Makna Partai Golkar Bagi Negeri Ini
Ton Abdillah Has. Ketua Umum Angkatan Muda MDI |
Belakangan ini, Partai Golkar sedang dalam cobaan berat, meski mungkin bukan lah cobaan terberat. Partai Golkar, saat itu masih bernama Golongan Karya, pernah mengalami ujian yang lebih berat pasca lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, saat cacian dan permusuhan datang dari segala arah, bahkan Golkar dituntut untuk dibubarkan. Sejarah kemudian membuktikan, Golkar tetap eksis dan bermetamorfosa menjadi Partai Golkar, serta meneruskan karya nyatanya bagi bangsa Indonesia. Meski demikian, perpecahan yang dialami Partai Golkar saat ini tetap saja menguras energi dan membahayakan eksistensinya ke depan.
Bermula ketika Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Nusadua, Bali pada tanggal 30 November-4 Desember 2014 diikuti gelaran Munas tandingan di Ancol, Jakarta pada tanggal 6 – 7 Desember 2014. Munas Bali memilih kembali Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum, sedangkan Munas Ancol menghasilkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum. Konflik terbuka tersebut, diawali pembentukan Presidium Penyelamat Partai oleh sejumlah elit Partai Golkar yang kecewa dengan dinamika menjelang Munas. Resmi lah Partai Golkar mengalami dualisme kepemimpinan.
Babak baru dualisme tersebut terjadi setelah Menteri Hukum dan HAM mengesahkan kepengurusan versi Agung Laksono yang digugat kubu Abuizal Bakrie ke PTUN dan menghasilkan keputusan sela penangguhan berlakunya SK Menkumham hingga adanya keputusan tetap pengadilan. Meskipun saya sendiri adalah Ketua Departemen Pemuda dan Olahraga DPP Partai Golkar hasil Munas Bali, namun tulisan ini lebih dimaksudkan untuk merefleksikan kondisi objektif partai jika perpecahan ini berkelanjutan.
Penulis sendiri terhitung masih kader baru, bergabung Oktober 2012 dan dipercaya mendampingi Dr. Ali Mochtar Ngabalin sebagai sekjen Angkatan Muda MDI, menjadi calon legislatif pada pemilu legislatif 2014 di daerah pemilihan Riau II, dan akhirnya diamanahkan memimpin Angkatan Muda MDI. Meski tergolong hijau, namun kadar kecintaan terhadap Partai Golkar rasanya sudah cukup dalam. Sehingga, keprihatinan dan kegundahan akibat munculnya dualisme di tubuh partai, terasa lebih kental ketimbang hasrat dukung-mendukung.
Partai Golkar adalah partai tertua, sekaligus partai dengan infrastruktur terbaik, baik dari sisi perangkat organisasi, kaderisasi, ketokohan, finansial, maupun ideologi. Serta jangan lupa, kesejarahan Golkar tidak akan hilang begitu saja di hati rakyat Indonesia, seperti di kalangan petani, nelayan, warga transmigran, dll. Golkar, sebagai the winning party, pernah berkarya demikian luar biasa di era Orde Baru, terlepas dari segala kekurangannya sebagai penopang utama rezim Soeharto. Karenanya, meski diuji berulang kali dan mengalami “pembelahan” melalui lahirnya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem, namun eksistensi Partai Golkar tidak pernah terlempar dari papan atas hasil pemilu pasca reformasi.
Setidaknya, terdapat lima alasan mengapa Partai Golkar tetap populer hingga hari ini, yaitu: Pertama, sebagai partai nasionalis, kerindangan beringin mampu menaungi semua komponen bangsa, baik suku, agama, dan golongan; Kedua, sesuai namanya Partai Golkar memiliki spirit kekaryaan yang menjiwai kader-kader Golkar di posisi politik dan jabatan publik, seperti menteri, anggota DPR/DPRD, serta Gubernur dan Bupati/Walikota. Semangat kekaryaan yang dipupuk selama 32 tahun berkuasanya Orde Baru tersebut tetap terjaga hingga kini, sekaligus menjaga akar rumput partai. Ketiga, keberadaan Partai Golkar hampir merata di semua provinsi dan kabupaten, sehingga sulit kita jumpai ada daerah tertentu yang Partai Golkar tidak terwakili di DPRD setempat. Sesuatu yang sulit ditemukan di partai-partai lainnya, bahkan partai pemenang pemilu sekalipun;
Alasan keempat, memiliki kaderisasi yang baik, bahkan bisa dibilang hampir semua sumber kaderisasi politik memprioritas kader kader terbaiknya untuk masuk Partai Golkar; Kelima, memiliki banyak tokoh baik di nasional maupun daerah. Ketika partai lain hanya mengandalkan ketokohan figur tertentu sebagai simbol partai, Partai Golkar justru memiliki deretan tokoh yang pantas dicalonkan sebagai Capres di tingkat nasional, maupun Cagub dan Cabup/Cawakot di daerah. Begitu pula untuk figur calon ketua umum, pada setiap perhelatan Munas, Partai Golkar tidak pernah kekurangan figur untuk dicalonkan.
Namun semua keuntungan itu, bisa saja menjadi ujian ketika gagal dikelola dengan baik, khususnya berkah akan banyaknya tokoh kuat di dalam partai. Penulis mensinyalir, perpecahan yang melanda Partai Golkar hari ini, diawali oleh kegagalan mengelola keegoan tokoh-tokoh kuat itu. Musyawarah Nasional hanya lah momentum bagi munculnya keegoan tersebut ke permukaan, lalu meledak karena disiram kepentingan eksternal terkait konstalasi politik nasional. Para petinggi nampaknya lupa, kompetisi dan perbedaan kepentingan harusnya berada dalam koridor aturan main organisasi. Elit partai boleh jadi juga lupa, bahwa di luar pertarungan faksi dan personal, ada kepentingan partai yang harus diutamakan.
Kepentingan organisasi, bagi parpol sekelas Partai Golkar, adalah menyangkut kepentingan bangsa pada akhirnya. Selain memang partai politik adalah milik publik dan sistem politik kita menempatkan peran parpol demikian krusial bagi kehidupan bernegara, perpecahan Partai Golkar juga akan mengancam kinerja lembaga/posisi politik yang dipimpin atau diemban kader-kader Partai Golkar, seperti DPR, DPRD, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Stabilitas politik dan pemerintahan adalah taruhan dalam perpecahan Partai Golkar. Namun pada akhirnya, sebagai kader baru, saya hanya bisa berharap agar konstitusi partai ditegakkan dan terjadi islah diantara perpecahan ini. Kita juga perlu menunggu putusan hukum menjadi jalan untuk mengakhiri perpecahan, agar Partai Golkar tetap menjadi solusi bagi rakyat dan berkarya bagi pembangunan Indonesia, bukannya menjadi masalah.
Ton Abdillah Has
Ketua Umum Angkatan Muda MDI
No comments