Menanti ujung perpecahan beringin (Bagian I)
Malam itu selepas isya di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta, lokasi Rapimnas Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, Ketua Umum MKGR, salah satu ormas pendiri Partai Golkar dicegat wartawan sebelum turun lift dari lantai empat. Priyo berhenti sejenak dan mendengarkan pertanyaan awak media, namun wajah kusut Priyo langsung berubah tegang dan sejenak Priyo terdiam. “Apakah saya berani?” ulangnya. “Apakah saya berani?” ulangnya lagi. Lalu sambil bergegas memasuki lift, mantan Wakil Ketua DPR ini melanjutkan, “Pertanyaan anda terlalu berani!” pungkas tokoh politik yang gagal terpilih kembali dalam Pemilu Legislatif 2014 ini sambil berlalu.
Ya, Rapimnas Partai Golkar tahun 2014 di Yogyakarta pada tanggal 17-19 November 2014 adalah asal mula konflik terbuka yang melanda partai berlambang pohon beringin. Riak bermula dari tekanan internal yang menginginkan percepatan pelaksanaan Musyawarah Nasional Partai Golkar pasca kekalahan pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta yang didukung Partai Golkar dalam Pilpres 2014. Setelah inaugurasi Jokowi-JK, kepercayaan diri para penantang ARB makin menguat. Seperti sudah menjadi tradisi, kekalahan dalam pilpres membuat faksi-faksi di internal Partai Golkar bermanuver kencang. Lihat saja kekalahan Akbar Tanjung dalam Munas Bali dan posisi ketua umum direbut JK yang saat itu baru terpilih sebagai Wakil Presiden dalam Pemilu 2004. Lalu kekalahan JK yang maju Capres pada Pemilu 2009, membuat Munas Pekanbaru dipercepat dan ARB merebut posisi ketua umum.
Pada mulanya, Aburizal Bakrie bersikukuh pelaksanaan Munas sesuai hasil Munas Pekanbaru yang menyebut periodesasi kepemimpinan ARB hingga tahun 2015. Namun menjelang Rapimnas Yogyakarta, beredar isu ARB akan maju lagi atas desakan mayoritas DPD I dan Munas akan dilaksanakan pada akhir bulan itu juga. Dinamika Rapimnas Yogyakarta akhirnya membuktikan, suara mayoritas DPD I meminta Munas dilaksanakan secepatnya dan mengusung kembali ARB sebagai ketua umum Partai Golkar. Situasi yang membuat Agung Laksono bersama Hajrianto Y. Tohari, Priyo Budi Santoso, Agun Gunanjar, Yoris Raweyai dan sejumlah tokoh muda partai lainnya gerah dan menyiapkan langkah perlawanan.
Pasca Rapimnas Yogyakarta, dalam hitungan hari, persiapan pelaksanaan Munas IX dikebut. Bandung yang semula disebut-sebut menjadi lokasi Munas akhirnya dibatalkan, lalu Bali diputuskan menjadi tuan rumah dan dilaksanakan pada tanggal 30 November – 4 Desember 2014. Rapat Pleno DPP Partai Golkar pada tanggal 25 November 2014 berlangsung ricuh, dan sejumlah massa AMPG pimpinan Yoris Raweyai memaksa masuk ke ruangan rapat dan terlibat keributan dengan massa AMPG Ahmad Dolly Kurnia. Sore itu Agung Laksono mendeklarasikan Majelis Penyelamat Partai dan meminta Munas di Bali dibatalkan. Beberapa waktu kemudian Agung Laksono memastikan dilaksanakannya Munas tandingan di Jakarta.
Munas IX di Bali digelar di Hotel Westin, Nusa Dua pada tanggal 30 November 2014. Meski ditengah kontroversi, hamper seluruh pengurus provinsi (DPD I) dan kabupaten/kota (DPD II) hadir, serta perwakilan ormas pendiri dan didirikan turut hadir. Agung Laksono dkk masih berharap ada pintu akamodasi dalam Munas, namun derasnya dukungan pemilik suara untuk memilih ulang ARB, membuat sejumlah kandidat ketua umum lainnya membatalkan diri maju dan balik ke Jakarta. Pasca terpilihnya kembali ARB secara aklamasi tanggal 3 Desember 2014, Agung dkk lantas mengumumkan pelaksanaan Munas di Jakarta yang digelar di Ancol pada tanggal 6-8 Desember 2014. Munas Ancol kemudian memilih Agung Laksono sebagai ketua umum menyisihkan beberapa kandidat lainnya.
Babak baru konflik internal Partai Golkar kemudian berada di Kementerian Hukum dan HAM yang berwenang mengesahkan kepengurusan partai politik. Baik kubu Munas Bali maupun Munas Ancol mengajukan pengesahan SK kepada Kemenkumham. Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly memutuskan menyerahkan penyelesaian konflik internal partai kepada mahkamah Partai Golkar sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik, sedangkan untuk sementara waktu hasil Munas Pekanbaru diakui sebagai pengurus yang masih sah hingga ada pengesahan kepengurusan yang baru. Menteri Yassona berkilah, Partai Golkar harus menyelesaikan terlebih dahulu konflik internalnya sebelum mendapat pengesahan SK dari Kemenkumham.
