Header Ads


  • Breaking News

    Arti BBM Bagi Rakyat Jelata

    Aksi Protes Mahasiswa.
    Matahari pagi belum muncul saat Dwi berangkat dari rumahnya menuju ke tempat kerja. Menggunakan sepeda motor, Dwi memerlukan hampir dua jam perjalanan dari kontrakannya di Depok Baru, Depok menuju kawasan Kuningan, Jakarta, tempatnya bekerja sebagai office boy di salah satu perkantoran mewah di sana. Itu lah rutinitas yang dijalaninya setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang makin berat, terlebih ketika anak pertamanya sudah mulai bersekolah. Bapak dua anak ini harus mengeluarkan dana ekstra ketika harga premium naik, bahkan kian ekstra mengingat harga kebutuhan pokok ikut meroket tiap kali harga BBM dinaikkan.
    “Saya selalu mengurut dada tiap kali harga BBM naik, karena pasti harga kontrakan ikut naik, begitu pula harga beras, minyak goreng, gula, lauk, sayur, dan susu. Meskipun upah minimum di Jakarta sudah lumayan, namun belum semua perusahaan mau menaati. Mereka selalu minta penangguhan, apalagi untuk karyawan kontrak tanpa skill seperti saya, mendapatkan upah minimum hanya dalam lamunan,” tutur Dwi. “Mempersoalkannya sama saja dengan memberikan surat pengunduran diri,” lanjutnya kemudian.
    Rutinitas Dwi, hanya lah satu dari rutinitas jutaan pekerja lainnya di Jabodetabek. Mereka bergantung pada kendaraan rakyat bernama sepeda motor, karena transportasi umum yang kian mahal dan jauh dari rasa nyaman. Jutaan pekerja ini, masuk Jakarta pada pagi hari, lalu pulang ke rumah di sore harinya, sebuah realitas kehidupan urban yang jamak kita lihat namun jarang kita resapi. Realitas ini tentu disertai dengan ketergantungan pada komoditas bernama bahan bakar, yang mengisi tangki sepeda motor dan mobil setiap harinya.
    “Kita sepenuhnya memahami bahwa besaran subsidi pemerintah terhadap bahan bakar luar biasa jumlahnya, bisa mencapai ratusan trilyun rupiah. Namun menghapus subsidi bahan bakar begitu saja, tanpa penyiapan infrastruktur terkait, seperti transportasi umum yang memadai tentunya akan sangat memberatkan masyarakat,” ujar Emmanuel Mg, Sekjen Perhimpunan Gerakan Keadilan. “Seharusnya, pemerintah menyiapkan dulu fasilitas  umum terkait, baru kemudian menghapus subsidi. Kita lihat proses pengalihan BBM ke gas terhambat minimnya fasilitas pengisian gas untuk kendaraan bermotor, transportasi umum juga jalan di tempat, kecuali penambahan tarif seperti Kereta Api,” kecam aktivis kelahiran Maumere, NTT ini.
    Cerita Dwi, juga mirip dengan yang dialami Bu Mumun, perempuan separuh umur yang sehari-harinya berjualan nasi uduk di Cikini, Jakarta. Meski tidak menggunakan kendaraan pribadi, namun fluktuasi harga BBM sangat mempengaruhi usahanya. “Sebelum harga BBM naik, setiap hari saya hanya perlu modal sekitar 300 ribu untuk berjualan. Namun sekarang, setidaknya butuh 500 ribu agar lapak saya bisa tetap buka. Harga beras, cabai, minyak goreng, ayam, telor, bawang dan sayuran semuanya mengalami kenaikan,” ujarnya. “Saya sudah coba menaikkan harga, justru saya merugi karena sepi pembeli. Akhirnya saya kembali ke harga lama, namun porsinya saya kurangi,” tutur perempuan asli Jawa Timur itu.
    Shohibul Ansor Siregar.
    Bahan bakar adalah komoditas utama yang mempengaruhi denyut kehidupan rakyat, artinya perubahan harga BBM mempengaruhi pula denyut kehidupan kehidupan rakyat. Meskipun sebagian besar diantaranya bukan lah penerima langsung subsidi, namun dampak kenaikan harga BBM akan langsung dirasakan lewat kenaikan harga-harga. Pengamat sosial Sohibul Ansor Siregar menyebutkan, kenaikan harga BBM biasanya ekivalen dengan bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran. “Data-data kemiskinan selalu meningkat setelah kenaikan harga bahan bakar, pada kenaikan periode November 2014 lalu, kemiskinan meningkat 0,8%. Fakta lainnya, tak jarang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga dilakukan sebagai dampak meningkatnya biaya yang harus ditanggung perusahaan, sehingga mereka melakukan rasionalisasi,” ungkap dosen beberapa Universitas di kota Medan ini.
    Meski realitas betapa pentingnya komoditas bahan bakar bagi masyarakat miskin tak terbantahkan, serta beragam riset menyebutkan kenaikan harga BBM disertai meningkatnya kemiskinan, seperti cerita Dwi si office boy di atas, namun Faisal Basri, pengamat ekonomi senior UI itu menyebut itu sekedar mitos. Menurut Faisal, kenaikan angka kemiskinan akibat naiknya harga bahan bakar hanya cerita yang dibesar-besarkan. Konyol bukan? (pin)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad