Ton Abdillah : Harga bahan bakar harus terjangkau!
Tak banyak aktivis yang tetap konsisten berjuang melawan kebijakan yang dipandangnya sebagai bentuk ketidakadilan, diantara sedikit tokoh muda terdapat seorang aktivis jebolan kemahasiswaan, Ton Abdillah Has. Bagaimana pandangan Ketua Departemen Pemuda dan Olahraga DPP Partai Golkar ini terhadap politik energi pemerintahan Jokowi-JK? Juga kondisi masyarakat yang dilanda kebingungan akibat naik-turunnya BBM dalam waktu singkat? Apa pula solusinya atas cengkeraman mafia migas yang selalu kuat di setiap era kekuasaan? Berikut petikan wawancara kru MIMBAR, Safrin Yusuf, dengan Ton Abdillah:
Bung Ton, terkait isu naik-turunnya BBM, apa pendapat anda?
Ton Abdillah. Ketua Umum PP AMMDI. |
Hemat saya, kebijakan harga BBM adalah murni penerapan agenda ekonomi asing. Setelah terjadi liberalisasi di sektor hulu, liberalisasi sektor hilir hanya menunggu waktu saja. Hanya saya tidak percaya, pemerintahan Jokowi yang seharusnya lebih tegas terhadap penerapan sistem ekonomi Pancasila, justru pagi-pagi sudah mendeklarasikan dirinya sebagai pendukung agenda ekonomi global yang merugikan rakyat Indonesia.
Melalui kebijakan baru ini berarti diterapkannya mekanisme pasar dalam komoditas yang menyangkut hajat rakyat, jelas bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi kita tegas meminta negara untuk melindungi rakyatnya melalui kontrol negara pada cabang-cabang produksi penting. Apalagi Indonesia masih memiliki cadangan minyak, berbeda dengan negara seperti Thailand yang memang tidak memiliki minyak, sehingga ketika rakyat Thailand membeli BBM dengan harga mahal, wajar saja.
Bukankah Indonesia juga mengimpor Bahan Bakar?
Benar, hal itu terjadi karena pemerintah lalai membangun kilang minyak, sehingga produksi nasional tidak mencukupi. Target lifting migas kita juga terus menurun, dan hasilnya kita ekspor dalam bentuk minyak mentah, lalu kita beli kembali dengan harga mahal dalam bentuk BBM.
Seharusnya bagaimana kebijakan subsidi BBM?
Sejak lama saya menolak penamaan subsidi pada bahan bakar, karena bahan bakar itu punya rakyat Indonesia yang dikuasakan pada negara untuk mengelolanya. Umpama orang menjual pisang di pasar, karena yang beli masih keluarganya dia tidak ambil untung. Apakah penjual pisang rugi? Tentu tidak, dia hanya mengalami opportunity lost, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan.
Pertamina sebagai perusahaan negara di sektor migas, seharusnya menjual BBM tanpa mengambil keuntungan. Apalagi membandingkan harganya dengan harga pasar internasional lalu menyebut selisihnya sebagai subsidi. Apakah pernah pemerintah mengumumkan berapa sesungguhnya ongkos produksi satu liter premium? Menyampaikan berapa produksi sendiri dan berapa yang diimpor? Harusnya transparan, baru umumkan harganya, sehingga rakyat mengerti mengapa mereka membeli BBM dengan harga mahal.
Apa komentar anda terkait beban masyarakat setelah kenaikan harga BBM?
Begini, rakyat Indonesia memang rakyat yang tahan banting. Ketika berhenti bekerja akibat PHK, mereka buka warung makan. Saat beras mahal, mereka berhemat di lauknya. Namun sampai kapan rakyat kita diminta berkorban? Mereka sudah berkorban sejak Indonesia merdeka, ketika tanpa diminta menyiapkan makan pejuang kita. Petani kita juga diminta bersabar melalui politik pangan yang tidak adil. Penderitaan rakyat harus diakhiri dengan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak, termasuk kebijakan di sektor energi.
Mafia migas itu seperti ”kentut”, terasa namun tiada wujudnya?
Bener juga karena wujudnya disembunyikan konco-konco mereka di kekuasaan. Migas itu bisnis besar, korupsi di sektor itu bisa membiayai operasi politik, pemenangan partai politik, dan pasangan capres. Mafia migas itu ada di setiap rezim, kekuasaan mereka melampaui zaman, jadi kalau ingin membongkar mafia migas, kita harus membongkar praktik yang sudah berlangsung lama dan menggurita.
Tapi apakah itu mungkin?
Tentu sangat mungkin, selain bangsa kita sendiri, toh kelompok ekonomi asing juga risih dengan praktik korupsi, termasuk korupsi di sektor migas. Apalagi bersarang di perusahaan negara yang memonopoli sektor hilir migas di Indonesia. Sepanjang ada niat politik, pasti mafia migas itu bisa dibongkar dan disingkirkan dari permainan migas. Pertanyaannya kembali ke sana, apakah pemerintahan Jokowi punya political will memberantas mafia migas?
Pemberlakuan mekanisme pasar pada harga BBM adalah agenda ekonomi neoliberal, betulkah?
Tentu saja, karena penyokong agenda ekonomi liberal ini sudah menyiapkan semuanya, mulai dari pusat studinya, politisinya, paket regulasinya, hingga tekanan dan intimidasi pada elit-elit kekuasaan yang dianggap tidak taat dengan agenda mereka. Anehnya, agenda ekonomi yang terbukti tidak mampu mensejahterakan rakyat tersebut justru dipedomani. Seharusnya kita komit dengan falsafah dan sistem ekonomi kerakyatan yang diajarkan para pendiri bangsa, ekonomi Pancasila.
No comments