Header Ads


  • Breaking News

    Suro Bulan Budaya

    Kirab satu suro di Surakarta
    Pergantian tahun umumnya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, pentas musik, tiupan terompet, serta arak-arakan di malam tahun baru. Namun tidak demikian dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram). Menyambut 1 Suro, umumnya disambut masyarakat Jawa dengan melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat yang dipandang sakral seperti puncak gunung, tepi laut, atau makam keramat.
     

    Masyarakat Jawa mengenal ritual 1 Suro sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M). Pada masa pemerintahan Raja Mataram terbesar ini, masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sultan Agung, dengan maksud memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, berupaya memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.
     

    Karena telah tercampur budaya Jawa, perayaan malam 1 Suro juga kerap dilaksanakan dengan berbagai jenis tradisi dan ritual khusus. Tradisi ini sering diadakan di Jawa dan Madura, terutama di bekas kekuasaan Mataram semasa pemerintahan Sultan Agung, kecuali Jakarta, Banten, dan Banyuwangi. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro dipandang sebagai bulan yang sacral dan suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa, lewat lelaku. Cara ini ini dimaksudkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro biasanya dilakukan sejak pergantian tahun, yaitu sehabis magrib.
     

    Peringatan 1 Suro diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat, kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri hingga Ponorogo.

    Arakan satu suro di Yogyakarta

    Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara memandikan benda pusaka lalu diarak mengelilingi benteng kraton yang dikawal barisan kerabat keraton dan abdi dalem yang berbusana adat Jawa lengkap dan membawa berbagai senjata khas Jawa. Kirab ini juga diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng. Selain itu, acara kirab juga diselingi dengan menyebar gunungan sesaji yang berisi aneka hasil bumi dan makanan untuk diperebutkan oleh warga sekitar yang menonton acara kirab tersebut.
     

    Selain di kedua Kraton yang menjadi pusat kerajaan Mataram, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan. Beberapa orang juga sering mengisi 1 Suro dengan kegiatan ‘Kungkum’ atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air yang masih kerap dijumpai di beberapa wilayah Jawa.
     

    Sepanjang bulan Suro, masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan pesta meriah dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.

    Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar dapat memperbaiki diri dan menyusun agenda untuk tahun berikutnya. Bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Ini lah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
     

    Pemerintah Kota Solo sendiri telah mendeklarasikan Suro sebagai bulan budaya sejak tahun 2014 lalu. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga tradisi dan budaya agar dapat mewarisinya kepada generasi muda yang semakin lama nampak semakin kurang mengenali budayanya sendiri. Selain itu juga diharapkan berdampak pada dunia pariwisata, apalagi selama ini Surakarta di kenal sebagai salah satu destinasi wisata terkemuka di Indonesia. Jika selama ini 1 Suro sudah dikenal luas sebagai salah satu even kebudayaan tertua di Indonesia, ditetapkannya Suro sebagai bulan budaya, dengan dukungan dan kreativitas masyarakatnya yang masih fanatik dengan budaya Jawa, bisa dipastikan gelaran festival ini akan semakin mengagumkan.

    Selain menikmati suasana malam 1 Suro di Surakarta dan Yogyakarta yang melibatkan ribuan warga, travelers juga bisa menikmati pentas wayang dan geguritan selama bulan budaya Suro. Pada festival budaya Suro, pengunjung juga bisa menyaksikan pagelaran keroncong, ketoprak dan beragam budaya Jawa lainnya. Penasaran dengan festival akbar bulan Suro? Silahkan berkunjung menjelang tahun baru Hijriah ke jantung kebudayaan Jawa ini, Surakarta dan Yogyakarta. (hadi, dari berbagai sumber)

    No comments

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad