadikan payung upaya liberalisasi sektor migas hingga kita kehilangan kedaulatan nasional atas migas. Mafia migas telah merusak sistem tata kelola dan tata niaga migas. "Dipreteli mulai perangkat aturan, sistem, serta memasok aktor dan bonekanya ke seluruh jaringan tata kelola dan tata niaga migas," lanjut Marwan. Dia menjelaskan, jaringan mafia ini adalah kombinasi dari kekuatan perusahaan miltunasional, jaringan birokrasi antek imperialisme, serta politisi tanpa nasionalisme. "Nama-nama Kuntoro Mangkusubroto, Purnomo Yusgiantoro, Ari Soemarni, Muhammad Reza Chalid, Raden Priyono, dan beberapa lainnya adalah sederet nama yang tak boleh dilepaskan dari perhatian kita, ketika kita mempersoalkan amburadulnya tata kelola migas Indonesia," ujar Marwan.
Marwan juga mengutip sebuah laporan yang menyebutkan kerugian negara dari praktik sindikasi mafia migas di Indonesia per tahun sebesar 4,2 miliar dollar AS atau senilai Rp 37 triliun. Artinya, kerugian negara akibat operasi mafia dalam 10 rahun terakhir mencapai angka Rp 370 triliun. Angka ini masuk akal, mengingat transaksi di hulu saj meliputi 850.000 barel per hari, senilai 16,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 196,3 triliun per hari.
Sindikasi migas juga menjadi penghambat penambahan kilang minyak, karena hingga kini kilang minyak Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, Indonesia menjadi pengimpor BBM dalam skala besar. Bayangkan saja, dari kebutuhan 1,2jt kilo liter per hari, kesanggupan kilang minyak Indonesia hanya 300rb kilo liter. Sementara, dengan kebutuhan energi dalam negeri yang kian meningkat akibat peningkatan perekonomian nasional, telah menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan devisa luar biasa besar untuk mengimpor bahan bakar,” tutur Hatta Taliwang, pegiat Institute Ekonomi Soekarno Hatta. “Besarnya impor BBM juga pada akhirnya mempengaruhi neraca perdagangan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi nilai tukar rupiah seperti sekarang ini,” ujar mantan anggota DPR RI ini.
Faisal Basri Ketua Tim Pemberantasan Mafia Migas |
Kenyataan makin tipisnya cadangan minyak mentah, tidak membuat pemerintah lekas melakukan upaya mempersiapkan sumber energi selain minyak bumi, yang lebih murah dan cukup persediaannya. “Menjadi aneh ketika premium yang mahal dan kotor dibeli mahal (ekspor-red), justru gas yang murah dan bersih dijual murah (impor-red), seperti kontrak gas Tangguh yang dijual murah ke China puluhan tahun ke depan. Seharusnya pemerintah kita mencontoh Thailand yang sudah mulai beralih dari BBM ke gas, dan pemerintahnya tanggap melalui kebijakan dan pembangunan infrastrukturnya,” kata Hatta. Seperti kita ketahui, hingga hari ini, Indonesia baru memiliki 43 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG).
Sebelum merambah sektor hilir, swastanisasi migas telah berlangsung sejak lama di hulu. Kehadiran perusahaan-perusahaan asing yang mengelola blok-blok migas di Indonesia bukanlah hal aneh, meski Indonesia juga memiliki BUMN Migas bernama Pertamina dan PGN. Perusahaan multinasional seperti Chevron, Caltex, Total, Conoco Philips, dan Petro China adalah sedikit dari puluhan raksasa operator blok migas Indonesia. Pertamina sendiri, melalui anak perusahaannya di hulu, Pertamina EP, meski kurang mendapat kepercayaan, masih merupakan penghasil lifting nomor dua setelah Chevron. Realisasi lifting minyak Indonesia di tahun 2014 sebesar 794 ribu barel per hari, dimana Pertamina EP menyumbang 127 ribu barel per hari.
Selain persoalan mafia, urusan energi juga sarat ketidakadilan. Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Rifai AG mengungkap ketidakadilan politik energi, dimana Kalimantan Timur sebagai lumbung energi nasional justru masyarakatnya menjadi pengantre rutin BBM. Padahal, Kaltim merupakan provinsi penghasil minyak, gas, batubara hingga minyak sawit. “Kalau kita telaah, pemerintah daerah Kaltim tidak pernah tahu jumlah sesungguhnya produksi minyak dari ladang-ladang migas di Kaltim, apalagi yang dikuasai perusahaan-perusahaan asing seperti Chevron dan Total,” ungkap Rifai.
“Kita terlalu jauh bicara soal keadilan pembangunan, mengingat Kaltim merupakan provinsi penyumbang pendapatan negara terbesar yang sebagian besarnya dari sektor energi. Hanya bicara soal keadilan politik migas saja, kita akan tahu, betapa di perkampungan sekitar Blok Mahakam saja masyarakatnya harus beli premium secara eceran dengan harga yang sangat mahal,” ujar kandidat doktor ekonomi ini. “Sebagai akademisi yang sadar dengan situasi ini, saya bersama sahabat-sahabat akademisi, tokoh masyarakat, praktisi, dan tokoh pemuda Kaltim sejak lama berjuang agar Blok Mahakam dikembalikan pada bangsa melalui Pertamina dengan menggandeng, setelah kontrak Total EP di Blok Mahakam berakhir pada tahun 2017 mendatang,” tandas sekretaris Aliansi Rakyat Kalimantan Timur untuk Blok Mahakam ini.
Kusutnya sektor migas Indonesia, sejatinya juga menjadi gambaran kusutnya ekonomi Indonesia. Setelah cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 11 tahun ke depan, namun kekayaan migas yang telah dieksploitasi puluhan tahun tersebut tak jua meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah ke depan, rakyat Indonesia justru harus bersiap membeli BBM dengan harga mahal, seperti harga internasional. Jika dibandingkan dengan negara-negara Arab yang menjadi kaya raya setelah booming minyak tahun 1980-an, Indonesia seperti tidak merasakan efek signifikan karena kayanya tanah dan laut Indonesia dengan minyak dan gas. Jadi jangan bandingkan, rakyat Brunei yang sudah disejahterakan minyak harus membeli mahal bahan bakar - setelah cadangan bahan bakar fosil dunia menipis, dengan rakyat Indonesia yang tiada sempat disejahterakan kekayaan migasnya. (pin)
No comments