Partai Golkar Terjebak Tabung Archimedes
Oleh: Asynin P
Meski harus berjibaku dengan intrik dan konflik, perolehan suara Partai Golkar pada pemilu 2014 lalu menunjukkan atensi yang baik. Partai Golkar menempatkan diri pada posisi kedua dengan perolehan suara 14,75%, sedangkan posisi pertama ditempati PDI Perjuangan dengan 18,95%. Sehingga, sudah dapat diperkirakan bahwa pilpres 2014 akan didominasi dukungan suara kelompok nasionalis. Partai Golkar sendiri yang berisi kaum nasionalis tengahan yang merupakan campuran dari banyak tokoh agama, intelektual, aktivis dan akademisi yang memiliki semangat reformasi. Situasi ini sejatinya juga menguntungkan, karena ditengah kontestasi Partai Golkar dengan partai nasionalis lain dan partai berbasis massa Islam, karena dapat keluar dari kesempitan orientasi politik.
Koalisi permanen yang dibangun Partai Golkar dalam Koalisi Merah Putih (KMP) merupakan titik balik dari sikap tengahan yang selama ini dimainkan. Kendati begitu, kader-kader partai Golkar tentu harus diuji kesiapannya untuk berada di luar kekuasaan atau di luar pemerintahan. Bergabungnya Partai Golkar dalam KMP bersama Partai Gerindra dan partai berbasis massa Islam modernis membuat “kecele politik” yang luar biasa dan berdampak pada dualisme kepemimpinan di internal Partai Golkar.
Upaya Partai Golkar membangun kemitraan politik dalam koalisi dengan partai basis Islam modernis maupun partai nasionalis, seperti PAN, PKS, PPP dan gerindra bukannya tanpa kelemahan, seperti kemitraan yang terjebak pada kegagalan meritokrasi—etics, sehingga juga mengundang ironi. Pertama, kelompok koalisi didirikan secara permanen dan dijalankan oleh para senior dengan sedikit andil tokoh-tokoh muda Golkar di dalamnya. Kedua, kelompok seberang yang sebagiannya merupakan purna Golkar ramai-ramai menghantam atas nama penyelamatan kekuasaan pemerintahan saat ini dan ingin menarik Partai Golkar ke dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Benar, memang hampir semua menghantam Golkar bahkan merongrong di internal seperti konflik kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Namun, cara menghakimi Golkar nampaknya sudah overdosis bahkan menghilangkan ‘cara-cara demokrasi’. Yusuf Kalla misalnya, dengan lantang mengatakan “Golkar perlu pelajaran dan kubu Agung Laksono adalah yang sah menurut pemerintah”. Hal ini menandakan Yusuf Kalla sedang melakukan akrobatik politik guna memperoleh porsi kekuasaan yang lebih besar lagi.
Kecaman terhadap golkar telah membentuk opini publik yang overdosis dan nampaknya menjadi kian sulit untuk membangkitkan kesadaran politik kolektif golkar untuk keluar dari situasi terdesak ini. Tetapi, keterbatasan vocab boleh jadi akan membalik opini itu sehingga publik justru kembali meng-elukan Partai Golkar dan mendorong munculnya harmonisasi di internal. Kondisi tersebut dapat menjadi keuntungan tersediri, andai keagungan civilized identitas politik bisa ditunjukkan oleh kader-kader Golkar sehingga publik tidak antipati secara eksesif.
Bagi penguasa atas rezim berkuasa, kecaman dan tindakan gerudukisasi terhadap internal golkar merupakan bentuk pembiaran dan ketidaksiapan menjadi kompetitor dalam pentas political game nasional, termasuk partai-partai pendukung pemerintah yang tak gentlement dalam persaingan politik. Tetapi, bagi kaum modernis Islam dan nasionalis campuran yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih bahwa lokomotif kekuasaan tak bisa membedakan mana yang disebut pesaing politik (politics apronent) dan musuh politik (political enemy), menterjemahkan musuh politik bagi mereka, Golkar harus dilumat habis setelah kemenangan diraihnya. Akibat sentimen itu, petinggi Golkar pun kocar kacir meninggalkan rumahnya guna mencari perhatian penguasa, sebangun dengan keinginan penguasa lewat opini publik yang dibentuk, bahwa golkar harus dibelah agar mudah dilumpuhkan.
Konflik internal Golkar, baik sebelum maupun setelah pilpres, seperti mengulang sejarah pemilu tahun 2004 dan 2009. Golkar terjebak dalam sakratul tabung erchimedes karena dalam internal Golkar terdapat sikap bangkrut rasa memiliki. Pemilih potensial Golkar pada pemilu 2014 lalu, bukan lah mengalir ke partai-partai Koalisi Merah Putih sehingga Golkar hanya berada di urutan kedua, melainkan mengalir deras ke PDI Perjuangan. Saya yakin, penambahan pemilih PDI Perjuangan adalah pemilih potensial Golkar di kelompok suara mengambang. Artinya, Golkar yang menanam, tapi PDI Perjuangan yang mengetam, padahal idealnya, tabung suara itu berlaku bagi partai yang menanam. Namun tabung archimedes itu berpindah pilihan dan terjadi mobilitas pilihan politik individu akibat pencitraan.
