Ketika Harga BBM Munggah Mudun
Tak ada angin tiada hujan, Senin malam tanggal 17 November 2014, Presiden Joko Widodo didampingi sejumlah menteri kabinet kerja tiba-tiba mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Terhitung sejak 18 November 2014, premium yang tadinya dijual Rp 6.500 dinaikkan menjadi Rp 8.500, lalu solar menjadi Rp 7.500 dari tadinya seharga Rp 5.500. Pemerintah berdalih, kenaikan harga BBM menghemat anggaran hingga 120 trilyun yang akan dimanfaatkan untuk infrastuktur dan kesehatan. Sebelumnya, tanggal 16 November 2014, pemerintah melalui kementerian ESDM juga mengumumkan pembentukan komite reformasi tata kelola migas dibawah pimpinan ekonom senior Faisal Basri. Pembentukan tim ini dimaksud untuk mengurai benang kusut sektor energi yang disinyalir penuh praktik mafioso yang diduga bersarang di kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, serta anak-anak perusahaan Pertamina seperti Petral.
Kenaikan harga BBM ini langsung direspon dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan. Ibu rumah tangga, buruh, petani, pekerja, bahkan kelas menengah mengeluh. Mahasiswa berunjuk rasa di berbagai kota menentang kebijakan yang dinilai memberatkan rakyat kecil tersebut. Bahkan, sejumlah pengamat mempertanyakan dasar kenaikan tarif yang terjadi justru disaat harga minyak dunia terus merosot drastis. Tercatat, saat kenaikan harga BBM pertama kali diumumkan, harga minyak mentah dunia berada di kisaran 75 US dolar/barel dari sebelumnya terus diatas 100 USD/barel.
Tahun baru 2015 juga ditandai dengan harga dan mekanisme baru untuk menetapkan harga BBM. Per 1 Januari 2015, pemerintah mengumumkan penurunan harga premium menjadi Rp 7.600 dan harga solar Rp 6.400, serta melepas harga BBM sesuai dengan mekanisme pasar. Menteri koordinator bidang perekonomian, Sofyan Djalil menyebut, diberlakukannya subsidi tetap sebesar 1.000 rupiah, sehingga harga BBM akan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Meski menolak menyebut sesuai mekanisme pasar, toh liberalisasi sektor hilir migas telah dijalankan pemerintahan baru Jokowi-JK. Pengumuman harga dan mekanisme baru ini dilakukan hanya selang sepekan setelah Faisal Basri, ketua tim pemberantasan mafia migas, merekomendasikan penghapusan premium dan mendorong penggunaan pertamax. Menurut Faisal, penghapusan premium akan mengeleminir peluang praktik mafia dan menghemat anggaran, mengingat BBM jenis premium adalah komoditas migas yang disubsidi negara.
Meskipun tarif BBM sudah diturunkan, tanggal 6 Januari 2015, Indonesian Corruption Watch (ICW) melalui Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran menyebut potensi mark-up harga baru BBM sebesar hampir 600 rupiah per liter pada premium dan 700 rupiah per liter pada solar. Sementara potensi pemahalan harga tabung gas 12 kg sebesar 20.600 rupiah per tabung. Sehingga dalam perhitungan ICW, pada bulan Januari 2015 saja, potensi pemahalan premium, solar dan tabung gas 12 kg sebesar Rp 2,479 trilyun. Angka tersebut sangat mencengangkan, apalagi dirilis oleh lembaga anti korupsi kredibel sekelas ICW.