Selepas Munas Bali dan Ancol, praktis kantor DPP Partai Golkar di Jl, Anggrek Naeli Murni, Slipi, Jakarta Barat dikuasai kubu Munas Ancol. Ratusan massa AMPG Yorris Raweyai menjaga sarang beringin, bahkan beberapa waktu pasca pelaksanaan Munas Ancol, kantor Golkar dijaga ekstra ketat hingga nyaris mengganggu aktivitas perkantoran. Bahkan, direktur Gozis, lembaga filantrofi Partai Golkar, Aisyah Ulfah mengaku amat terganggu dan terpaksa memindahkan aktivitasnya ke kantor sementara di Jakarta Selatan. Begitu pula kegiatan ormas Partai Golkar seperti MDI, Satker Ulama dan Alhidayah mendapati suasana tidak nyaman beraktivitas. Meski demikian, tidak tampak ada upaya paksa kubu Munas Bali mengambil alih kantor DPP Partai Golkar.
Mahkamah Partai Golkar yang diketuai Muladi, mantan Menteri Hukum dan HAM, kemudian bersidang untuk menyelesaikan konflik kedua kubu. Selain Muladi, terdapat nama Andi Mattalata yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM, Djasri Marin, dan HAS Natabaya, sedangkan satu lagi anggota Mahkamah Partai, Aulia Rahman tidak bisa hadir karena telah menjadi Duta Besar RI di Chekoslowakia. Mahkamah Partai terbelah, bahkan pada sidang Mahkamah pada 3 Maret 2015, mahkamah partai membuat putusan yang kontroversial. Putusan itu condong memenangkan kepengurusan hasil Musyawarah Nasional Ancol yang diketuai Agung Laksono. Alasannya, dua anggota Mahkamah memenangkan kubu Agung, sedang dua lainnya memilih tak menyimpulkan keabsahan salah satu kubu. Logika hukum seperti inilah yang membuat Menkumham Yassona akhirnya mengelurkan SK DPP Partai Golkar kepada kubu Agung Laksono pada tanggal 23 Maret 2015.
Ketua Mahkamah Muladi mengatakan dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara anggota, maka Mahkamah tak memberikan pendapat akhir terkait gugatan yang dilayangkan kubu Agung Laksono dan Mahkamah melihat kedua kubu belum memiliki itikad untuk berdamai. Muladi dan Natabaya memang memilih tidak berpendapat, karena beralasan kubu ARB tengah mengajukan upaya hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. "Kami berpendapat pihak termohon (kubu Aburizal) telah mengambil sikap menyelesaikan perselisihan tanpa harus melalui Mahkamah Partai," kata Muladi dalam amar putusan.
Dua anggota mahkamah lainnya, Andi Mattalatta dan Djasri Marin justru dengan tegas memenangkan kubu Agung Laksono. Dalam pertimbangannya Djasri dan Andi mengatakan pelaksanaan Munas Bali yang memenangkan Aburizal Bakrie tak berjalan Demokratis. Karena itu Andi dan Djasri kompak menerima kepengurusan hasil Munas Ancol dan meminta Mahkamah Partai memantau proses konsolidasi pelaksanaan Munas yang digelar paling lama Oktober 2016.
Pasca SK Menkumham, Partai Golkar kembali bergolak, bahkan pada tanggal 30 Maret 2015, ruangan Fraksi Partai Golkar di DPR berusaha direbut paksa kubu Agung Laksono. Sejumlah orang berupaya menduduki ruangan fraksi, setelah sekretaris FPG yang juga Bendum DPP PG hasil Munas Bali merobek kertas surat yang dikirimkan pimpinan fraksi kubu Agung. Kericuhan bisa dihindari setelah polisi ikut melerai pertikaian, dan pimpinan DPR memfasilitasi proses negosiasi. Disepakati, ruangan FPG tetap dalam kendali Ade Komarudin, ketua FPG versi ARB, hingga pimpinan fraksi versi Agung disahkan dalam paripurna DPR.
Keributan juga terjadi di sejumlah daerah, seperti di Aceh, Sumut, Sulawesi Utara dan sejumlah daerah lainnya. Kubu Agung menyusun karateker DPD I di hampir semua provinsi, mengingat mayoritas DPD I masih setia ada ARB. Hal ini yang menyebabkan Ketua DPD I Aceh, yang juga Wakil Ketua DPRD NAD, Sulaiman Abda dipecat karena menyeberang ke kubu Agung Laksono. Konsolidasi kubu Agung di Medan, Sumut, yang dikarateker oleh Leo Nababan, diinterupsi kubu ketua DPD I Sumatera Utara, Ajib Syah namun tidak sampai menyebabkan kericuhan. Bahkan di Kendari, keributan diwarnai penyerangan kantor Golkar Kendari yang dikuasai salah satu kubu.
Kegamangan juga memuncak di kalangan kader-kader Partai Golkar yang tengah bersiap maju dalam Pilkada serentak akhir Desember 2015. Sejumlah kader Golkar di daerah, termasuk incumbent, mendaftar di partai politik lain seperti Partai Gerindra, PAN, dan Partai Nasdem, Makin dekatnya pelaksanaan Pilkada, membuat tokoh-tokoh Golkar di daerah melakukan antisipasi, ditengah isu terancamnya keikutsertaan Partai Golkar dalam Pilkada. Karut-marut konflik nampaknya menyebabkan kian banyak konsekuensi, tidak semata soal keabsahan kepengurusan hingga provinsi dan kabupaten/kota, namun juga keabsahan keikutsertaan dalam pertarungan politik kepala daerah, khususnya Pilkada tahun 2015. (bersambung..)
No comments