Perlukah UU KPK direvisi?
Rapat paripurna DPR telah menetapkan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sebagai program legislasi nasional tahun 2015. Perubahan prolegnas tersebut diparipurnakan DPR pada Selasa, 23 Juni 2015 yang lalu. DPR beralasan, masuknya revisi UU KPK itu karena ada permintaan resmi Menteri Hukumdan HAM saat rapat Badan Legislasi awal Mei 2015 lalu. Saat itu, Menkumham Yasonna Laoly mengusulkan revisi itu masuk prioritas setelah sebelumnya masuk daftar Prolegnas periode 2014-2019.
Presiden Joko Widodo kemudian menyatakan penolakan terhadap revisi UU KPK. Mensesneg Pratikno menuturkan, Presiden menghendaki agar pembahasan undang-undang di bidang hukum sebaiknya difokuskan pada revisi UU KUHP dan UU KUHAP yang sudah menjadi agenda pemerintahan sejak lama, ketimbang melakukan revisi UU Pemberantasan Korupsi. Menurut Pratikno, Presiden menyayangkan revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2015.
Setelah menolak revisi UU KPK, Presiden Joko Widodo pun menugaskan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk berbicara dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang hal tersebut. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly belakangan merevisi sikap, pemerintah satu suara dengan Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi UU KPK. Bahkan, Yassona sudah mengirimkan surat kepada pimpinan DPR, untuk menyampaikan penolakan pemerintah. Menurutnya, percuma DPR ngotot mengajukan revisi jika Presiden menolak, karena revisi UU harus dibahas DPR bersama dengan Presiden. DPR memang berhak mengajukan revisi UU karena merupakan hak konstitusional, namun inisiatif tersebut belum tentu direalisasikan karena Presiden juga penentu keputusan.
Kontan, hal tersebut menimbulkan pertanyaan DPR, apalagi Menkumham berdalih upaya revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR. Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan mengaku bingung dengan sikap pemerintah. "Saya belum tahu apakah setelah revisi UU KPK disahkan menjadi prioritas program legislasi di paripurna bisa ditarik lagi atau tidak," ujar Taufik Kurniawan.
Ada beberapa poin krusial dalam wacana revisi UU KPK yang menjadi sorotan, yakni poin terkait pengetatan kewenangan penyadapan, penyidk independen, dewan pengawas KPK, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan diaturnya kembali mengenai pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial di pimpinan KPK.
Menimbang Urgensi Revisi UU KPK
Sejumlah pihak telah menyatakan ketidaksetujuannya dengan revisi UU KPK, seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), FORMAPPI, Fitrah dan sejumlah lembaga anti korupsi lainnya. Pegiat anti korupsi beralasan, revisi UU KPK diboncengi agenda pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Emerson Yuntho (ICW) mengatakan beberapa poin yang mau direvisi merupakan jantung kekuatan KPK, seperti kewenangan penyadapan dan tidak adanya SP3 dalam lembaga antirasuah tersebut. “Jangan sampai revisi UU KPK menjadi ajang balas dendam politik, mengingat sepak terjang KPK cukup gencar menjerat para pelaku politik. Publik juga perlu mencatat, tidak satupun fraksi DPR yang menolak agenda revisi tersebut,” ungkap Emerson.
Pimpinan KPKjuga menolak revisi UU KPK dan menyatakan tidak akan ikut menyiapkan draft revisi tersebut. Wakil Ketua KPK, Zulkarnain menyebut sejak awal KPK menilai undang-undang yang ada masih cukup memadai dan ingin fokus bekerja agar kinerja lembaga anti rasuah itu lebih efektif, lebih efisien dalam mencegah dan memberantas korupsi. Zulkarnain mendukung sikap pemerintah yang menolak rencana revisi UU KPK. DPR, sebut dia, justru terlihat memaksakan dengan tetap memasukannya dalam prolegnas priortas 2015.
"Kenapa dipaksakan? Hal-hal yang dipaksakan begitu kan nggak bagus. Buat Undang-undang itu seharusnya efektif dan efisien, lebih baik dari yang ada, bukan untuk memperlemah dari yang ada," papar Wakil Ketua KPK Zulkarnain
Wakil Presiden Jusuf Kalla memilih netral dan menilai tak masalah jika Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak direvisi asalkan ada aturan-aturan lain yang melengkapinya. Kalla menilai, perlu dilakukan perbaikan agar dalam praktiknya KPK tidak menciptakan ketakutan terhadap masyarakat. Kalla juga melihat kewenangan KPK perlu diatur lebih jauh, termasuk kewenangan penyadapan. Ia tak ingin penyadapan yang dilakukan KPK pada tahap penyelidikan justru membuat pejabat atau penyelenggara negara takut mengambil kebijakan.
Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menyoroti timing revisi UU KPK yang dipandangnya tidak tepat dilakukan saat ini. Mahfud menilai, waktu pembahasan revisi UU KPK terlalu dekat jaraknya dengan konflik yang terjadi antara KPK dan Polri. Menurutnya, lebih baik jangan direvisi sekarang karena rentang waktunya dengan peristiwa yang mengguncang KPK belum jauh, sehingga dihawatirkan akan dipengaruhi emosionalitas. “Rasanya belum ada sesuatu hal yang mendesak dalam rencana pembahasan revisi UU KPK. Meski saya setuju substansi revisi UU KPK sesuai dengan keinginan kita untuk mencegah hal-hal yang menyimpang dari pimpinan KPK,” tandasnya.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif mengatakan dibalik pro-kontra revisi UU KPK, secara substansi perlu dibentuk tim pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. Menurut Buya Syafii hal itu diperlukan agar KPK tidak besar kepala, jadi diperlukan tim independen untuk mengawasi kinerjanya. “Tidak ada masalah terkait kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan dan penyadapan, hanya saja, kinerja KPK perlu diawasi mengingat kewenangannya begitu luas dan perlu dihindari penyalahgunaan wewenang tersebut oleh oknum internalnya,” ujar Syafii Maarif.
Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menyebut revisi UU KPK tak bisa ditawar. Kasus penyalahgunaan wewenang penyadapan merupakan masalah yang perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan korban. Menurut Fahri, diperlukan lembaga pengawasan supaya peyidik KPK tidak semena-mena boleh melakukan apa saja di luar sistem hukum. Fahri juga mengaku heran dengan inkonsistensi pimpinan KPK. "Indriarto Seno Aji dan Taufiqurahman Ruki awalnya menilai UU KPK jahiliyah dan kebablasan, namun belakangan sikap mereka berbeda dengan apa yang pernah disampaikan kepada DPR," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik sikap curiga berlebihan atas rencana revisi UU KPK, karena menurutnya rencana revisi tersebut sudah dibicarakan sejak lama dengan pemerintah, termasuk dengan KPK. Fadli juga mengingatkan sikap pemerintah hendaknya tidak berpaku pada opini yang berkembang di masyarakat. "Lebih baik kita adakan debat dalam forum-forum formal kelembagaan di DPR," katanya. Dengan cara itu, kata dia, pemerintah maupun DPR bisa sama-sama menemukan solusi terbaik bagi kelembagaan KPK. (pin, dari berbagai sumber)
No comments