Sejak menggunakan mekanisme baru itu, harga BBM telah empat kali mengalami perubahan, baik penurunan maupun kenaikan. Setelah sempat turun lagi pada 19 Januari 2015, harga BBM naik tipis pada tanggal 1 Maret 2015. Terakhir, pada Sabtu, 28 Maret 2015, Pertamina menaikkan harga BBM dimana harga premium menjadi Rp 7.400, sedangkan solar seharga Rp 6.900 per liter. Pada kenaikan kali ini, pemerintah tidak lagi beralasan harga minyak dunia, melainkan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Tabel perubahan harga premium dari tahun ke tahun:
Masa Kepresidenan | Harga Semula | Harga Baru |
Soeharto | ||
Tahun 1991 | Rp 150 | Rp 550 |
Tahun 1993 | Rp 550 | Rp 700 |
BJ Habibie | ||
Tahun 1998 | Rp 700 | Rp 1.200 |
Abdurrahman Wahid | ||
Tahun 1998 | Rp 1.200 | Rp 1.000 |
Tahun 1999 | Rp 1.000 | Rp 600 |
Tahun 2000 | Rp 600 | Rp 1.150 |
Megawati | ||
Tahun 2001 | Rp 1.150 | Rp 1.450 |
Tahun 2002 | Rp 1.450 | Rp 1.550 |
SBY | ||
Tahun 2004 | Rp 1.550 | Rp 1.800 |
Tahun 2005 | Rp 1.800 | Rp 2.400 |
Tahun 2005 | Rp 2.400 | Rp 4.500 |
Tahun 2008 | Rp 4.500 | Rp 6.000 |
Tahun 2008 | Rp 6.000 | Rp 5.500 |
Tahun 2008 | Rp 5.500 | Rp 5.000 |
Tahun 2009 | Rp 5.000 | Rp 4.500 |
Tahun 2013 | Rp 4.500 | Rp 6.500 |
Jokowi | ||
18 Nov 2014 | Rp 6.500 | Rp 8.500 |
1 Jan 2015 | Rp 8.500 | Rp 7.600 |
19 Jan 2015 | Rp 7.600 | Rp 6.600 |
1 Maret 2015 | Rp 6.600 | Rp 6.800 |
28 Maret 2015 | Rp 6.800 | Rp 7.400 |
Karuan saja, fluktuasi harga BBM membuat masyarakat kebingungan, karena dalam waktu beberapa bulan saja, harga BBM berkali-kali mengalami perubahan. “Kok bisa begini ya? Habis dinaikkan lalu diturunkan, sekarang dinaikkan lagi. Maksudnya itu bagaimana?” keluh bingung Mpok Ipeh yang berdagang sayur di Pasar Rawasari, Jakarta. “Kalau BBM naik, harga barang ikut naik. Tapi saat BBM turun kok pemerintah gak nurunin harga sembako?” tuturnya lirih.
Lain lagi cerita Dadung, lelaki setengah baya yang berprofesi sebagai sopir truk angkutan barang. Dia mengaku berangkat dari Surabaya menuju Jakarta dengan uang jalan dan ongkos premium harga lama. Pengumuman harga baru premium tanggal 27 Maret 2015 kemarin membuat dia hawatir, karena penambahan biaya BBM yang harus dibayarkan di perjalanan belum tentu diganti sang bos. “Saya hawatir nombok, iya kalau bos menghitung selisih isi bensinnya, kalau tidak saya hanya jalan-jalan saja karena tidak ada hasil yang dibawa pulang ke rumah,” jelasnya.
Bukan hanya rakyat kecil yang mengeluh, bahkan walikota Bandung, Ridwan Kamil juga kebingungan dengan konsekuensi flutuasi harga BBM. Dia mengaku kerepotan untuk mengatur tarif angkutan kota (angkot) yang menjadi moda transportasi utama masyarakat. "Waktu naik dan turunnya BBM terlalu cepat, saya jadi riweuh (repot) atur tarif angkot," ujar Ridwan di Bandung, Selasa, 31 Maret 2015. “Sementara, warga harus diberi keadilan soal tarif angkutan,” ujarnya menegaskan.
Aktivis mahasiswa yang selalu responsif dengan isu kenaikan tarif BBM juga tak luput dari kebingungan. Biasanya, isu kenaikan harga BBM diawali pembahasan panas di DPR dan memantik reaksi luas publik serta aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa. Taufan Putra Korompot, Ketua Bidang Hikmah DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menuturkan, dengan perubahan harga berkali-kali dalam waktu singkat, kawan-kawan aktivis mahasiswa kesulitan melakukan konsolidasi untuk menggalang aksi penolakan. “Namun setelah dicermati, kami menyadari dan bersepakat untuk menolak pangkal persoalannya, yaitu mekanisme pasar dalam penetapan harga BBM. Mahasiswa harus tegas isu menolak liberalisasi sektor migas,” tandasnya.
Penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) ala roller coaster telah membuat masyarakat pusing, apalagi fluktuasi harga yang terjadi tidak dibarengi dengan upaya normalisasi harga barang-barang. Pengamat kebijakan publik Universitas Brawijaya, Faizin Sulistyo mengatakan, mekanisme penetapan harga ini kurang tepat, karena dalam satu bulan terjadi dua kali perubahan. Misalnya, pada awal Maret 2015 harga BBM diturunkan, sementara pada 28 Maret 2015 harganya kembali naik. “Seharusnya diberi rentang waktu dan sosialisasi yang cukup agar masyarakat memiliki kesiapan dengan konsekuensi perubahan tarif BBM tersebut,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini.
Begitu lah, kebijakan energi pemerintah yang menyerahkan harga pada mekanisme pasar, telah menyebabkan harga BBM munggah mudun (naik turun-red), yang mengakibatkan harga-harga menjadi munggah, namun kesejahteraan rakyat menjadi mudun. (big T)
No comments