Dalam konflik Golkar, peran kebijakan pemerintah yang entah diketahui langsung oleh Presiden Joko Widodo atau tidak, adalah melancarkan serangan politik Golkar fobhia yang merupakan strategi menciptakan serangan opini massif anti Golkar, meskipun bukan dengan target pembubaran. Lalu, strategi Golkar violence adalah strategi kekerasan yang diarahkan untuk mengambilalih kepemimpinan gaya preman, salah satunya dengan gaya pencongkelan ruang Fraksi golkar DPR RI, dan benturan kelompok di kantor DPP Golkar sebelum Munas lalu.
Golkar dapat kembali berjaya
Pada dasarnya, respon penguasa terhadap posisioning politik Golkar, terbagi menjadi beberapa kubu, yaitu kelompok yang menciptakan arena konflik politik, serta kelompok yang lebih akomodatif dengan melakukan upaya persuasif agar Golkar mendukung program-program pemerintah. Tampaknya, perlu dibedakan, kendati tidak bisa dipisahkan sama sekali antara kemenangan Koalisi Indonesia Hebat yang digawanggi oleh PDI Perjuangan dan kekalahan Partai Golkar yang menggawangi Koalisi Merah Putih, mengingat,suka atau tidak suka, kekalahan Golkar dan Koalisi Merah Putih dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah seperti halnya gerakan oposisi di beberapa negara Asia. Konsekuensinya kemudian, sosok dan figure Aburizal Bakrie pun perlu dilucuti sebagai penyumbat demokrasi internal golkar (dynasty game politik).
Kedua, kekalahan partai Islam yang tergabung dengan Golkar tampaknya tidak lepas dari kelemahan utama partai-partai itu sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya sudah ‘kalah”dalam keadaan benar dan menangnya penguasa sekarang dengan hipokrit palsu kecurangan. Namun, bagi demokrasi Indonesia tak penting salah dan benar, yang terpenting adalah kemenangan. Sayangnya, ‘kesadaran” terhadap kelemahan yang ada dalam pemimpin partai tidak segera di atasi dan disadari dengan tindakan kongkret. Yang muncul ke permukaan justru saling menghujat di berbagai media massa, yang membuat masyarakat awam semakin apatis bahkan antipati.
Memang sungguh sulit dimengerti, para pemuka Partai Golkar tidak pernah mau belajar dari sejarah atau menengok pengalaman-pengalaman Negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Sebenarnya dari hasil pengalaman itu, Golkar bisa dibangun dengan hipotesis yang sangat sederhana, yakni jika Golkar merubah haluan kepemimpinan dengan membentuk serikat-serikatnya di berbagai daerah, langsung dibawah struktur utama untuk mengayomi simpul-simpul masyarakat lemah, maka potensi Golkar kembali meraih kekuasaan akan lebih berpeluang besar. Jika tokoh Golkar memaknai kalimat “kezaliman yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”, sebuah pesan yang rasanya mustahil para politisi Golkar tidak mengenalnya, pesan yang bisa menjadi mainstream untuk ‘cita-cita meraih kembali kemenangan”.
Idealnya, Golkar harus keluar dari jebakan tabung archimedes dengan menjadi partai politik modern yang sesungguhnya, meskipun dalam beberapa kategori, Golkar kerap dikelompokkan sebagai partai modern. Setidaknya terdapat tiga strategi besar untuk menempatkan Partai Golkar kembali mendulang simpati rakyat: Pertama, melakukan konsolidasi total terhadap semua potensi kekuatan partai, baik yang secara formal bergabung dengan Golkar, seperti ormas pendiri dan didirikan, maupun organisasi-organisasi simpul yang dulu pernah menjadi mesin politik golkar (buffers), seperti organisasi petani, buruh, nelayan, ormas, dan sebagainya. Kedua, melakukan kaderisasi massif di kalangan generasi muda, mengingat kecenderungan pemilih golkar dari pemilu ke pemilu kian berada di rentang usia semakin tua, para pemilih tradisional Golkar yang tentu ke depan makin berkurang. Ketiga, keluar dari keharusan berkuasa meski pemilu legislatif dan pemilu presiden justru ‘menempatkan’ Golkar sebaiknya menjadi partai oposisi.
Selain itu, teknikalitas partai Golkar dalam memperluas basis pemilih harus dimodernisasi, dengan lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Penggunaan media massa, media audiovisual, media sosial seperti facebook, twitter, dan lainnya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk merambah kelompok muda yang mendominasi pemilih Indonesia saat ini. Begitu pula, penggunaan simbol dan imagined partai politik yang menunjukkan tradisi neurotic (nalar—moral—etika) politik demokratis, akan membuka peluang Golkar kembali menjadi pemenang. Apalagi, generasi muda Golkar di parlemen dan pemerintahan, punya stok figur yang lebih dari cukup untuk menjadi simbol-simbol baru partai di ruang publik. Akankah hal ini akan terealisasi agar proses berbenah diri dapat mengembalikan eksistensi Golkar secara konkret? Go to Succes, party kekaryaan (Golkar).
Penulis adalah pengusaha dan Ketua PW AMMDI Riau
No comments